Jepara dan Pabrik: Sebuah Pengamatan Sang Putra Daerah
Oleh Roynaldy Saputro (Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Jepara)
Tepat lima tahun yang lalu, penulis sebagai putra daerah (red: Jepara) merantau untuk menimba ilmu dan melanjutkan pendidikan tinggi ke Solo. Kami putra daerah pada waktu itu yang rata-rata belum mengenal pabrik sangatlah khawatir dengan masa depan kami. Lapangan pekerjaan yang tidak pasti ada untuk kami masuki, menjadi persoalan. Ada beberapa pilihan bagi kami yang baru lulus SMA pada waktu itu (red: 2013) yakni melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau jadi buruh kayu/ukir, wirausaha, merantau atau jadi karyawan mall-mall besar yang ada di daerah tetangga (red: Kudus).
Akan tetapi lima tahun berselang kondisi Jepara sangat berubah drastis. Terutama daerah Jepara bagian selatan (Pecangaan, Kalinyamatan, Welahan, Mayong, dan Nalumsari). Kehadiran dan pendirian pabrik secara permanen sangat memengaruhi kondisi sosial, kehidupan lingkungan, kehidupan ekonomi, bahkan kehidupan religi. Sebagai putra daerah yang sudah pulang dari tanah rantau seiring waktu mengamati dampak perubahan tersebut. Dampak terbesar memang dibuat oleh operasional pabrik, baik dari segi pendiriannya, hingga manajemen waktu dan tata kelola sumber daya manusianya (red: karyawan).
Kehadiran pabrik secara permanen memang tidak secara terus terang menghadirkan dampak negatif. Akan tetapi ada juga dampak positif mengenai penyerapan tenaga kerja dan peluang kerja bagi putra putri daerah yang sangat dirasakan manfaatnya. Apapun manfaat yang didapat bagi daerah yang ditempati pabrik tersebut pasti ada beberapa celah yang membuat ketidakseimbangan di beberapa sektor publik. Seperti yang penulis sebutkan di atas mengenai beberapa permasalahan. Lantas kemudian menimbulkan pertanyaan, “Sudah siapkah Jepara menyambut perubahan-perubahan yang diciptakan oleh hadirnya pabrik?” Alangkah baiknya pabrik dan pemerintah berbenah sebelum masalah-masalah tersebut menggapai waktunya seperti bom yang siap sewaktu-waktu meledak.
Adapun menurut hemat penulis dan beberapa rekan di Pemuda Muhammadiyah Jepara, ada permasalahan menarik yang ditimbulkan oleh hadirnya pabrik di Jepara saat ini, yang diantaranya:
1. Kemacetan Lalu lintas.
Beberapa titik dan dalam waktu tertentu sudah menimbulkan kemacetan parah serta meresahkan beberapa elemen masyarakat. Hal ini penulis amati ketika berangkat kerja (red: guru). Karyawan pabrik yang juga mempunyai jam masuk yang sama dengan jam kantor lain memaksa jalan tak terkendali. Adu kecepatan dan melanggar rambu-rambu lalu lintas sudah terbiasa. Bahkan beberapa kemacetan sering terjadi di beberapa pertigaan dan perempatan, sehingga banyak yang menjadi korban, contohnya siswa-siswi yang hendak sekolah menjadi terlambat sekolah.
2. Saluran Pembuangan Air Hujan.
Saluran tidak banyak tersedia di sekitar pabrik. Sehingga banjir terjadi walaupun hujan tidak begitu lebat. Padahal lima tahun yang lalu tidak pernah terasa banjir di daerah yang didirikan pabrik kecuali hanya genangan-genangan kecil. Tetapi sekarang, setiap hujan bisa dipastikan ancaman banjir bandang mengintai daerah tersebut. Hal ini bisa kita lihat dikarenakan drainase alami yaitu pepohonan serta tanah resapan sudah dialih fungsi menjadi daerah penunjang operasional pabrik.
3. Industri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tersandera,
Dengan banyaknya pabrik besar yang didirikan di Jepara telah memberi dampak mengenai berkurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) untuk kemajuan industri UMKM. Sudah tidak dipungkiri lagi bahwa Jepara menjadi kabupaten penghasil mebel, dan kain troso yang cukup dikenal di beberapa daerah lain. Akan tetapi, masalah karyawan/pengrajin yang langka karena anak muda lebih memilih bekerja di pabrik menjadi masalah yang tidak bisa dihindari. Beberapa pengusaha UMKM mulai gulung tikar dan merasa kesulitan mencari tenaga kerja.
4. Mayoritas Karyawan adalah Wanita
Untuk masalah ini kita sebenarnya juga mempertanyakan, “Mengapa yang diterima hampir 90% karyawannya adalah wanita?” Sehingga terjadi fenomena unik, yaitu terbaliknya fungsi qodrati manusia menurut Islam. Walapun Islam tidak melarang wanita bekerja. Akan tetapi sekarang ini sudah berdampak pada tingkat perceraian yang ada di Jepara. Seperti yang diutarakan oleh Budi Santoso dalam laporannya di salah satu media massa pada tanggal 8 Juni 2018 bahwa setidaknya 1 hari ada 4 pasangan yang bercerai di pengadilan agama Jepara. Realita bahwa kerja yang melebihi 8 jam, membuat perempuan rumah tangga menjalani fungsi sebagai pengelola rumah, hingga akhirnya diserahkan kepada sang suami. Seakan-akan stigma bahwa kabupaten Jepara adalah kabupaten religius semakin luntur. Terlebih dengan mudahnya karyawan perempuan mengakses kredit motor menjadikan penuhnya jalanan Jepara ketika jam-jam tertentu dengan karyawati. Hal ini perlu kiranya pabrik menyediakan bus penjemputan karyawan.
Itulah Jeparaku dulu dan kini, untuk masa depan bisa dilihat dalam waktu dekat apakah pabrik dan pemerintah akan berbenah dalam mengahadapi segala persoalan dampak negatif saat ini. Sebagai putra daerah yang mengamati lapangan dan mengahadirkan kritik semata-mata karena kecintaan sang putra daerah untuk kesejahteraan masyarakat daerahnya, serta mengajak putra putri daerah lain untuk lebih peka dalam menghadapi permasalahan sosial. Seperti judul buku yang pernah ditulis oleh Ismail Maimun “Sayang, Tanah ini Cinta Kita”. Maka penulis akan berkata, “Wahai putra-putri daerah, tanah ini adalah saksi cerita kita. Jangan sampai kaum pemodal menikmati keringat kita dan tersenyum sendirian di atas sofa menonton permasalahan yang kita hadapi.”
#SalamLiterasi
(Editor: Tuti Astha3)