Antara Rukyat dan Hisab
Antara Rukyat dan Hisab
Oleh : Nishfun Nahar, S.Pd.I., M.Pd.*
PWMJATENG.COM – Pangkal perbedaan penggunaan metode rukyat ataukah hisab dalam penentuan awal bulan hijriah sebenarnya bukan pada kesangsian terhadap keakuratan hasil perhitungan ilmu hisab. Sebab semua pihak pada dasarnya mengakui keakurasian hasil perhitungan hisab, bahkan oleh penganut metode rukyat sekalipun.
Karena, ketika ada kesaksian orang yang melihat hilal namun secara hisab diperhitungkan posisi hilal masih di bawah kriteria imkanur rukyah maka kesaksian orang yang berhasil melihat hilal itu akan ditolak atas dasar hisab. Hanya saja bedanya, kelompok penganut metode hisab menggunakan hisab untuk itsbat (menetapkan), sementara bagi penganut metode rukyat, hisab digunakan selain untuk membantu proses rukyat juga digunakan untuk melakukan nafyi (menolak kesaksian orang yang melihat hilal yang oleh hasil hisab dinyatakan hilal masih di bawah kriteria imkanur rukyah tadi). Hal ini sebagaimana pendapat Imam Taqiyuddin as-Subki yang dikemukakan oleh Sayyid Abū Bakar Syaṭa di dalam Ḥasyiyah I’ānah al-Ṭālibin Juz 2 hal. 216:
(فرع) لو شهد برؤية الهلال واحد او اثنان واقتضى الحساب عدم امكان رؤيته ، قال السبكي: لا تقبل هذه الشهادة، لان الحساب قطعي والشهادة ظنية، والظن لا يعارض القطع
Jika satu orang atau dua orang bersaksi telah melihat hilal sementara hisab (hasil perhitungannya) menetapkan hilal tak mungkin terlihat, maka menurut al-Subki, kesaksian itu tidak diterima karena hisab bersifat pasti (qaṭ’iy) sedangkan rukyah bersifat dugaan (ẓanni). Sementara yang bersifat dugaan itu tidak bisa mengalahkan yang pasti.
Pangkal perbedaan pun bukan karena perbedaan kriteria ketinggian hilal untuk bisa dilihat (imkanur rukyah). Sebab, meskipun misal semua pihak sepakat kriteria tertentu titik ketinggian hilal (yang satu menurunkan kriteria dan yang satunya menaikkan kriteria), masih saja akan berpotensi terjadi perbedaan. Karena bagi penganut metode rukyat tetap harus menunggu betul-betul hilal terlihat atau kalau tidak bisa terlihat seperti karena faktor cuaca maka umur bulan digenapkan menjadi 30 hari.
Lantas di Mana Pangkal Perbedaannya?
Pangkal perbedaan ada pada pemahaman posisi metode rukyatul hilal (melihat hilal) yang Nabi Saw. sabdakan, “Berpuasalah kalian (memastikan sudah masuk bulan Ramadan) karena melihat hilal dan berbukalah (akhiri puasa, pastikan sudah masuk bulan Syawal) juga dengan melihat hilal.” Apakah metode rukyat sebagai pilihan Nabi Saw. untuk menetapkan bulan baru tersebut termasuk ranah ta’abbudiy yang bersifat tauqify ataukah termasuk ranah ta’aqquliy (muamalah duniawiyah) yang bersifat taufiqy.
Konsekuensi jika mengikuti pendapat pertama, bahwa metode rukyah dianggap termasuk ranah ta’abbudiy yang bersifat tauqify maka metode rukyat dimaknai sebagai amalan ibadah, masuk aspek ṡawābit yang tidak berubah sepanjang masa sehingga harus diterima tanpa reserve, dan berdosa jika menggantinya dengan metode lain. Pun akan termasuk pada perbuatan bid’ah karena memodifikasi ibadah. Bahkan meskipun hasil hisab telah menetapkan hilal tidak mungkin dirukyat proses rukyat akan tetap dilaksanakan karena dianggap bagian ibadah tadi.
Baca juga, Yuk Pahami Dasar Kriteria Wujudul Hilal!
Namun, jika metode rukyat itu dianggap termasuk ranah urusan muamalah duniawiyah yang bersifat taufiqiy, maka metode penetapan awal bulan merupakan perkara mutaghayyirāt yang bersifat dinamis, bisa berubah menggunakan metode lainnya (dari metode rukyat digantikan dengan metode hisab) dengan menggunakan argumentasi nalar ilmiah dan kontekstualisasi pemahaman nash dalil Al-Qur’an maupun hadis selama hasil kedua metode itu akhirnya sama (menentukan telah muncul bulan baru, hilal) dan bisa dipertanggungjawabkan.
Metode Penetapan Awal Bulan: Antara Ranah Ta’abudiy yang Taufiqy dan Ranah Ta’aqquliy Duniawi yang Taufiqy
Kelompok penganut metode rukyat memandang rukyat sebagai metode penetapan awal bulan adalah metode yang sudah dipilihkan oleh Nabi Saw. karena itu yang secara ṣarih (tegas) disebutkan oleh Nabi Saw. dalam hadisnya. Sehingga dipahami sebagai ibadah satu paket dengan ibadah puasanya (ta’abbudiy), sebagaimana dijelaskan di atas. Analogi yang sering dijadikan perbandingan adalah penggunaan debu sebagai campuran air untuk menghilangkan najis mughalladzah jilatan anjing. Karena debu adalah alat yang disebutkan oleh Nabi maka tidak boleh digantikan dengan sabun dan sejenisnya meski secara ilmu medis dinyatakan sabun itu bisa membunuh bakteri dan kuman serta beraroma wangi. Jika dipaksakan menggunakan campuran sabun sebagai pengganti debu maka najis mughollazohnya masih tetap, belum suci.
Lantas, apa argumentasi bagi penganut metode hisab yang berpendapat metode penentuan awal bulan adalah aspek muamalah duniawiyah yang ta’aqquliy, bukan ibadah?
Pertama, pemilahan amalan antara mana yang ranah ta’abbudiy yang sifatnya tauqifiy dan mana yang masuk ranah muamalah duniawiyah yang bersifat taufiqiy.
Amalan ta’abbudiy adalah urusan ibadah yang pelaksanaannya harus mengikuti petunjuk dalil agama (otoritas wahyu, al-Quran dan Sunnah) sehingga bersifat tauqifiy (rigid, mengikuti petunjuk wahyu). Hal ini karena manusia dengan bekal akalnya saja tidak bisa menemukan cara beribadah kepada Allah Swt., seperti halnya ritual ibadah salat dan puasa.
Baca juga, Hari Gini Belum Paham Wujudul Hilal?
Sementara amalan muamalah duniawiyah adalah urusan teknis duniawi yang seandainya saja Rasul Saw. tidak diutus oleh Allah Swt., manusia akan mampu menentukan cara melaksanakan amalan tersebut berbekal akal budi yang Allah Swt. karuniakan kepadanya sehingga bersifat taufiqiy yang dinamis sesuai perkembangan peradaban manusia.
Penganut metode hisab berpendapat aspek ta’abbudiy adalah puasanya, sementara metode penetapan awal bulan adalah aspek duniawi, karena sebelum Rasul diutus sejak jaman dulu orang Arab sudah bisa menentukan awal bulan dengan metode yang berkembang secara sederhana saat itu, yakni dengan melihat hilal (rukyah), artinya tanpa petunjuk Nabi Saw. pun orang Arab sejak jaman dulu sudah bisa menentukan kapan masuk bulan baru. (Baca hadis Nabi Saw. yang mengindikasikan adanya pemilahan aspek ta’abbudiy dan dunawi dalam kasus cocok tanam/penyerbukan bunga kurma, dengan sabda beliau: “Jika urusan itu adalah urusan duniawi maka kalian lebih tahu, namun kalau urusan itu adalah urusan agama maka kembalikan kepada (otoritas) saya”).
