Berita

UU ITE Untuk Melindungi Siapa ?

PWMJATENG.COM, SEMARANG – Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE, hingga sekarang masih mengundang kontroversi terutama pasal pencemaran nama baik. Rencana revisi UU ITE itupun semakin tidak jelas kapan dilakukan. Atas dasar itulah, BEM Fakultas Psikologi UMS Solo menggelar diskusi dengan tema “Hiruk Pikuk UU ITE : Siapa yang Dilindungi”?, Kamis (27/3/2021). Diskusi melalui zoom meeting itu diikuti oleh ratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, dengan menghadirkan pembicara Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jawa Tengah Dr. Teguh Hadi Prayitno, MM, M.Hum. MH, dan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, SH.

Teguh Hadi Prayitno yang menyampaikan materi UU ITE Berdasarkan Sudut Pandang Jurnalis menyatakan, seharusnya UU ITE tidak menyasar sampai ke bidang pers dan jurnalis. Sepanjang jurnalis berkerja sesuai dengan kode etik jurnalistik, dan pers menjalankan fungsinya sesuai dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1998, tidak ada alasan bagi penegak hukum menggunakan UU ITE untuk menjerat jurnalis atau wartawan.

“Dalam UU Pers, ada salah satu fungsi pers yaitu melakukan kritik sosial, selain fungsi lain yaitu pendidikan, informasi, hiburan. Karena itu amanat undang-undang, maka pers di dalamnya ada jurnalis dan produk jurnalistik, pada saat melakukan kritik sosial hendaknya dihormati dan dihargai. Bukan dicari-cari kesalahannya, bahkan dijerat dengan UU ITE. Kalau pun ada keberatan dan terjadi sengketa tentu ada Dewan Pers yang bisa digunakan untuk menyelesaikan sengketa tersebut” ujar Teguh.

Lebih jauh Teguh yang juga Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PWM Jawa Tengah, menyampaikan bahwa masyarakat bisa membaca banyak berita yang memberitakan kasus kriminalisasi terhadap jurnalis, bahkan banyak pihak yang menilai bahwa UU ITE menjadi salah satu penghambat kebebasan pers. Data di LBH Pers mencatat bahwa sepanjang tahun 2020, terdapat 10 jurnalis yang dikriminalisasi dengan UU ITE, dua diantaranya sudah divonis penjara.

Sedangkan Asfinawati dengan tegas melihat bahwa masih ada diskriminasi penegakan hukum terkait dengan UU ITE. Ada laporan dari pihak tertentu yang dengan cepat direspon atau cepat ditangani, namun di sisi lain ada respon yang lambat ditangani. Selain itu adanya pasal yang maknanya kabur, sehingga interpretasinya bisa tidak sama.

“Pasal 27 (3) setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan seterusnya. Pertanyaannya, siapa/apa subyek dari pasal ini? apakah orang, apakah lembaga, apakah organisasi, apakah simbol-simbol” tegas Asfinawati.

Asniwati juga menyampaikan data bahwa, YLBHI mencatat ada 351 pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kasus-kasus tersebut didominasi oleh pelanggaran hak berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum. (it)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE