BeritaKhazanah Islam

Mengenal Karakter Umum Pengikut Salafi

Mengenal Karakter Umum Pengikut Salafi

Oleh : Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag.*

PWMJATENG.COM – Berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis, ditambah dari tulisan-tulisan baik dari buku maupun internet, dapat disarikan beberapa karakter umum penganut salafi di lapangan pada umumnya dan mereka yang ‘menempel’ di Muhammadiyah. Karakter umum ini tidak dimaksudkan untuk ‘gebyah uyah’ atau pukul rata, karena di mana-mana pasti ada varian karakter dari sebuah kelompok. Ada yang moderat, ekstrim, keras, lembut, tegas, santai dan lain-lain.

Dari hasil pengamatan dan pengalaman penulis di lapangan, ciri, sikap dan karakter pengikut salafi secara umum bisa dijelaskan sebagai berikut :[1]

  1. Punya semangat beragama dan militansi yang tinggi dalam mengaji, mengamalkan dan membela fahamnya. Sisi positif dari kehadiran teman-teman salafi adalah mereka begitu giat mendatangi salat berjamaah di masjid-masjid dan mushalla dan rutin mendatangi kajian-kajian keislaman tentunya yang sefaham dengan mereka.
  2. Suka membahas dan mengungkit khilafiyah furu’iyyah yang tidak terlalu prinsip yang ada di tengah masyarakat serta memberikan vonis yang ‘keras’ bagi yang dinilainya tidak benar.[2]
  3. Hanya mau ngaji dengan ustadz dari kelompoknya sendiri. Ustadz di luar kelompoknya seringkali dilabeli ustadz syubhat dan semestinya dijauhi dan ditinggalkan. Mereka mengeluarkan daftar ustadz yang layak didatangi dan tidak perlu didatangi.[3] Makanya jangan heran jika mereka pinjam tempat  untuk kajian di masjid Muhammadiyah lalu mengundang ustadz dari kalangan mereka sendiri, warga Muhammadiyah ikut menghadiri dan mendengarkan, sementara jika takmir masjid Muhammadiyah mengadakan kajian yang mendatangkan ustadz Muhammadiyah mereka tidak mau mengikuti. Jika mengikuti pun kadang bikin ulah dengan ‘mengoreksi’ apa yang dianggapnya tidak sejalan dengan kelompoknya. Kelompok ini rajin ikut jamaah salat lima waktu,  namun begitu ada kajian yang bukan dari ustadz kelompoknya ia menghilang, setelah tiba waktu salat mereka datang lagi hanya untuk ikut salat berjamaah.
  4. Sering memposisikan diri sebagai ‘polisi kebenaran’ bagi jamaah lain. Jika mereka ikut kajian di Muhammadiyah, giliran ada sesi tanya jawab, yang terjadi bukan mereka bertanya tapi malah sering ‘mengoreksi’ dan menentang apa yang menurutnya tidak sepaham. Dengan PD-nya ia ‘menyalahkan’ paham lain yang berbeda dengan kelompoknya. Termasuk yang menjadi sasaran kritiknya adalah putusan maupun fatwa tarjih.[4]
  5. Sering menganggap kebenaran fikih itu tunggal, yang benar hanya satu yang lain salah. Sayangnya, orang lain selalu diposisikan ‘salah’ dan hanya kelompoknya saja yang benar.[5]
  6. Sikap kaku dan hitam putih dalam menilai suatu perbuatan. Ilmu fikih dikira ilmu eksak yang hanya mengenal benar dan salah, kurang terbiasa dengan ungkapan kuat dan kurang kuat dalam menilai sebuah pendapat. Sikap kaku ini juga akan berimbas pada sikap kurang toleran dan mudah menghakimi kelompok lain.
  7. Mudah memvonis dan melabeli kelompok lain sebagai ahli bid’ah,[6] ahli hawa nafsu, syirik, murtad dan bahkan kafir  kepada golongan lain yang tidak sepaham.
  8. Cenderung harfiah atau letterlijk dalam memahami nash, tidak menta’lil nash, sehingga dijuluki zhahiri baru oleh Syaikh Yusuf al-Qardhawi atau digelari ihya`u zhahiri oleh Qumaidi.
  9. Gampang mentahdzir dan suka memboikot atau mendiamkan tokoh dari kelompok lain yang dianggap pembuat bid’ah.[7]
  10. Kebiasaan mentahdzir ini juga bisa terjadi dengan ustadz sesama salafi yang berbeda sedikit saja dengan ustadz kelompok lain walau sama-sama salafi.
  11. Suka menyoal dan mengungkit perkara khilafiyah yang kecil dan tidak prinsip menjadi seolah-olah perkara besar yang menentukan surga dan neraka seseorang.[8]
  12. Mudah menentang dan menolak budaya atau kebiasaan dengan dalih tidak ada di zaman Nabi SAW dan sahabat atau tasyabbuh dengan non muslim.
  13. Gampang menjatuhkan vonis haram atau bid’ah terhadap sebuah kejadian, namun juga sering tidak memberikan solusi sehingga hanya membikin masyarakat gaduh dan bingung saja tanpa solusi. Misalnya memvonis bank syariah masih belum bebas  riba tapi solusi konkrit buat umat juga tidak jelas.
  14. Kurang tepo sliro dan adab dalam menyampaikan dakwah sehingga sering membuat ‘abang kuping’ terutama kelompok lain yang tidak sepaham.[9] Mereka punya prinsip sampaikan kebenaran walau terasa pahit. Namun jika sering ketemu pahit mestinya juga perlu dievaluasi gaya dan cara dakwahnya.[10]
  15. Dalam mempraktekkan muamalah seperti dalam berpakaian, berumah tangga, berpenampilan sehari-hari terkesan Arab sentris dan kurang apresiatif dengan budaya lokal atau setempat.
  16. Sering menolak produk budaya dan peradaban modern hanya karena diukur dengan masa salaf yang belum atau tidak ada seperti menolak pemilu, demokrasi, bank, go pay dan lain-lain. Namun anehnya, terhadap produk teknologi modern mereka begitu akrab dan sangat familier.
  17. Suka menggunakan kunyah dengan menambahkan nama “Abu” di depan namanya. Sementara untuk nama masjid sering menggunakan nama sahabat, demikian juga nama ma’had atau pondok pesantrennya.

