2019: Mencari Presiden Penggembira
Oleh: Dimas Rahman Rizqian, S.Sos.
Ketimpangan atau yang lebih akrab kita sebut dengan ketidakadilan, merupakan problem yang lumayan menyejarah. Salah satu contohnya, ketika kebudayaan Mekkah di Arab sebelum kehadiran sang revolusioner-reformis Muhammad SAW. Kegelisahan baginda (baca: Muhammad SAW), diaktualisasikan dengan bentuk perenungan/meditasi di sebuah gua terpencil, yaitu gua Hira.
Namun, di tengah proses perenungan tersebut, baginda tidak sekalipun alergi terhadap realitas konkret masyarakat pada waktu itu. Salah satunya dengan melakukan pembacaan terhadap peta masyarakat yang kemudian diwujudkan dalam bentuk kritik-solutif terhadap elemen-elemen kekuasaan pada waktu itu. Berhubung kekuasaan pada waktu itu takut terhadap degradasi karirnya, maka kritik-solutif baginda diacuhkan begitu saja.
Dengan adanya hal tersebut tidak membuat keluarga besar baginda yaitu kakek buyutnya begitu saja tinggal diam, mereka berkumpul untuk berbicara tentang bagaimana kondisi masyarakat pada waktu itu untuk bisa merasakan keadilan yaitu masyarakat yang berkeadilan. Selanjutnya, ketika baginda secara legal diberikan wahyu oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril, maka agenda-agenda “masyarakat berkeadilan” semakin kokoh untuk dihadirkan.
Pendekatan yang dilakukan oleh baginda dalam membangun “masyarakat berkeadilan” tersebut bukan sekedar dalam bentuk penanaman nilai-nilai moralitas saja, tetapi juga pendekatan sistemik. Inilah bukti dan wujud nyata bahwa figur terbaik adalah baginda telah diakui dunia sejak lama, harus kita ikuti bersama. Bahkan Allah SWT sendiri, telah memberikan penegasan kepada hamba-Nya dalam QS. Al-Ahzab: 21, untuk mencontoh baginda, tanpa tapi, tanpa tepi, sebab memang sudah terbukti.
Pertanyaannya sekarang, apakah para elite politik negeri kita sudah betul-betul mencontoh beliau? Apakah para cendekiawan sudah betul-betul mencontoh beliau? Bahkan apakah rakyat dengan kelas terbawah ini, kita sudah betul-betul mencontoh beliau?
PEMILU 2019, apakah bisa diharapkan?
Dua ribu sembilan belas menjadi tahun yang cukup istimewa, karena Indonesia akan menggelar pemilu. Setidaknya, ketika kita berbicara tentang kesuksesan, maka harus ada dua hal yang juga harus berjalan dengan baik, yaitu “proses” dan “hasil” atau “cara” dan “tujuan”.
Pertama tentang proses. Alih-alih menginginkan penyelenggaraan dan hasil yang baik, namun sejauh mata memandang rupa-rupanya banyak hal yang dirasa cukup potensial untuk menghadirkan benturan-benturan, paling tidak hal ini bisa kita lihat dalam wilayah kebijakan dan pada wilayah media sosial (medsos). Salah satu kebijakan penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang cukup kontroversial di tengah publik adalah kotak suara kardus. Perangkat teknis ini cukup riskan, karena satu suara saja “hilang”, maka itu sangat menentukan Indonesia 5 tahun ke depan, di samping karena Pasangan Calon (paslon) pada Pemilihan Presiden (pilpres) pada bulan April 2019 besok hanya ada 2 (dua). Kepercayaan publik lagi-lagi mengalami “kegrogian”, karena upaya kecurangan potensial terjadi. Peran minimum kita adalah ikut turun tangan mengawalnya, dalam bentuk apapun dan dari sudut manapun.
Kedua, tentang isu yang berkembang di medsos. Wacana yang berkembang di medsos sejauh pengamatan penulis cukup memprihatinkan. Sebab, yang lebih menonjol dibicarakan adalah bukan tentang visi-misi dan program kebijakan. Padahal medsos bisa dibilang cukup representatif untuk melacak isu hangat di publik, ini terlihat ketika media mainstream kerap melakukan penyerapan dari medsos tersebut. Di sinilah perlunya kita semua ikut turun tangan, dalam rangka memberikan soft touch terhadap gadget. Antara produsen dan distributor, salahnya sama saja, jika isu kaleng-kaleng terus diviralkan. Upaya minimum kita adalah mencegah diri kita dari memproduksi hate speech, sekaligus tahan diri kita dari menyebarnya. Sekaligus ikut mewacanakan narasi secara rasional yang berpihak pada rakyat, tentang masalah ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya.
Kendati problem multidimensi yang terjadi di negeri yang kita cintai ini, kita tidak boleh sekalipun putus asa, tidak boleh sekalipun menyerah, apalagi sampai putus harapan. Sebagai anak bangsa, yang mendapatkan estafet amanah oleh para the founding persons (pendiri bangsa) yang paling tidak tertuang akrab di konstitusi yakni pembukaan UUD ’45 alinea ke-4 (empat), yaitu melindungi segenap tumpah darah, perdamaian dunia, kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan. Semoga Allah SWT membimbing kita selalu, minimal untuk bisa hadir ke bilik suara, lalu memilih “Presiden Penggembira”. Siapakah presiden penggembira itu? Dia adalah presiden yang mengerti situasi dan kondisi negeri ini, dia yang tulus berpikir dan berjuang untuk negeri ini, dia yang mencintai rakyatnya. Dan yang paling penting adalah dia yang menjadikan Rasulullah Muhammad SAW, sebagai uswah hasanah (contoh terbaik) dalam setiap napas, dalam setiap detak jantung kebijakan yang akan menghadirkan “masyarakat berkeadilan” di bumi pertiwi Indonesia.
(Editor: Tuti Astha3)