Kemerdekaan Sesungguhnya Bagi Difabel
Oleh IMMawan Ahmad Zia Khakim, S.H, Sekops Instruktur DPD IMM Jawa Tengah, Paralegal MHH PWAisyiyah Jawa Tengah
Peringatan Kemerdekaan adalah peringatan Penting, seharusnya tidak dilewatkan hanya Eforia perayaan Belaka, Tapi harus dijadikan Bahan Efaluasi Seluruh Elemen Bangsa sejauh Mana Kita Betul-betul memiliki Keberpihakan kepada kaum difabel? Sudahkah Infrasturktur disekeliling Kita Ramah terhadap mereka? Hal-hal sedetil itupun, lewat begitu saja, tanpa pemaknaan mendalam. Apalagi, apalagi Hari Kemerdekaan itu sesungguhnya punya kedekatan yang erat dengan Fathu Makkah, Mari Kita Perhatikan Terutama bagaimana perilaku tauladan kita Nabi Muhammad SAW, dalam berinteraksi dengan penyandang disabilitas tanpa diskriminasi.
Interaksi Nabi dengan penyandang disabilitas itu tercatat dalam Surah ’Abasa. Nama surah yang secara leksikal adalah ’’bermuka masam’’ itu merupakan salah satu di antara sekian teguran langsung Tuhan kepada Nabi yang terabadikan dalam Alquran. Dan, ternyata firman tersebut diwahyukan saat Nabi berinteraksi dengan penyandang tunanetra, yaitu sahabat Abdullah Ibnu Ummi Maktum.
Menurut riwayat yang mu’tabarah, Nabi saat itu sibuk berdiskusi dengan pembesar kaum Quraisy dengan harapan agar mereka masuk Islam. Tiba-tiba Ibnu Ummi Maktum masuk ke ruangan dan bergabung dengan mereka. Sahabat tersebut terus mengitari Nabi, serta mengulang-ulang pertanyaan kepada Nabi tentang ajaran Islam.
Melihat perilaku Ibnu Ummi Maktum yang berputar-putar dan berusaha memotong pembicaraan dengan pembesar Quraisy, Nabi agak sewot. Dengan bermuka masam, Nabi memberikan jawaban kepada Ibnu Ummi Maktum bahwa apa yang dilakukan terhadap pembesar Quraisy itu merupakan masalah yang sangat penting.
Kemudian, Nabi berpaling dari sahabat itu untuk kembali melanjutkan diskusinya dengan Quraisy. Saat itulah turun wahyu yang kemudian termaktub dalam Surah ’Abasa itu, terutama ayat 1-2. ’’Dia bermuka masam dan berpaling. Lantaran datang kepadanya orang tunanetra.’’
Dalam ilmu bahasa, teguran ’’bermuka masam’’ dan ’’berpaling muka’’ saat berinteraksi dengan tuna netra ini tentu saja sindiran tegas. Maklum, penyandang tuna netra tidak akan melihat ekspresi wajah lawan bicaranya. Tidak heran, setelah ayat tersebut turun, Nabi segera menghadapkan wajahnya berseri-seri ke Ibnu Ummi Maktum dan menjawab apa saja yang ditanyakan.
Pelajaran penting dari peristiwa itu adalah persamaan hak antara penyandang disabilitas maupun nondifabel. Persamaan hak itu makin menemukan konteksnya jika disandingkan dengan ayat lain yang menempatkan penyandang disabilitas dengan nondifabel. Di antaranya, QS An-Nur (24) ayat 61: ’’Tidak ada halangan bagi tunanetra, tunadaksa, orang sakit, dan kalian semua.…” Begitu juga banyak riwayat hadis Nabi yang menyatakan keutamaan seorang manusia tidak terletak pada kondisi fisik, tetapi lebih kepada kejernihan nurani dan ketakwaan.
Selain soal perlakuan tanpa diskriminasi, pelajaran penting dari interaksi Nabi dengan Ibnu Ummi Maktum itu adalah penyediaan aksesibilitas untuk penyandang disabilitas. Yaitu, berbagai kemudahan yang disediakan untuk penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan.
Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas itu berangkat dari firman Allah SWT dalam Surah ’Abasa yang sama sekali tidak menyinggung ulah Ibnu Ummi Maktum saat menemui Nabi. Termasuk berkali-kali menanyakan hal yang sama, berputar kesana kemari untuk mendapat jawaban Nabi, dan lain-lain. Itu artinya penyandang disabilitas memang harus disediakan berbagai kemudahan guna mewujudkan kesamaan kesempatan
Mari Kita lebih Peka, Care Dan Peduli kepada Penyandang Difabel (Tarjamah Ajaran Kh. Ahmad Dahlan menjadi Gerakan Keberpihakan : Surah Al Maun)