Mengkhatamkan Mazhab Politik Muhammadiyah
Oleh : Rudi Pramono*
PWMJATENG.COM – Muhammadiyah secara formal organisatoris adalah organisasi dakwah yang bergerak di ranah kemasyrakatan, Muhammadiyah belum pernah menjadi Parpol meski situasi kolonial pada saat itu sangat tepat melakukan perlawanan politik.
KH Agus Salim dalam sebuah forum resmi Muhammadiyah mengusulkan agar Muhammadiyah menjadi partai politik, situasi saat itu memang dalam suasana pergerakan melawan kolonialisme, semua hadirin terdiam dan hampir setuju, namun KH Ahmad Dahlan dengan ‘keras” berkata : “Apakah artinya agama itu ? “, yang intinya Allah memerintahkan kita untuk berjuang membangun rakyat ini dengan dakwah dan amaliyah yang menyentuh langsung masyarakat miskin jadi beliau mendirikan Muhammadiyah untuk bergerak di ranah kemasyarakatan (kultural) bukan politik (struktural). Dalam konteks tersebut beliau menjalin kedekatan dengan semua kalangan, beliau menjadi anggota Budi Utomo sekaligus mengajar agama di Kweekschool, menjadi penasihat di Syarikat Islam dan mengundang tokoh-tokoh ISDV (komunis) seperti Sema’un dan Darsono untuk berpidato dalam sebuah forum resmi Muhammadiyah.
Namun melihat gerakan amalnya sesungguhnya Muhammadiyah telah berpolitik sejak awal kalau politik diartikan sebagai strategi mencapai kesejahteraan. Secara praksisme politik melalui kekayaan Amal Usaha dan kemanfaatannya bagi masyarakat luas dan sudah berjuang jauh sebelum Indonesia merdeka, Muhammadiyah bisa menjadi kekuatan penekan (pressure politic) dan kekuatan civil society apalagi ketika saat ini kekuatan oposisi melemah dan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif berada dalam satu genggaman.
Dengan kepeloporan dalam membangun tradisi baru umat Islam dan melembagakan amal sholeh, inilah politik keumatan dan kebangsaan yang telah dilakukan Muhammadiyah jauh sebelum negara ini terbentuk, melalui dorongan agama dan diwujudkan dengan tradisi amal maka Muhammadiyah sukses membangun kemandirian untuk memberikan kontribusi yang besar bagi umat, bangsa dan negara.
Dengan sedikit bicara banyak kerja berbanding terbalik dengan politisi. Muhammadiyah telah menjadi kekuatan politik terkemuka sekaligus kekuatan moral politik untuk kepentingan bangsa.
Menengok Sejarah
Dalam perkembangan sejarah banyak tokoh Muhammadiyah yang terlibat perjuangan politik, KH Ahmad Dahlan meski banyak melakukan perjuangan secara dakwah dan kultural, namun beliau juga menjadi anggota Budi Utomo dan Syarikat Islam, Mas Manshur merupakan satu dari 4 Serangkai yang memperjuangkan nasib rakyat Indonesia sejak jaman kolonial sampai jaman Jepang, bersama Ir Sukarno, Moh. Hatta dan Ki Hajar Dewantara dan beliau juga pendiri Partai Islam Indonesia tahun 1938 dan Majelis Islam Al A’la Indonesia (MIAI), Ki Bagus Hadikusumo di BPUPKI menjadi tokoh penting dalam penyusunan Pancasila kaitannya dengan Piagam Jakarta, Amien Rais menjadi tokoh penting Reformasi 1998 dan melalui Tanwir Muhammadiyah mengamanatkan untuk mendirikan partai politik (PAN), menunjukkan bahwa tokoh-tokoh Muhammadiyah lekat dengan perjuangan politik.
Semua langkah perjuangan tersebut baik secara struktural (politik) dan kultural (kemasyarakatan) dalam rangka perjuangan politik keumatan dan kebangsaan dengan semangat menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muhammadiyah mengambil pelajaran dari perjalanan politik bangsa, era orde lama, orde baru, meski sekarang era reformasi tidaklah yang namanya politik selamanya benar selalu ada sisi negatif dan merusak, lawan politik akan dilibas, para pendukung akan di angkat, oleh karena itulah Muhammadiyah sejak awal tidak bergerak di lapangan politik praktis.
Sejarah mengajarkan ketika Masyumi dibubarkan dan tokoh-tokohnya ditangkap karena dianggap terlibat PRRI merembet ke Muhammadiyah meski tidak sampai dibubarkan, persentuhan dengan politik praktis ternyata terbawa dalam mengelola organisasi yang mana menggunakan cara-cara politik yang tidak sesuai dengan jati diri Muhammadiyah sehingga muncullah konsep Kepribadian Muhammadiyah pada tahun 1968, tentang apa, bagaimana dan siapa Muhammadiyah itu?
Oleh karena itu mencermati situasi yang sering tidak menguntungkan secara politik di era orde lama dan orde baru maka Muhammadiyah berijtihad netral pasif dalam politik, kembali fokus sebagai gerakan dakwah kemasyarakatan. Namun ketika era berubah, masa reformasi yang membuka lebar-lebar demokrasi, ada tuntutan ada perubahan sikap politik, maka Muhammadiyah berijtihad Netral Aktif sebagai konsep yang dipandang ideal tapi juga realistis, Muhammadiyah tetap ada dalam khittah, namun lebih dekat ke politik, dari menjaga jarak yang sama menjadi menjaga kedekatan yang sama dengan partai politik karena pertimbangan politik sangat strategis dan praktis untuk mendukung gerakan dakwah Muhammadiyah di samping mengawal kebijakan politik agar selalu searah dengan nilai-nilai moral dan cita-cita bangsa.
Netralitas Muhammadiyah secara organisasi telah dipagari oleh khittah organisasi sejak tahun 1968 yang terus diperkuat dari periode ke periode dan telah ada aturan bilamana PP, PW, PD, Majelis menjadi capres, cagub, cabup, caleg harus mengundurkan diri dari Muhammadiyah, bila menjadi Tim Sukses harus non aktif sampai pemilu selesai.
Aktivitas Politik Kader Muhammadiyah
Keaktifan Muhammadiyah ke politik dalam wujud mendorong kader-kadernya untuk aktif di politik melalui parpol, setelah menempuh persyaratan organisasi di antaranya tidak rangkap jabatan.
Aktifitas politik kader Muhammadiyah bukanlah untuk sesuatu yang pragmatis (kemanfaatan semata tanpa mengindahkan nilai-nilai dan aturan yang berlaku) karena hal tersebut melanggar misi dakwah Muhammadiyah, semua ada aturannya semua ada etika politik dan fatsun politiknya, inilah yang membedakan politik Muhammadiyah dengan yang lainnya. Bagaimana dengan warga Muhammadiyah, apakah harus diarahkan ke satu calon tertentu?
Muhammadiyah telah melakukan kajian dan diskusi keilmuan yang mencerahkan namun pada akhirnya tetap memberikan kebebasan kepada warganya untuk menentukan pilihannya secara cerdas dan sesuai hati nuraninya.
Ada satu gagasan cerdas dan pembaharu dari Pemuda terkait aktivitas politik Muhammadiyah, sangat sesuai dengan ideologi dan identitas amal Muhammadiyah yaitu membuat Sekolah Negarawan atau Sekolah Bela Negara, untuk mempersiapkan dan mendidik kader-kader politisi yang memahami ajaran Islam dan ideologi Muhammadiyah dalam aktivitas politik nantinya, Sekolah Negarawan itu akan menciptakan politisi negarawan andal yang berakhlakul kharimah dan menerapkan etika politik untuk kepentingan umat, bangsa dan negara.
Dengan pemikiran tersebut maka Khatamlah Mazhab Politik (Mazhab Siyasiyah) Muhammadiyah, di mana telah ada jalan, pedoman, batasan yang dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah, sebagai jalan terang (Manhaj) bagi aktivis dan warga Muhammadiyah.
Dalam menyikapi politik, Muhammadiyah Netral dan Aktif, bersikap netral telah dipagari oleh Khittah dan aturan tentang jabatan, namun Muhammadiyah Aktif : mendorong dan mempersiapkan kader-kader Politik untuk terjun ke politik praktis tapi bukan tujuan pragmatis kekuasaan tetapi menjalankan misi dakwah Islam Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid. Inilah Politik sebagai Amal Usaha Muhammadiyah yang bentuknya tidak berupa Partai Politik Muhammadiyah tapi Sekolah Politik Muhammadiyah (Sekolah Kenegarawanan) untuk menghasilkan politisi yang amanah dan kompeten untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat dan kedaulatan negaranya.
Mengutip tulisan Haedar Nashir di majalah Suara Muhammadiyah, para Kader Muhammadiyah yang terjun ke Politik harus tetap menjaga Marwah Muhammadiyah melalui :
Pertama, Khitah Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid, tidak memiliki hubungan organisatoris dan tidak merupakan afiliasi dengan parpol manapun, Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota persyarikatan dan warga menyalurkan aspirasi politiknya sesuai hati nuraninya masing-masing.
Kedua, Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan golongan manapun berdasarkan prinsip kebaikan dan kemasalhatan menjauhi kemudaratan dan bertujuan membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis dan berkeadaban.
Ketiga, Muhammadiyah meminta kepada anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah) akhlak mulia (akhlaq al karimah) keteladanan (uswah hasanah) dan perdamaian (Ishlah).
Keempat, Muhammadiyah secara organisasi tidak masalah memperoleh bantuan dari pemerintah atau golongan manapun asal Untuk kepentingan organisasi secara elegan, tanpa merendahkan diri, halal dan tidak mengikat dan tidak ada kepentingan pribadi dan dinasti dan pada saat yang sama para pemimpin Muhammadiyah juga tetap leluasa memberi masukan dan kritikan.
*Ketua MPI PDM Wonosobo
Editor : M Taufiq Ulinuha