Baca juga, Perlukah Muhammadiyah Menjadi Salafi atau Lainnya?

Demikian pengamatan dan pengalaman sekilas penulis, mungkin apa yang tersurat di atas tidak semuanya benar dan bersifat subyektif. Tapi 80 persen rasa-rasanya tidak meleset dari apa yang tertulis di atas, Insya Allah.

Dengan demikian, apa yang sering dikatakan sebagai para pengkritik Salafi hampir memiliki kesimpulan yang sama, bahwa gaya dakwah Salafi lebih menekankan pada tauhid dan fikih, sementara kurang mengedepankan adab dan akhlak. Penilaian ini tidak hanya muncul dari orang luar Salafi, bahkan juga berasal dari internal Salafi atau mantan Salafi yang keluar karena melihat sesuatu yang tidak pas di dalamnya.[11] Bahkan doktrin tertentu berpotensi merusak ukhuwah dengan kelompok muslim lain, seperti doktrin tahdzir, idhlal, takfir, memboikot ahli bid’ah dan semacamnya. Doktrin ini bukan hanya menimpa umat Islam di luar kelompok Salafi, tapi juga sesama Salafi yang kebetulan ada perbedaan dalam aspek tertentu.[12]

(*) Ketua Majelis Tabligh PWM Jateng.

Editor : M Taufiq Ulinuha


[1] Bandingkan dengan pengamatan dan kesimpulan Qumaidi untuk disertasinya, al-Ittijahat al-Ijtihadiyyat al-Mu’ashirah fi al-Fiqh al-Islami, Cet. I, (t.t.p : Dar Ibnu Hazm, 2013), I ; 372-398.

