
PWMJATENG.COM – Dalam sebuah tausiyah, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Jumari, mengangkat tema yang jarang disentuh secara mendalam, yakni soal jabatan dan kekuasaan. Ia menegaskan bahwa jabatan tidak seharusnya diminta, apalagi dikejar dengan cara-cara yang tidak proporsional. Menurutnya, jabatan adalah amanah yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, bukan hadiah yang bisa diminta sesuka hati.
Jumari menceritakan, pernah ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Sebenarnya minta jabatan itu boleh atau tidak?” Pertanyaan itu lalu ia jawab dengan merujuk pada kisah yang diriwayatkan dalam hadis. Suatu ketika ada seorang sahabat datang kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk meminta jabatan tertentu. Namun Rasulullah menolak dan menegaskan bahwa beliau tidak akan memberikan amanah kepada orang yang memintanya.
Hadis tersebut menjadi landasan penting dalam memahami etika kepemimpinan dalam Islam. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّا وَاللَّهِ لَا نُوَلِّي هَذَا الْعَمَلَ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلَا أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ
“Demi Allah, kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya, dan tidak juga kepada seseorang yang berambisi terhadapnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut Jumari, pesan Rasulullah ﷺ ini menunjukkan bahwa jabatan bukanlah sesuatu yang boleh dikejar dengan ambisi pribadi. Sering kali, kata dia, orang beralasan bahwa mengejar jabatan adalah demi agama. Bahkan ada yang menyebut perebutan jabatan sebagai jihad. Padahal, Nabi menegaskan bahwa jabatan adalah amanah, bukan sekadar sarana untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok.
Jabatan Sebagai Amanah Berat
Dalam tausiyahnya, Jumari mengingatkan bahwa jabatan adalah amanah besar yang menuntut tanggung jawab, bukan hadiah atau simbol kehormatan. Menurutnya, orang yang meminta jabatan sesungguhnya sedang menjerumuskan dirinya sendiri pada beban yang sangat berat.
Ia mengutip pesan Rasulullah ﷺ:
إِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهُ عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهِ، وَإِنْ أُعْطِيتَهُ عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهِ
“Jika engkau mendapatkan jabatan karena memintanya, maka engkau akan dipikul sendirian. Namun jika engkau diberi jabatan tanpa memintanya, maka engkau akan dibantu dalam menjalankannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jumari menjelaskan, jika seseorang diberikan jabatan karena diminta, maka Allah akan melepaskannya dari pertolongan-Nya. Sebaliknya, bila seseorang dipilih dan diminta untuk memegang jabatan tanpa ambisi pribadi, maka Allah akan menghadirkan banyak pertolongan melalui berbagai cara.
Karena itu, menurutnya, lebih baik bila jabatan datang sebagai amanah dari masyarakat atau organisasi, bukan karena keinginan pribadi. “Kita harus proporsional dalam menyikapi jabatan. Tidak perlu mengejarnya dengan segala cara, apalagi sampai memanipulasi aturan,” ujarnya.
Kisah Nabi Yusuf Sebagai Teladan
Jumari kemudian menyinggung kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Dalam Al-Qur’an, Nabi Yusuf meminta kepada raja Mesir agar dirinya dijadikan bendahara negara. Hal ini sering disalahpahami sebagai permintaan jabatan. Namun, menurut Jumari, konteksnya berbeda.
Nabi Yusuf berkata:
اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
“Jadikanlah aku bendahara negara, sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berilmu.” (QS. Yusuf: 55)
Baca juga, Akhlak Bermasyarakat dalam Perspektif PHIWM
Menurut Jumari, Nabi Yusuf tidak meminta jabatan karena ambisi pribadi, melainkan karena menyadari potensi dirinya yang sesuai dengan kebutuhan negara saat itu. Dengan keahliannya di bidang manajemen pangan, ia mampu menyelamatkan Mesir dari krisis. “Jadi, Nabi Yusuf bukan sekadar meminta jabatan, melainkan menempatkan dirinya sesuai kapasitas dan kompetensinya,” jelas Jumari.
Bahaya Jabatan yang Diberikan Bukan Kepada Ahlinya
Dalam Islam, ada peringatan keras mengenai bahaya jabatan yang diberikan kepada orang yang tidak memiliki kompetensi. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR. Bukhari)
Hadis ini, menurut Jumari, adalah penegasan bahwa jabatan hanya boleh diamanahkan kepada orang yang memiliki prestasi, kompetensi, dan integritas. Jika jabatan diberikan karena koneksi atau ambisi, maka kehancuran hanya tinggal menunggu waktu.
Relevansi dalam Kehidupan Sosial
Jumari juga menyinggung fenomena sosial di masyarakat. Ada orang yang mengajukan diri sebagai orang miskin untuk mendapatkan bantuan, padahal sebenarnya mampu. Hal itu, katanya, sama dengan meminta jabatan yang bukan haknya. “Merasa pantas itu sebenarnya tidak pantas. Begitu juga dalam urusan sosial, tidak sepantasnya seseorang mendaftarkan diri sebagai orang tidak mampu hanya untuk mendapat keuntungan pribadi,” ujarnya.
Menurutnya, baik jabatan maupun status sosial mestinya muncul dari pengakuan masyarakat dan kondisi nyata, bukan dari rekayasa atau ambisi pribadi. Dalam kehidupan berorganisasi pun demikian. Seseorang sebaiknya menunggu dipanggil dan diminta, bukan menonjolkan diri.
Ikhtisar
Dari tausiyah tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islam menempatkan jabatan sebagai amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Rasulullah ﷺ menolak memberikan jabatan kepada orang yang memintanya, sebagai bentuk pendidikan moral agar umat Islam tidak terjebak dalam ambisi pribadi.
Kisah Nabi Yusuf menjadi teladan bahwa jabatan boleh dipegang jika sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan, bukan semata karena keinginan pribadi. Prinsip ini sejalan dengan pesan Nabi ﷺ agar urusan hanya diserahkan kepada ahlinya.
Jumari menegaskan kembali pesannya: “Jabatan adalah amanah, bukan hadiah. Jika memang pantas, pasti akan ada jalan menuju amanah itu tanpa harus mengejarnya dengan cara-cara yang tidak pantas.”
Kontributor : Defi Al Q
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha