Moderasi Islam: Memelihara Keseimbangan Lingkungan (2)
Moderasi Islam: Memelihara Keseimbangan Lingkungan (2)
Oleh : Prof. Dr. H. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag.*
PWMJATENG.COM – Ekosistem lingkungan biasanya mengacu pada komunitas spesies yang berbeda yang berinteraksi satu sama lain dan dengan faktor-faktor kimia dan fisik yang membentuk lingkungan tak hidup. Segala sesuatu yang ada dalam biosfer yang memengaruhi lingkungan adalah komponen ekosistem. Penting kiranya kita melihat secara global apa pesan Al-Qur’an dan al-Sunnah mengenai ekosistem yang memengaruhi organisme hidup bersama, orientasi nilai dan aspek perlindungannya.
Rahmat Tuhan melalui angin berfungsi untuk mendinginkan dan menjernihkan atmosfer, dan membawa berkah hujan, yang menyuburkan tanah dan membantu perdagangan dan hubungan internasional antar manusia, melalui jalur laut dan jalur udara. Angin memainkan peran penting dalam menyedot kelembapan dari air terestrial, membawanya di awan gelap sesuai kebutuhan, dan memecahnya dengan hujan sesuai kebutuhan.
Demikianlah, sesungguhnya udara adalah karunia Allah yang besar dan ditempatkan lebih tinggi statusnya dalam Islam yang tanpanya kelangsungan hidup umat manusia hanyalah mustahil. Dalam tafsir tentang rezeki dalam QS. Yunus 10: 59, Yusuf Ali menyatakan bahwa “rezeki” harus diambil baik dalam arti literal maupun metaforis.
Dalam arti harfiah, betapa indah dan beragamnya hal-hal yang telah Allah sediakan bagi kita di darat, laut dan udara, tumbuhan, hewan, dan mineral. Namun pikiran sempit akan membuat manusia tidak dapat memanfaatkan semua rezeki itu.
Ayat ini menandakan dua poin penting. Salah satunya adalah bahwa udara merupakan anugerah terbesar dari Allah yang menyelamatkan hidup. Dan yang lainnya adalah kita seharusnya tidak mengubah anugerah yang tak ternilai ini menjadi ‘hal terlarang’ oleh kita karena penggunaannya secara sembrono dan tidak bijaksana.
Baca juga, Moderasi Islam: Memelihara Keseimbangan Lingkungan (1)
Namun sangat disayangkan bahwa umat manusia telah mempertaruhkan atmosfer yang menyebabkan udara, baik di dalam maupun di luar ruangan, sangat tercemar, hampir tidak dapat dihirup dan menyebabkan berbagai masalah yang mengancam jiwa seperti efek rumah kaca, hujan asam, pemanasan global dan lain-lain.
Masalah lain yang berasal dari udara yang tercemar adalah hujan asam. Hal ini telah menjadi masalah utama di seluruh dunia, tetapi yang paling sering dipublikasikan adalah Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa. Hujan asam membunuh danau dan sungai, merusak tanah secara serius, dan membahayakan kesehatan hewan dan manusia.
Hujan asam terjadi ketika udara dipenuhi polutan seperti belerang dan nitrogen dioksida yang bercampur dengan kelembapan atmosfer sehingga menghasilkan asam sulfat dan nitrat. Fenomena hujan asam juga telah disebutkan dalam Al-Qur’an.
Ahli lingkungan dari Jerman Ahmad Von Denffer menunjukkan fenomena ini dengan mengacu pada ayat berikut: “Adakah kalian memperhatikan air yang kamu minum? Kaliankah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Jika Kami kehendaki, niscaya Kami menjadikannya berasa asin, mengapa kamu tidak bersyukur? (QS. Al-Waqi`ah 56: 68-70)
Gambaran di atas menunjukkan kepada kita, mungkin benar bahwa yurisprudensi Islam menunjukkan stabilitas dan kesinambungan nilai, pemikiran, dan institusi yang lebih besar jika dibandingkan dengan yurisprudensi barat. Orang-orang Barat mendasarkan hukum mereka pada rasionalitas, adat istiadat, keutamaan yudisial, moralitas dan terakhir pada agama.