Kedua, pemilahan mana aspek syari’atullah dan sunnatullah. Syari’atullah merupakan ketentuan perundang-undangan dari Allah Swt. yang berisi perintah dan larangan berupa hukum taklif yang dapat diketahui dengan dalil agama. Sementara sunnatullah adalah ketetapan Allah yang berlaku kepada semua makhluk dan terjadi terus-menerus secara teratur sehingga orang awam menyebutnya sebagai hukum alam yang ini bisa diketahui dengan ilmu sains yang eksak. Dalam hal ini, puasa merupakan bagian dari syari’atullah, sementara metode penetapan awal bulan karena terkait peredaran matahari dan bulan merupakan bagian dari sunnatullah. Ilmu untuk mengetahui bulan baru secara konvensional di masa lalu cukup dengan mengamati kenampakan hilal (rukyah) dan saat sekarang berkembang dengan hasil yang lebih pasti dengan ilmu astronomi modern.
Ketiga, penganut metode hisab membaca hadis tentang rukyah dengan melihat konteks latar belakang historis, sosial dan kultural ketika hadis itu muncul, ditambah dengan semangat ajakan ayat-ayat Al-Quran untuk mengkaji fenomena benda-benda langit sebagai dasar perhitungan waktu dan ini semua dikaji dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani sekaligus dan pertimbangan maqashid syariah lainnya.
Baca juga, Berpolitik yang Bermuhammadiyah
(Bahan bacaan tambahan barangkali bisa membaca pendapat Syaikh DR. Abdul Karim Zaydan seorang ulama Ushul dari Iraq dalam kitabnya al-Madkhal Li dirāsat al-Syarī’ah al-Islāmiyyah yang membagi sunnah Nabi Saw. ada yang tasy’rī’iyyah dan ghair tasyrī’yyah dengan kriteria-kriterianya).
Nabi Saw. sudah tahu kelak ada fenomena ikhtilaf awal bulan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: مِنِ اقْتِرَابِ السَّاعَةِ انْتِفَاخُ الأَهِلَّةِ، وَأَنْ يُرَى الْهِلالُ لِلَيْلَةٍ، فَيُقَالُ: هُوَ ابْنُ لَيْلَتَيْنِ (رواه الطبراني في المعجم الصغير)
Ketika Rasulullah Saw. menyebutkan di antara tanda-tanda hari kiamat beliau menyebutkan mengembangnya bulan sabit (hilal) pertanda tanggal 1, yakni semestinya hilal terlihat untuk satu malam, namun ada yang mengatakan hilal terlihat dua malam (dua kali dalam dua malam). Hal ini bisa dipahami sebagai prophecy atau nubuat Nabi Saw. tentang salah satu fenomena akhir jaman hilal tanggal 1 dapat terlihat untuk dua malam yang berbeda dalam satu bulan, sebagaimana perbedaan tanggal 1 Syawwal sekarang, yang satu rukyah bil ilmi dan satunya rukyah bil fi’li.
