Jamu Cekok Barat Kerkop
Oleh : Khafid Sirotuddin*
PWMJATENG.COM – Siang menjelang sore kami mendatangi kedai Jamu Cekok legendaris di Yogyakarta. Bertempat di Jalan Brigjen Katamso 132, berseberangan dengan Purawisata atau THR (Taman Hiburan Rakyat). Dahulu THR itu Kerkop (Belanda : kerkhof), kuburan bagi orang-orang mati Belanda/Eropa.
Seingat kami dulu tampak muka kedai agak lebar dari sekarang yang hanya 2,5 meter. Terlihat “nylempit” seperti lorong gang sempit tapi memanjang ke belakang. Puluhan mobil plat luar kota parkir di pinggir jalan depan kedai. Seorang pedagang balon ikut “mremo” lebaran di trotoar samping kedai.
Sekitar tahun 1994-1996, kami sering mengantar anak sulung untuk “dicekoki” di sini. Agar doyan makan atau tatkala terpapar “sawan” (penyakit) demam batuk pilek. Kondisi kesehatan yang jamak ditemui anak balita. Waktu itu, 1992-1996, istri masih bekerja di RS PKU Muhammadiyah dan tinggal di Brontokusuman, Kecamatan Mergangsan satu wilayah dengan kedai jamu cekok.
Kali ini kami mengantar cucu pertama, putri dari anak sulung yang dulu sering “dicekoki” di sini. Berarti cucu kami “pasien” generasi kedua konsumen loyal jamu cekok. Meski bundanya bidan dan ayahnya apoteker, tapi yang namanya obat tradisional (jamu) musti dikenalkan, dipraktekkan dan dibuktikan khasiatnya kepada orang tua generasi milenial.
Alhasil keesokan hari setelah dicekoki cucu kami yang awalnya sulit kalau “didulang” (disuapi) menjadi doyan makan sendiri. Bundanya pun heran, meski awalnya ragu dan tidak tega ketika putrinya dicekoki.
“Kok saged dados doyan maem nggih (kok bisa menjadi doyan makan ya),” katanya penuh keheranan.
“Ayahe mbiyen yo ngono, yen saiki anake nurun kan wis memper (dulu ayahnya juga dicekoki baru doyan makan, kalo sekarang anaknya mengikuti sudah wajar),” kata Eyang putri, istri saya.
Jamu Cekok
Kedai jamu cekok ini paling tua usianya, berdiri tahun 1875 (148 tahun). Lebih tua dari Muhammadiyah yang lahir 1912. Saat ini sudah generasi ke-5, dan secara turun temurun dikelola keluarga.
Cekok adalah jamu tradisional yang terbuat dari aneka rempah yang digiling dan dibungkus kain untuk diminumkan secara “paksa” dengan memeraskannya ke dalam mulut (biasanya untuk anak kecil). Bagi ibu-ibu Jawa yang tinggal di pedesaan atau yang masih memegang tradisi kesehatan tradisional, secara rutin mencekoki anak-anaknya agar terjaga kesehatannya.
Kedai jamu cekok tidak hanya menyediakan “cekokan” buat anak-anak. Juga menyediakan jamu seduhan maupun bubuk untuk berbagai keluhan antara lain : cacingan, gatal-gatal, batuk, “sawanan, sawan tahun, sawan kikir”, pegal linu, “galian singset” (wanita), “galian kakung” (lelaki), keputihan, menstruasi tidak normal, dan lain-lain. Sayapun ikut minum jamu sehat lelaki dan pegal linu agar sehat kuat menyopiri mengikuti arus balik lebaran pulang ke Weleri.
Sebagaimana kita tahu bahwa obat-obatan digolongkan berdasarkan : nama, bentuk sediaan, cara penggunaan, penandaan dan efek farmakologi. Berdasakan “penandaan”, obat-obatan terbagi atas : obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, obat psikotropika, obat narkotika, obat jamu, obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka. Maknanya jamu diakui oleh otoritas kesehatan sebagai salah satu obat bagi masyarakat. Sayangnya jamu, OHT dan fitofarmaka Indonesia kurang berkembang dan tertinggal jauh dibanding China dan India.
Masyarakat Indonesia sudah terlanjur “dicekoki” terapi obat-obatan kimiawi ala Barat. Bukan berarti pengobatan ala Barat tidak baik, tetapi seringkali “kebablasen” dan mengabaikan obat tradisional yang telah berabad-abad terbukti khasiatnya. Padahal Indonesia memiliki 10.000-an tanaman obat dan baru 100-an jenis tanaman yang dimanfaatkan masyarakat.
Farmasi berasal dari kata “pharma” yang bermakna racun. Obat (pharma) diakui sebagai peradaban modern kesehatan jika diberikan dalam takaran atau dosis yang ditentukan. Yang sering dilupakan orang bahwa setiap obat kimiawi pasti memiliki efek samping, kontra indikasi dalam pemakaian.
Kedai jamu dan herbal Nusantara umumnya masih berada dalam skala UMKM serta padat karya. Sektor UMKM jamu sangat berpeluang dikembangkan dengan bantuan riset dan teknologi dari berbagai PTN dan PTM (Perguruan Tinggi Muhammadiyah) yang memiliki program studi farmasi dan pertanian tanaman obat. Masih terbuka luas pengembangan industri jamu dan obat tradisional Indonesia.
Last but not least, ada baiknya sekarang anda mencoba dan membuktikan sendiri manfaat dan khasiat jamu cekok, pengobatan tradisional Jawa yang ada di Yogyakarta. Terutama bagi anda yang akan mengikuti kontestasi pemilu. Biar kebugaran badan terjaga dalam mengikuti tahapan pemilu 2024. Yang pasti di kedai jamu cekok tidak menyediakan ramuan untuk tolak miskin atau tolak gila jika nyaleg gagal. Selamat mencoba. Wallahua’lam.
*Pemerhati pangan dan pembudidaya madu klanceng.
Editor : M Taufiq Ulinuha