Mengikis Sifat Egois
Mengikis Sifat Egois
Oleh : Akhmad Wahyudi, Lc.*
PWMJATENG.COM – Islam bukanlah agama yang hanya mengajarkan teori semata. Lebih dari itu, Islam juga agama yang menuntut para pemeluknya untuk beramal. tentu amal yang di landasi ilmu. Sehingga ilmu yang paling afdhal adalah ilmu yang tujuannya untuk diamalkan. Oleh karenanya sering kali kita dapati dalam Al-Quran kata Iman bergandengan dengan kata Amal.
Islam menuntut kita untuk menjadi pribadi yang bermanfaat (mutaaddi) atau dalam bahasa Jawa disebut Nyumambraih bagi orang lain. kita tidak boleh egois dengan diri kita sendiri. Kalau kita punya ilmu , maka sebarkanlah ilmu itu. Kalau punya jabatan maka manfaatkanlah untuk kepentingan umat. Kalau punya harta maka berbagilah dengan harta tersebut.
Terkait harta ada nasihat indah dari pendiri Muhammadiyah :
“Carilah sekuat tenaga harta yang halal, jangan malas. Setelah mendapat pakailah untuk kepentingan dirimu sendiri dan anak istrimu secukupnya, jangan terlalu mewah. Kelebihannya didermakan di jalan Allah.”
Demikian pesan KH A Dahlan dalam buku Pelajaran KH. Ahmad Dahlan 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al Quran, terbitan MPI PP Muhammadiyah.
Hal ini juga sesuai dengan hadis yang di riwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim :
“Dari Abu Hurairah Ra. beliau berkata, telah bersabda Rasulullah Saw.: Seseorang di antara kalian tidak (sempurna) imannya jika belum bisa mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Baca juga, Ketentuan dan Keutamaan Puasa Sunnah Syawal
Ini adalah teorinya. Mari kita lihat contoh praktiknya.
Suatu ketika, dalam peperangan yang maha dahsyat antara pasukan kaum muslimin yang dipimpin Saifullah Al Maslul Khalid bin Walid melawan pasukan Romawi di Yarmuk, ada sebuah peristiwa luar biasa yang menunjukkan kedermawanan yang paling tinggi, serta menghancurkan sifat ananiyah atau egoisme pribadi sehancur-hancurnya sehingga tidak punya tempat di sini.
Saat itu perang telah usai. Dikisahkan ada seseorang bernama Hudzaifah Al Adawi yang sedang mencari anak pamanya. Dengan membawa sedikit air, ia berjalan menelusuri anak pamannya itu di antara mayat- mayat yang tergeletak.
Pada akhirnya ia menemuinya dalam kondisi payah nan parah. Dengan segera ia menawarkan sedikit air yang ia bawa kepadanya. Ia pun mengangguk setuju. Hudzaifah segera mendekatkan air itu ke mulutnya untuk diminum.
Tapi tiba-tiba mereka berdua mendengar suara orang kesakitan yang membutuhkan pertolongan. Maka, anak pamannya itu memberi isyarat agar Hudzaifah memberikan airnya pada orang tersebut. Hudzaifah bergegas menemuinya. Orang ini pun dalam kondisi yang sama parahnya. Dengan Segera ia tawarkan air itu padanya.
Ketika hendak meminumnya, tiba-tiba ada suara rintihan lain yang juga sangat membutuhkan pertolongan. dengan isyaratnya orang kedua ini menyuruh Hudzaifah untuk menghampirinya. Tatkala Hudzaifah menemui orang ke 3 ini, ternyata ia telah meninggal. Maka dengan segera ia menuju ke orang ke 2, dengan harapan ia masih hidup dan dapat ditolong. Tapi ternyata dia pun telah meninggal.
Kemudian dengan cepat-cepat ia menuju orang pertama, yakni anak pamannya itu dan ternyata ia-pun juga telah meninggal. Pada akhirnya 3 orang ini meninggal semuanya.
Baca juga, Hukum Kawin Kontrak dalam Islam
Kita tidak bisa bayangkan di saat mereka dalam kondisi sangat kesulitan, yang bahkan hal itu mengancam nyawa, tapi mereka masih sempat untuk berbagi dengan yang lain dan bahkan lebih mendahulukan kepentingan orang lain atas diri mereka sendiri. Sehingga, selain mulia sebagai syuhada, mereka juga mulia dengan sifat kedermawanan yang paling tinggi yaitu itsar.
Itsar maknanya mendahulukan kepentingan orang lain atas diri sendiri meski ia sangat membutuhkan. Ia berkebalikan dengan bakhil atau egois yakni mendahulukan kepentingan diri sendiri atas orang lain.
Dari kisah ini kita belajar untuk menurunkan egoisme dalam diri.
Kita mungkin belum mampu mengikis habis sifat egois dalam diri secara sempurna seperti kisah di atas , tapi paling tidak kita bisa memaksa diri kita sedikit demi sedikit, sehingga lama kelamaan sifat egois kita terkikis dan sifat suka berbagi menjadi terbiasa bagi jiwa kita.
Maka saat kita merasa diri ini sedang bakhil atau egois, cobalah bercermin dengan kisah ini, agar pantulan cahayanya dapat menghapus kabut egoisme dalam diri. Allohu A`lam.
*Mudarris Ma’had Imam Malik Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Editor : M Taufiq Ulinuha