Gejala Complacency dan Jumud Di Muhammadiyah
Oleh : Gus Zuhron*
PWMJATENG.COM – Adalah Cak Nur (1997) pernah mengatakan “Muhammadiyah dapat terancam menjadi tawanan dari bayangan keberhasilan dirinya pada masa lampau karena rasa puas diri (complacency) yang biasanya menjadi pangkal konservativisme dan kebekuan (jumud).”
Agaknya ramalan Cak Nur duapuluh tujuh tahun yang lalu masih menemukan relevansinya hingga saat ini. Rasa puas diri dan kebanggaan sebagian warga Persyarikatan tidak lebih dari sekedar memperlihatkan warisan masa lalu. Kondisi itu diperburuk dengan terjadinya penyempitan pengetahuan yang cukup masif di kalangan masyarakat akar rumput, kelas menengah dan sebagian elite Muhammadiyah.
Indikatornya dapat dibaca melalui tiga ukuran. Pertama, para penggerak Muhammadiyah dalam kontek membangun amal usaha masih belum beranjak dari warisan pemikiran lama. Feeding, healing, dan schooling adalah trisula gerakan yang telah dicanangkan sejak awal berdirinya Persyarikatan. Artinya kalau hari ini pengembangan amal usaha masih berputar pada tiga segmen itu sejatinya pemikiran Muhammadiyah belum berubah sejak 1 abad yang lalu.
Ada seorang pengurus begitu bangga melaporkan bahwa mereka memiliki sekolah dan amal usaha lain yang jumlahnya banyak dan cukup berprestasi. Seolah-olah semua itu hasil karya dirinya, padahal tidak lebih dari sekedar menyampaikan laporan yang merupakan produk generasi sebelumnya.
Sudah saatnya berani mengatakan stop membangun sekolah, rumah sakit dan panti asuhan. Cukuplah yang sudah ada dikembangkan untuk menjadi sesuatu yang lebih berkelas tanpa harus membangun yang baru tetapi bercita rasa lama. Hotel, mall, swalayan, industri wisata, pabrik, lembaga pengembangan antariksa, pendirian maskapai penerbangan, moda transportasi, teknologi digital, bisnis digital dan seterusnya harus menjadi prioritas baru pengembangan amal usaha.
Baca juga, Relasi Ulama dengan Umara dalam Politik
Kedua, tumbuh suburnya gejala konservatisme dalam tubuh Muhammadiyah. Hal ini jelas tidak selaras dengan prinsip moderat dan modern sebagai ciri yang melekat pada gerakan pembaharuan ini. Sebagian masyarakat Muhammadiyah sangat sensitif dengan isu-isu pluralisme, inklusivisme dan bentuk isme-isme yang lain. Bahkan menghadapi kelompok yang berbeda paham agama masih dipandang dengan kacamata hitam-putih. Residu konflik masa lalu masih tersisa hingga saat ini ketika melihat praktik keberagamaan tradisional seperti tahililan, yasinan, nyadran, diba’an dan seterusnya.
Ketiga, dalam konteks politik tampaknya Muhammadiyah sedang kehilangan momentumnya. Kedewasaan dalam melihat perbedaan pilihan masih menjadi problem yang belum selesai. Sebagian warga terjebak pada ilusi bahwa pilihannya adalah sang ratu adil yang harus memimpin bangsa. Oleh karenanya mereka yang berbeda pilihan dianggap sebagai munafik, kafir, pendukung rezim, tidak berakal sehat dan sumpah serapah lainnya. Bumbu agama dilekatkan dalam medan perjuangan politik yang sejatinya tidak pada tempatnya. Ada ungkapan yang viral “yang penting saya sudah memilih yang benar, menang kalah kita serahkan pada Allah”. Ungkapan ini seolah-olah benar namun sejatinya ada problem serius dalam kalimat itu.
Politisasi agama kerap menjadi hidangan spesial dalam perjumpaan media sosial dan narasi publik. Jihad dan amar ma’ruf nahi munkar sering dipilih sebagai diksi untuk melegitimasi tindakan pemihakan pada calon tertentu. Bahkan ada yang sangat serius mendoakan dari tanah suci agar calon lain yang bukan pilihannya bakalan nyungsep dalam proses kontestasi.
Semua itu jelas sebuah fenomena yang menghawatirkan. Harus ada upaya untuk mengembalikan kompas gerakan agar kembali pada cita-cita luhurnya. Muhammadiyah tidak akan mampu bertahan dalam gempuran perubahan yang begitu cepat jika masih berbangga diri pada pasa lalu dan diam-diam berternak kejumudan. Segeralah siuman.
*(A)Gus Berkemajuan, Intelektual Muslim, & Sekretaris MPKSDI PWM Jawa Tengah.
Editor : M Taufiq Ulinuha