Membaca Sejarah Sukoharjo dari Sejarah Muhammadiyah Sukoharjo
Oleh : Yudi Janaka (Pemerhati sejarah & warga Muhammadiyah Sukoharjo)
PWMJATENG.COM – Kemarin, 15 Juli. Kabupaten Sukoharjo memperingati hari jadinya ke-78 tahun. Untuk sebuah kabupaten, masihlah muda. Sebagai pembanding. Kota Solo yang memperingati hari jadinya setiap 17 Februari, sudah berusia 279. Didasarkan pada perpindahan Kraton Kartasura ke Desa Sala. Pada 17 Februari 1745.
Kabupaten Wonogiri lebih tua lagi. Berumur 283. Didasarkan pada “pelarian” Raden Mas Said setelah geger pecinan Kartasura, kemudian membentuk pemerintahan kecil di Nglaroh, Selogiri, asal-usul neneknya.
Mengapa Sukoharjo berumur jauh lebih muda? Apakah peradaban Sukoharjo semuda itu? Tulisan pendek saya ini bisa menjadi bahan elaborasi. Secara kewilayahan yang sekarang menjadi bagian Kabupaten Sukoharjo, peradaban di Sukoharjo sebenarnya sudah berkembang saat runtuhnya Majapahit. Banyak diaspora Majapahit yang lari dan mukim di wilayah Kabupaten Sukoharjo. Semisal Ki Ageng Majasto di Tawangsari. Atau Kyai Prawata Sidik di Jatingarang Weru. Keduanya kerabat sekaligus guru Joko Tingkir, Pendiri Kasultanan Pajang. Yang wilayahnya juga berada di Kabupaten Sukoharjo. Daerah Kecamatan Kartasura dan Kecamatan Baki banyak ditemukan artefak bekas kejayaan Kasultanan Pajang.
Selepas pemberontakan Trunajaya, Mataram Islam pindah kedaton. Dari Pleret Yogyakarta ke Kartasura. Saat ini pun sisa tembok kraton Mataraman Kartasura masih berdiri di Kartasura. Secara faktual dan kesejarahan peradaban Sukoharjo memang sudah tua. Yang bisa mengimbangi mungkin Klaten. Saat Sunan Pandanaran tinggal di Bayat dan berganti nama menjadi Sunan Bayat.
Secara de jure, Kabupaten Sukoharjo berdiri tahun 1946. Selepas proklamasi. Kasunanan Surakarta mengalami gonjang- ganjing. Akibat gerakan anti swapraja yang menolak Daerah Istimewa Surakarta. Karanganyar yang pertama kali melepas diri. Pada 27 Mei 1946. Kemudian disusul Boyolali dan Sragen. Kota Surakarta juga mengikuti pada 16 Juni 1946.
Keadaan kian pelik. Pemerintah pun mengeluarkan peraturan 16/SD Tanggal 15 Juli 1946, yang isinya mendelegitimasi secara formal Pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran. Bekas wilayahnya masuk dalam pemerintahan Karesidenan Surakarta. Beberapa tokoh KNI (Komite Nasional Indonesia) Daerah Surakarta mendorong 3 kawedanan yang ada di wilayah Sukoharjo menjadi Kabupaten. Ketiga kawedanan itu ialah Sukoharjo, Bekonang dan Kartasura. KNI Daerah Surakarta juga menunjuk KRMT Soewarno Honggopati Tjitrohoepojo untuk menjadi Bupati.
Dalam literasi Daerah Istimewa Surakarta beserta dinamikanya, nama Kawedanan Sukoharjo sudah ada, mengganti nama Larangan. Selepas Perang Jawa, penjajah Belanda menerapkan sistem tanam paksa. Banyak dibentuk kawedanan- kawedanan untuk memastikan tanam paksa berjalan maksimal. Pun di wilayah Sukoharjo, berdiri 3 kawedanan, yakni Kawedanan Bekonang, Kawedanan Kartasura beserta Kawedanan Larangan. Dinamakan Larangan karena di kisaran Kantor Wedana (saat ini menjadi rumah dinas Bupati Sukoharjo) ada gudang senjata.
Tanam paksa berjalan puluhan tahun, dari 1830 hingga berakhir di tahun 1870. Gegara banyak dikritik oleh orang Belanda sendiri, di tahun 1870, penjajah Belanda terbit UU Gula dan UU Agraria. Kondisi tersebut membawa angin segar, gagasan politik etis sebagai balas budi juga bermunculan oleh pejabat Belanda yang ada di Indonesia. Sebut saja Douwes Dekker juga Van Devender.