Mari Teladai Sahabat Nabi Saw. dalam Menyikapi Ikhtilaf dengan Persatuan dan Persaudaraan
Fenomena ikhtilaf karena perbedaan pemahaman atas hadis Nabi antara mereka yang berpaham cenderung tekstual dan mereka yang cenderung kontekstual sejatinya pernah terjadi di masa Nabi Saw.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنَا لَمَّا رَجَعَ مِنَ الأَحْزَابِ: «لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ» فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمُ العَصْرُ فِي الطَّرِيقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لاَ نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ، فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ(متفق)
Ceritanya, seusai perang Khandaq/Ahzab, Rasulullah Saw. mengutus sekelompok sahabat untuk menuju ke perkampungan Yahudi Bani Quraidhah seraya bersabda: “Jangan sekali-kali ada salah seorang di antara kalian mengerjakan salat Ashar kecuali (nanti) di Bani Quraidhah”. Namun ternyata di tengah jalan waktu Ashar telah tiba, maka muncul ikhtilaf, sebagian berpegang pada hadis Nabi secara tekstual, artinya tidak mengerjakan salat Asar kecuali kalau sudah tiba di Bani Quraidhah (meskipun sudah masuk waktu malam) dan sebagian lainnya memahami hadis Nabi secara kontekstual yang diartikan agar bergegas supaya tiba di Bani Quraidhah sebelum masuk waktu Asar. Kelompok kedua memilih mengerjakan salat Asar meski belum tiba di Bani Quraidhah (dan nampak menyelisihi hadis Nabi secara tekstual). Sepulang di Madinah peristiwa itu diceritakan kepada Nabi Saw. dan menurut penuturan Ibnu Umar Ra. sang perawi, Nabi Saw. tidak menyalahkan seseorang pun.
Betapa indah contoh para sahabat dalam menyikapi perbedaan tanpa menyalahkan satu sama lain dan tidak klaim kebenaran tunggal, semuanya disikapi dengan arif dalam bingkai persatuan dan persaudaraan karena semuanya beramal berlandaskan atas dalil meskipun dengan pemahaman yang berbeda.
Baca juga, UMS Kembali Luluskan Insinyur yang Unggul, Kompeten, dan Berdaya Saing Global
Penganut metode hisab seyogyanya bisa mengapresiasi niat dan iktikad penganut metode rukyah dalam mengamalkan dan menghidupkan sunnah Nabi secara murni. Dan sebaliknya penganut metode rukyah seyogyanya juga bisa menghormati pendapat penganut hisab dalam memahami sunnah Nabi secara kontekstual yang sesuai dengan kondisi kekinian dengan sama-sama berlandaskan atas dalil agama yang dipahami. Karena fenomena seperti ini akan terus berulang, bahkan sepertinya juga nanti Idul Adha 1444 H, maka usahlah menggoreng-goreng isu ini yang akan berdampak pada ukhuwah, apalagi menjadikannya osang-oseng.
Akhir kata, selamat berhari Raya Idulfitri kapan pun Anda merayakannya, mohon maaf lahir dan batin. Kepada yang merayakan Idulfitri setelah berpuasa Ramadan selama 29 hari saya doakan semoga amal ibadah puasa Anda diterima oleh Allah Swt. terhitung satu bulan penuh, karena memang satu bulan -kata Nabi Saw.- adakalanya 30 hari dan adakalanya 29 hari. Sementara kepada yang merayakan Idulfitri setelah berpuasa 30 hari karena istikmal, semoga amal ibadah puasanya diterima oleh Allah Swt. dengan pahala yang lebih satu hari. Sebab selapang dada ini pula Rasulullah Saw. mencontohkan ketika pernah dua orang sahabat Nabi Muhammad Saw. berbeda pendapat dalam satu perjalanan (safar), saat tiba waktu salat keduanya mencari air untuk wudu, karena tak ada air keduanya salat dengan tayamum. Selesai salat mereka menemukan air. Satu di antara keduanya wudu kemudian mengulang salatnya, sementara yang orang kedua mencukupkan salatnya dengan tayamum. Setiba di Madinah keduanya menceritakan kejadian itu kepada Nabi Muhammad Saw. Kepada yang mengulang salat beliau bersabda : laka-l ajru marratain, kamu dapat dua pahala. Dan kepada yang tidak mengulang salat beliau bersabda : ashabta-s sunnah, apa yang kamu lakukan sesuai dengan sunnah. Artinya sama dapat dua pahala, pahala salat dan pahala mengikuti sunnah Rasul. Wallaahu a’lam bish showaab
*Wakil Sekretaris PDM Kabupaten Pekalongan
Editor : M Taufiq Ulinuha