Analisis Konflik Keluarga
Analisis Konflik Keluarga
Oleh : Muh. Nursalim*
PWMJATENG.COM – Ada survei menarik. Pertanyaannya begini, “Jika waktu bisa diputar ulang apakah Anda mau menikah dengan pasanganmu saat ini?”
Hasilnya mencengangkan. Ada 887 komentar dan sebagian besar perempuan. Ternyata 90 persen wanita tidak menghendaki menikah dengan suaminya saat ini. Mereka menyesal menikah dengan laki-laki yang sekarang menjadi suaminya. Bahkan ada yang sangat ekstrem menjawab, “Saya akan terus belajar dan tidak akan menikah selamanya”.
Mengapa para istri menjawab seperti itu?
Christopher Moore, penulis buku The Mediation Process memberi penjelasan bahwa manusia itu memiliki tiga kepentingan, yaitu prosedural, psychological, dan subtantive.
Kepentingan prosedural adalah terkait dengan tata pergaulan dalam masyarakat. Misalnya, sebagai menantu istri diakui oleh mertuanya. Bentuk pengakuan itu bisa macam-macam. Saat kumpulan RT ibu mertua mengenalkan dirinya dengan disebut nama dan asalnya, bahkan juga asal sekolah dan pekerjaannya. Bisa juga suami mengenalkan istri kepada keluarga besarnya. Atau saat sesi foto, sang istri turut digandeng agar turut diambil gambarnya.
Dengan kata lain, kepentingan prosedural itu si wanita diakui sebagai istri, sebagai anggota keluarga besarnya dan sebagai warga masyarakat yang semestinya. Sehingga ia tidak merasa menjadi orang asing di lingkungan suaminya.
Adapun kepentingan psychological yaitu kepentingan non material seperti penghargaan, penghormatan dan cinta kasih. Ini jenis kepentingan yang abstrak sehingga terkadang sulit dideteksi. Karena melibatkan emosi dan perasaan pasangan.
Ada seorang suami. Ia punya uang untuk membeli mobil. Maka dirinya pergi ke dealer untuk membeli barang yang ia cari. Ketika mobil dibawa pulang, sikap istrinya bukan senang tetapi malah cemberut. Padahal tujuan membeli kendaraan baru itu agar sang istri senang dan bahagia. Usut punya usut ternyata, si istri sangat kecewa karena merasa tidak dihargai. Gara-gara dirinya tidak dimintai pertimbangan sama sekali.
Suami ingin membuat surprise keluarga yang terjadi malah malapetaka. Konflik terjadi akibat tidak terpenuhinya kepentingan psychologicalnya. Ia ingin dimintai pertimbangan tentang jenis mobilnya, warnanya juga harga dan cara pembayarannya. Walaupun tidak ikut membayar si istri ingin dihargai.
Sedangkan kepentingan substantive itu bersifat material. Jenis ini secara kasat mata dapat dilihat dan dihitung, sehingga mestinya lebih mudah dipenuhi. Kebutuhan macam-macam yang terkait dengan uang dapat dicari dan dipenuhi. Ini tergantung dengan kelihaian suami-istri dalam mencukupi kebutuhan keluarga.
Konflik terjadi ketika terjadi perbedaan persepsi tentang kebutuhan dan keinginan. Misalnya, menurut suami kendaraan yang ada di rumah itu sudah cukup, yang penting bisa dipakai untuk transportasi. Sementara istri menginginkan ganti yang lebih baru. Atau nafkah bulanan menurut suami sudah cukup, tetapi istri menginginkan tambahan karena harga-harga kebutuhan naik tajam.
Baca juga, Memperbanyak Mubalig Muhammadiyah
Saat menikah suami-istri berharap terpenuhinya tiga kepentingannya, baik yang, prosedural, psychological maupun subtantive. Ternyata ketika sudah menikah harapan itu kosong belaka. Di awal pernikahan mungkin terpenuhi tetapi lambat laun berkurang bahkan lama-lama hilang.
Apabila salah satu dari tiga kepentingan di atas tidak terpenuhi yang terjadi adalah konflik keluarga. Awalnya hanya antara suami-istri. Jika ini tidak dapat dikelola dengan baik dapat melebar ke mana-mana. Nyangkut anak, cucu, orang tua bahkan juga menyeret keluarga besarnya. Jika sudah melebar tentu penanganannya semakin tidak gampang.