Baca juga, Sumbangsih Kasunanan Surakarta bagi Peradaban Islam dan Muhammadiyah
Di tahun 1870-an, Pemerintah Kolonial Belanda juga memperbaiki tata pemerintahan yang ada. Karena penduduk kian bertambah, masalah kehidupan membesar pula. Untuk mengaturnya, dibentuklah lembaga Pradata atau Pengadilan. Di tahun 1874, terdapat perjanjian antara Pakubuwono IX dan Residen Surakarta yang mengatur adanya penambahan Pradata di lingkungan Kasunanan. Di tanggal 16 Februari 1874. Dibentuklah Pradata setingkat Kabupaten di wilayah Klaten, Boyolali, Ampel, Sragen, Kartasura dan Larangan. Mengapa tak ada Wonogiri dan Karanganyar? Untuk Wonogiri dan Karanganyar menjadi wilayah Mangkunegaran. Perjanjiannya antara Mangkunegara dan Residen Surakarta.
Berganti bulan, Kawedanan Larangan berubah menjadi Kabupaten Sukoharjo, berdasar pada staatsblad nomor 209 yang disahkan pada 7 Mei 1874. Mengapa 7 Mei tak dijadikan hari lahir Kabupaten Sukoharjo? Karena era penjajahan Jepang Kabupaten Sukoharjo ditiadakan, berganti Kabupaten Kutha Surakarta. Pada masa pendudukan Jepang, wilayah Karesidenan Surakarta menjadi Daerah Istimewa terdiri dari Solo-Ko (Kasunanan) dan Mangkunegaran-Ko (Mangkunegaran). Wilayah Solo-Ko meliputi daerah Kabupaten Sragen, Klaten, Boyolali, dan Kabupaten Kutha Surakarta. Sedangkan Wilayah Mangkunegaran-Ko meliputi daerah Kabupaten Karanganyar, Wonogiri, dan sebagian Kota Solo.
Adanya staatsblad nomor 209 di tahun 1874, menjadi bukti kata “Sukoharjo” sudah ada dalam tata pemerintahan. Dipakai pula untuk nama wilayah setingkat Kelurahan. Sebagai bukti, adanya surat keputusan dari Hoofdbestuur Muhammadiyah (saat ini dikenal dengan PP Muhammadiyah) yang meresmikan empat gerombolan Muhammadiyah di wilayah Kabupaten Sukoharjo. Diksi gerombolan memang ejaan baku saat itu, belum ada diksi ranting. Gerombolan ini bila ditarik masa kini setingkat dengan cabang. Tjabang sendiri setingkat daerah.
Dari surat keterangan Hoofdbestuur Muhammadiyah, sampai akhir 1927 Cabang Surakarta bertambah gerombolan Soekohardjo, Pojok, Kedunggudel, dan Kartasura. Hebatnya pula berdiri pula gerombolan ‘Aisyiyah di 4 wilayah tersebut. Podjok saat ini menjadi wilayah desa Mulur, menjadi kampung Pojok.
Kendati Muhammadiyah berdiri di tahun 1912, oleh Pemerintah Kolonial Belanda baru membolehkan penyebaran gagasan dan organisasi di luar wilayah Yogyakarta pada tahun 1926. Sebagai siyasah, Kiai Ahmad Dahlan pada tahun 1917 membentuk pengajian Shidiq Amanah Tablegh Vathonah (SATV, ejaan Belanda) di Kota Solo. Pengajian tersebut menjadi embrio Muhammadiyah Solo. Beberapa orang Sukoharjo sudah mengikuti pengajian tersebut, antara lain Mbah Imam Asyari, Tokoh Kedunggudel yang juga saudagar batik. Perkembangan Muhammadiyah memang tak lepas dari jejaring saudara batik. Dari Mbah Imam Asyari inilah Muhammadiyah menyebar di wilayah Sukoharjo. Berdiri gerombolan Muhammadiyah Kedunggudel, Soekohardjo dan Podjok. Bila ditarik garis lurus, ketika wilayah tersebut pada garis yang sama.
Adanya surat dari Hoofdbestuur Muhammadiyah, membuktikan bahwa nama Sukoharjo bukanlah nama baru. Nama yang sudah tua. Yang seharusnya sudah mendarah daging untuk afirmasi diri. Menjadikan Sukoharjo , daerah yang suka sejahtera. Tak berhenti suka. Harus mampu mewujudkan pula. Selamat Hari Jadi Kabupaten Sukoharjo. Tabik.
Editor : M Taufiq Ulinuha