Mengungkap Fakta Menarik di Balik Dakwah Muhammadiyah! Ternyata, Ini Kunci Suksesnya!
PWMJATENG.COM, Semarang – Ketua PWM Jawa Tengah, Dr. KH. Tafsir, M.Ag., menghadirkan sorotan mendalam pada Pagelaran Wayang Kulit yang diselenggarakan Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Pedurungan, Kota Semarang. Acara yang dilaksanakan di Halaman Kantor Kecamatan Pedurungan ini merupakan bagian dari rangkaian perayaan Milad ke-111 Tahun Muhammadiyah, Jumat (15/23).
Dalam tausiyahnya, Kiai Tafsir menggugah pemikiran dengan mengajukan pertanyaan krusial terkait kultur dakwah. Beliau memaparkan, “Tanpa kultur dakwah nggak lansar. Maka nggak usah heran kalau kemudian banyak kultur Arab jadi syariah. Banyak kultur Arab jadi syariah. Kenapa? Karena Islam turun di Arab.”
Dalam konteks ini, Kiai Tafsir menyoroti transformasi kultur Arab yang bermetamorfosis menjadi syariah. Menurutnya, ini adalah hasil dari Islam yang turun di wilayah Arab. Seandainya Islam turun di Jawa, kemungkinan besar tradisi Jawa akan menjadi syariah.
Dilanjutkan oleh Kiai Tafsir, “Hanya mungkin kita nggak pernah paham bahwa itu sebenarnya adalah tradisi Arab. Yang kemudian sudah diubah, dilegitimati menjadi syariah. Tapi sekali lagi, banyak syariah sebenarnya adalah embrio dari kultur yang berjalan di Arab.”
Lebih jauh, Kiai Tafsir mengulas perbedaan pendekatan dakwah antara Indonesia, khususnya Jawa, dengan Timur Tengah. Beliau menjelaskan bahwa di Indonesia, dakwah dilakukan melalui akulturasi, sementara di Timur Tengah, pendekatannya lebih melibatkan penaklukan.
Baca juga, Muhammadiyah: Islam Ora Ketang
“Di Indonesia, dakwah dengan cara kulturasi. Tapi di sebagian Timur Tengah, dakwah dengan penaklukan. Kalau Bapak Ibu membaca majalah, bicara dengan pahlawan Islam, selalu simbolnya orang naik kuda membawa pedang.”
Untuk menegaskan perbedaan tersebut, Kiai Tafsir membahas tentang alat dakwah yang digunakan di Jawa, yaitu dua simbol, beduk dan ketupat. Beduk melambangkan seni, sedangkan ketupat melambangkan makanan. Menurutnya, dua unsur ini cukup untuk mengumpulkan banyak orang dalam suasana yang penuh kegembiraan.
Kemudian, Kiai Tafsir menyentuh isu penting tentang hubungan Muhammadiyah dengan budaya. Ia mencatat bahwa Muhammadiyah pada awalnya mengalami kontroversi terkait seni tradisional seperti wayang. Namun, kesadaran akan pentingnya kultur membawa Muhammadiyah untuk merangkul seni budaya.
“Maka diterbitkanlah buku resmi hubungan Muhammadiyah dan budaya. Satu, buku dakwah kultural Muhammadiyah. Dua, buku seni budaya Islam. Dan ketiga, buku pendoman islami warga Muhammadiyah. Ketiga buku ini mengatur hubungan antara Muhammadiyah dan seni budaya.”
Tentu saja, Kiai Tafsir mengingatkan pentingnya membaca dan memahami tiga buku tersebut agar warga Muhammadiyah dapat menjalankan dakwah dengan memanfaatkan kultur dan seni budaya dengan baik.
Baca juga, UNESCO Akui Buka Puasa sebagai Warisan Budaya, KH. Tafsir: Iftar Miliki Tiga Makna
Kiai Tafsir juga memberikan apresiasi kepada PCM Pedurungan dan Ki Dalang Ketut Budiman yang telah menyumbangkan kehadiran seni dalam pagelaran tersebut.
Dalam pagelaran yang penuh makna ini, Kiai Tafsir memberikan tausiyah yang tidak hanya mendalam, tetapi juga sarat dengan pesan filosofis dari lakon wayang yang dipertunjukkan, khususnya lakon “Semar Bangun Kayangan”. Beliau menjelaskan bahwa lakon ini terkenal populer, dan menyampaikan tiga syarat esensial yang terkandung di dalamnya.
“Semar ingin bangun kayangan. Tapi kayangan itu tidak bisa dibangun tanpa tiga syarat. Apa syaratnya? Satu, harus ada Jamus Kalimasada. Kalau tidak salah ya. Yang kedua, harus ada Tombak Korowelang. Dan yang ketiga, harus ada Payung Tunggul Nogo.”
Lebih lanjut, Kiai Tafsir mengaitkan makna dalam lakon tersebut dengan pembangunan karakter negara. “Kalau ingin bangun kayangan, harus ada Jamus Kalimasada. Harus dibangun dengan syarat. Akidah dan ahlak yang kuat. Kalau negara ingin dibangun, bangunlah dengan akidah dan akhlak yang kuat. Itulah Jamus Kalimasada. Tanpa itu negara tidak kuat. Karena harus dibangun karakter. Karakter building. Akidah, ahlak. Harus dibangun.”
Baca juga, Mengungkap Rahasia Kebahagiaan: Ketua PWM Jawa Tengah Tafsir Bocorkan Lima Kunci Hidup Bahagia ala Rasulullah!
Beliau menyoroti pentingnya akidah dan akhlak sebagai fondasi negara yang kokoh. “Tapi itu belum cukup. Pemimpin harus punya sensitivitas. Tombak Korowelang. Nah, gitu kan. Tajam, panah. Punya ketajaman hati nurani. Punya ketajaman wawasan untuk membangun negara. Punya ketajaman hati untuk sensitif pada masalah yang dihadapi oleh masyarakat.”
Pada bagian akhir tausiyahnya, Kiai Tafsir menyampaikan pesan penuh inspirasi tentang peran pemimpin. “Dan yang ketiga, Payung Tunggul Nogo. Pemimpin harus menjadi payung semua. Ketua Muhammadiyah itu memayungi semua caleg apapun partainya. Karena Muhammadiyah ada untuk semua.”
Dengan penuh harap, beliau berharap bahwa pentas wayang malam itu akan memberikan inspirasi dan pelajaran berharga bagi semua penonton. “Mudah-mudahan pentas wayang malam ini akan memberikan inspirasi dan pelajaran untuk kita semuanya.”
Penampilan Kiai Tafsir dalam pagelaran wayang tersebut menjadi momen yang tak terlupakan dan sarat makna, memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana membangun negara dengan fondasi yang kuat dan pemimpin yang peduli pada semua lapisan masyarakat.
Editor : M Taufiq Ulinuha