Ada suami, sebut saja Jonbay. Ia menggugat talak istrinya di Pengadilan Agama. Laki-laki itu kerja di sebuah perusahaan konfeksi. Gajinya cukup untuk ukuran sederhana, yaitu Rp. 7 juta per-bulan. Sementara istrinya yang bernama Mona fokus mendidik dan merawat anak-anaknya.
Saat Covid melanda, Jonbay kena PHK . Tertutuplah sumber keuangan keluarga muda itu. Laki-laki tersebut terus mencari sumber lain tetapi belum ketemu. Padahal kebutuhan hidup terus berlanjut, tidak boleh berhenti. Maka diam-diam istri utang di Pinjol, hanya Rp. 5 juta. Dalam waktu kurang dari satu tahun, utang itu sudah membengkak menjadi Rp. 25 juta. Yang ditagih bukan hanya si istri, tetapi suami juga kena dampaknya.
Cekcok suami-istri tidak bisa dihindari. Istri menyalahkan suami karena tidak segera mencari pekerjaan pengganti, atau usaha lain agar dapat uang. Sementara suami menyalahkan istri karena utang ke Pinjol tanpa ijin suami. Karena merasa kesal, Jonbay ingin menceraikan istrinya.
Kasus keluarga Jonbay itu sebenarnya masih ringan. Hanya urusan nafkah yang tidak terpenuhi. Itupun di saat semua orang merasakan yaitu musibah Covid yang melanda setiap negara. Bukan hanya di Indonesia tetapi juga manusia seluruh dunia.
Konflik keluarga karena kepentingan substantive seperti itu mestinya mudah dimediasi. Keinginan para pihak jelas, kebutuhan mereka jelas angkanya jelas. Tetapi karena masing-masing pihak sedang emosi sehingga buntu, tidak tahu jalan keluarnya. Karena tidak tahu akar masalahnya apa.
Mediator yang berada di luar konflik akan mudah menemukan akar masalahnya, yaitu pinjol. Suami pusing karena dikejar-kejar tukang tagih Pinjol. Istri stress karena kebutuhan hidup tidak bisa dipenuhi. Anak-anak pasti terdampak pula, meskipun mereka tidak bisa mengungkapkannya.
Baca juga, Mengamalkan Manhaj Muhammadiyah
Mediator : Ibu punya barang apa yang kira-kira bisa dijual untuk melunasi Pinjol. Karena semakin lama jika tidak segera dilunasi Pinjol itu semakin mencekik leher.
Istri : Ya, apa yak pak. Ada sih, maskawin saat pernikahan. Tapi juga tidak sampai Rp. 25 juta jika dijual. Cuma 17 gram.
Mediator: Seandainya barang itu dijual untuk melunasi pinjol boleh ndak?
Istri : Boleh saja, wong itu berupa perhiasan. Saya juga jarang-jarang pakai barang itu.
Di tempat terpisah, mediator juga mewawancarai suami. Menggali apa kepentingannya. Jika ada yang bisa dipertemukan akan dimediasi dengan istrinya. Agar bisa saling tawar-menawar sehingga mereka dapat menyelesaikan problemnya sendiri.
Mediator: Pak Jonbay, seandainya utang Pinjol itu dapat dilunasi dan bapak tidak lagi dikejar-kejar tukang tagih apa bersedia mencabut gugatan talak di Pengadilan Agama?
Jonbay : Hla, pakai uang dari mana bisa melunasi. Saya tuh sudah bokek tidak punya uang. Apalagi sampai Rp. 25 juta.
Mediator: Begini, tadi saya sudah bicara dengan istrimu. Dia punya perhiasan yang dulu maskawin yang kamu berikan saat menikah. Dia siap menjual perhiasannya untuk melunasi Pinjol. Tetapi memang tidak cukup. Nah, untuk mencukupi apakah bapak bersedia menjujal asset. Katanya bapak punya PCX?
Jonbay : Oo, gitu ya. Ya udah, ndak apa-apa.
Begitulah, proses mediasi. Kepentingan masing-masing pasangan digali dan diungkapkan. Sehingga bisa ditawarkan penyelesaiannya. Kalau konfliknya masalah kebutuhan materi, relatif lebih mudah diuraikan. Yang sulit itu jika masing-masing tidak terbuka. Punya kepentingan yang tidak bisa ditawar, tetapi tidak diungkapkan.
*Dewan Pengawas Syariah Lazismu Sragen
Editor : M Taufiq Ulinuha