Baca juga, Panggung Dakwah untuk Milenial: Kesepaduan Otoritas Ilmu dan Teknologi
Konsep keberlanjutan konvensional Barat melibatkan hubungan tiga pilar yaitu sosial, ekonomi dan lingkungan. Sementara konsep keberlanjutan dalam perspektif dan kerangka konseptual Islam menunjukkan hubungan erat antara hal-hal agama dan duniawi, serta lingkungan ditempatkan dalam konteks yang lebih luas meliputi kesejahteraan sosial manusia dan kegiatan ekonomi mereka. Di atas segalanya, manusia merupakan faktor penentu karena ia ditugaskan sebagai khalifah di muka bumi.
Ide tentang keberlanjutan (sustainability) dalam Islam dapat dipahami lebih lanjut dalam konteks perencanaan kota sebagaimana doa yang dilantunkan oleh Mawlay Idris al-Azhar dalam pembukaan kota Fez di Maroko:
“Ya Tuhan, Engkau Maha Tahu bahwa saya tidak bermaksud membangun kota ini untuk mendapatkan kebanggaan dan pamer. Saya juga tidak bermaksud untuk kemunafikan atau meraih reputasi dan kesombongan, tetapi saya ingin Engkau disembah di dalamnya, hukum-Mu, batasan-batasan dan prinsip-prinsip Al-Qur’an dan petunjuk Nabi-Mu dapat ditegakkan di dalamnya selama dunia ini ada”.
Doa ini benar-benar mencerminkan bahwa keberlanjutan dapat dicapai melalui perencanaan kota jika manusia benar-benar menjunjung tinggi ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Secara komprehensif, sebuah kota menjadi tempat di mana agama dipraktikkan dalam setiap aspek kehidupan manusia.
Baca juga, Semangka Palestina
Lingkungan yang kita tinggali saat ini menghadapi wajah yang keji oleh aktivitas manusia. Di tengah perubahan alam selama milenium terakhir, efek aktivitas manusia semakin terasa, dan sekarang mencapai atmosfer terluar planet bumi –lebih jauh dari apa yang kita klasifikasikan sebagai hutan belantara.
Sumber daya bumi berkurang dan alam mengalami kemunduran. Dalam waktu kurang dari satu abad, populasi manusia dan kebutuhannya akan ruang, bahan, barang, dan fasilitas telah meningkat lebih dari lima kali lipat. Selama enam puluh tahun terakhir saja, laju pertumbuhan eksplosif populasi manusia global dan konsumsi sumber daya kita yang tak terpuaskan telah menjadi penyebab keruntuhan ekosistem alam yang meluas.
Contoh-contoh besar sudah terkenal, seperti penebangan hutan yang berlebihan, pengeringan lahan basah, penyebaran pembangunan pertanian dan tingginya tingkat penggunaan pestisida dan pupuk, penyebaran hama liar, pembukaan hutan yang berlebihan untuk persediaan domestik, urbanisasi tepi pantai, dan pencemaran sungai dan muara.
Sayangnya banyak spesies telah hilang. Bisa dibilang jauh lebih serius adalah penyimpangan fungsional dalam pengoperasian sistem ekologi secara menyeluruh. Semua kerusakan lingkungan ini disebabkan akibat ulah manusia yang ceroboh.
Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan kebijaksanaan-Nya. Di sinilah urgensi dan relevansi maqashid hifzh al-bi’ah, memelihara keseimbangan lingkungan alam memperoleh tempat dan saatnya. (habis)
*Cendekiawan Islam, Wakil Ketua PWM Jawa Tengah, dan Rektor UIN Salatiga.
Editor : M Taufiq Ulinuha