[2] Sikap ini dikritik al-Qardhawi dalam beberapa tulisannya, di antaranya lihat Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Prioritas, Cet. I, ( Jakarta : Robbani Press, 1998), hlm. 26.

[3] Abu Abdirrahman al-Thalibi, Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak; Meluruskan Sikap Keras dai Salafi, Cet. I, (Jakarta : Hujjah Pers, 2006), hlm. 77 dst.

[4] Karakter suka mengadili dan memvonis amaliah atau keyakinan kelompok lain tercermin juga dari buku-buku yang ditulis ustadz dari kelompok Salafi, biasanya mereka memakai judul agak vulgar seperti ‘koreksi’, ‘rapor merah’, ‘kesesatan’, ’89 kesalahan’, ‘ritual bid’ah’ dan lain-lain. Abdurrahman al-Mukaffi misalnya menulis buku judulnya Koreksi Tuntas Buku 37 Masalah Populer sebagai bantahan dan koreksi buku karya ustadz Abdul Shomad. Penulis yang sama juga menulis dengan judul Rapor Merah Aa Gym.

[5] Kaidah ini dicetuskan oleh al-Albani dan diikuti murid-muridnya. Lihat Abdullah Al-Harori,  Mengenal al-Albani dari Dekat, (Surabaya : Dar al-Hidayah, t.t), hlm. 134 dst.

[6]  Ali Jum’ah, Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’, Cet. II, (Jakarta : Khatulistiwa Press, 2017), hlm. 88 dst.

[7] Abu Abdirrahman al-Thalibi, Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak; Meluruskan Sikap Keras dai Salafi, Cet. I, (Jakarta : Hujjah Pers, 2006), hlm. 100, 112. Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan Genealogi Ajaran Salafi, Cet. III, (Tangerang : Maktabah Dar as-Sunnah, 2019), hlm. 191.

[8] Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan Genealogi Ajaran Salafi, Cet. III, (Tangerang : Maktabah Dar as-Sunnah, 2019), hlm. 206.

[9] Semestinya sebelum orang belajar fikih, apalagi  perbedaan fikih, ditanamkan dulu adab dan etika, termasuk etika dalam berbeda pendapat. Abdullah ibn al-Mubarak menuturkan pengalamannya, sebagaimana terdapat dalam kitab Ghayatun Nihayah Fii Thabaqatil Qurra’.

طَلَبْتُ الْأَدَبَ ثَلَاثِيْنَ سَنَةً، وَطَلَبْتُ الْعِلْمَ عِشْرِيْنَ سَنَةً، وَكَانُوْا يَطْلُبُوْنَ الْأَدَبَ قَبْلَ الْعِلْمِ

“Saya mempelajari adab selama tiga puluh tahun, dan saya mempelajari ilmu selama dua puluh tahun, mereka (para ulama salaf) mempelajari adab sebelum mempelajari ilmu.

Dengan adab dan akhlak mulia, perbedaan pendapat bisa disikapi dengan bijak dan tepat.

[10] Gaya dakwah yang sering keras dan pedas terhadap kelompok lain, baik melalui lisan maupun tulisan, akhirnya menghasilkan kritik dan serangan balik dari pihak lain yang merasa ‘diserang’. Lihat Syaikh Idahram, Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi, Cet. VII, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2012), hlm. 241 dst.

[11] Lihat buku Abu Abdirrahman al-Thalibi, Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak; Meluruskan Sikap Keras Dai Salafi, Cet. I, (Jakarta : Hujjah Pers, 2006) dan Tim Jazera, Syubhat Salafi, (Solo : Jazera, 2011)

[12] Dalam persoalan akhlak, kiranya kitab yang ditulis Imam al-Mawardi berjudul Adab ad-Dunya wa ad-Din layak dikaji dan diamalkan. Buku Thaha Jabir Fayyadh al-Ulwani berjudul Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, al-Adab asy-Syar’iyyah karya Ibnu Muflih dan lain-lain.

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE