Kolom

Viral Baru Ingat Sehat: Kelangkaan Obat Cacing dan Rapuhnya Sistem Kesehatan Publik Kita

Viral Baru Ingat Sehat: Kelangkaan Obat Cacing dan Rapuhnya Sistem Kesehatan Publik Kita

Oleh : Prima Trisna Aji (Dosen prodi Spesialis Medikal Beda Universitas Muhammadiyah Semarang)

PWMJATENG.COM – Fenomena kesehatan di Indonesia kerap kali baru menjadi perhatian serius setelah muncul peristiwa yang viral. Baru-baru ini, kasus “Raya” yang ramai diperbincangkan publik mendadak menggiring masyarakat untuk berbondong-bondong membeli obat cacing. Dampaknya, stok di pasaran menjadi menipis, harga melambung, dan sejumlah apotek melaporkan kesulitan memenuhi permintaan. Fenomena ini bukan sekadar soal kelangkaan obat saja, melainkan potret rapuhnya sistem kesehatan publik kita yang lebih reaktif ketimbang preventif.

Kesehatan yang Bergantung pada Viralnya Kasus

Kesadaran masyarakat terhadap penyakit cacingan sebenarnya sudah lama menjadi perhatian para ahli Kesehatan di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat bahwa prevalensi infeksi cacing pada anak usia sekolah di beberapa daerah masih cukup tinggi, mencapai 20 – 30 persen. Namun, selama bertahun-tahun isu ini cenderung tenggelam, kalah oleh topik kesehatan lain yang dianggap lebih “trending” serta menjual media massa.

Ironisnya, setelah kisah seorang anak yang viral di media sosial, kesadaran itu justru melonjak tajam. Obat cacing yang sebelumnya mudah didapat tiba-tiba menjadi barang yang cukup langka. Apakah kesadaran kesehatan masyarakat harus selalu dipicu oleh rasa takut yang ditimbulkan oleh sebuah cerita viral? Pertanyaan ini sangatlah penting, karena kesehatan publik seharusnya dibangun atas dasar edukasi berkelanjutan, bukan ketergantungan pada media sosial semata.

Data dan Fakta Kelangkaan di Lapangan

Fenomena kelangkaan obat cacing bukan sekadar cerita. Beberapa daerah melaporkan stok yang menipis bahkan habis dalam waktu singkat. Di Kota Palu sendiri sejumlah apotek mengaku tidak lagi mendapat pasokan albendazole dari distributor akibat lonjakan permintaan yang cukup tajam. Di kota Bandung, kelangkaan hampir merata di seluruh apotek, ditambah kenaikan harga yang cukup mencolok tajam seperti Combantrin tablet yang biasanya Rp20 – 23 ribu melonjak menjadi Rp23 – 25 ribu, sementara sirup bahkan mencapai Rp30 ribu per 10 ml. Situasi serupa terjadi di kota Padang, di mana obat cacing anak benar-benar kosong di rak apotek. Di kota Surabaya juga mengalami lonjakan pembelian yang membuat stok cepat habis, sedangkan di kota Cilacap permintaan meningkat sejak awal bulan sehingga ketersediaan obat terus menipis.

Kondisi di atas tentu memperlihatkan pola seragam dimana permintaan yang melonjak mendadak serta tidak mampu diimbangi oleh suplai yang terbatas. Akibatnya, stok distributor tersendat dan harga eceran naik dalam hitungan hari. Masyarakat kecil yang paling membutuhkan justru terhimpit dalam situasi saat ini.

Pola Konsumsi Kesehatan yang Instan

Ada gejala yang menarik dari fenomena ini, dimana masyarakat Indonesia cenderung mencari solusi instan. Begitu muncul kabar bahwa obat cacing dapat “menyelamatkan”, permintaan melonjak cukup tajam. Namun, konsumsi obat bukanlah jawaban tunggal untuk masalah kesehatan masyarakat. Dalam kasus cacingan, penyebab utama justru adalah sanitasi lingkungan, kebersihan diri, serta pola hidup sehat yang masih jauh dari kata ideal.

Membeli obat dalam jumlah besar tanpa edukasi justru  sangat berisiko. Pemakaian obat yang tidak tepat dosis bisa menimbulkan resistensi atau efek samping. Fenomena ini mengingatkan pada panic buying vitamin C dan suplemen pada awal pandemi Covid-19, ketika orang berebut produk kesehatan tanpa pemahaman yang memadai tentang Obat.

Celah dalam Sistem Distribusi Obat

Di sisi lain, kelangkaan obat juga membuka diskusi lebih serius tentang sistem distribusi dan ketersediaan obat di Indonesia. Ketika permintaan mendadak meningkat, suplai di pasaran tidak siap. Padahal, kesehatan publik membutuhkan sistem distribusi yang adaptif dan mampu merespons lonjakan permintaan dengan cepat.

Baca juga, Bendahara PP Muhammadiyah Marpuji Ali Luncurkan Tiga Buku Revolusioner: Masjid Jadi Basis Sekolah Berkemajuan

Hal ini menegaskan bahwa sistem farmasi kita masih rapuh. Harga obat yang melonjak tajam dalam hitungan hari menandakan adanya rantai distribusi yang panjang dan kurang transparan. Situasi ini tentu sangat merugikan masyarakat kecil yang paling membutuhkan obat dengan harga terjangkau.

Edukasi yang Kurang Konsisten

Lebih jauh, fenomena ini menyoroti kelemahan dalam strategi komunikasi kesehatan pemerintah. Mengapa isu cacingan yang seharusnya menjadi perhatian rutin baru ramai dibicarakan ketika viral di media sosial? Program pemberian obat cacing massal di sekolah-sekolah sebenarnya sudah ada serta sudah dilaksanakan, akan tetapi pelaksanaannya sering tidak konsisten, bahkan cenderung dianggap formalitas.

Kementerian Kesehatan bersama pemerintah daerah perlu meninjau kembali cara mereka menyampaikan pesan kesehatan. Edukasi publik harus dikemas secara lebih menarik, konsisten, dan berkelanjutan, bukan hanya ketika ada kasus viral seperti pada kasus “Raya”. Masyarakat juga perlu diajak memahami bahwa obat hanyalah salah satu bagian dari strategi kesehatan yang lebih komprehensif, bukan satu – satunya Solusi untuk mengatasi semua masalah dalam hal Kesehatan.

Belajar dari Krisis Sebelumnya

Indonesia pernah menghadapi pola serupa pada kasus-kasus sebelumnya. Saat pandemi Covid-19, kita menyaksikan masyarakat berebut masker, hand sanitizer, hingga ivermectin. Pada akhirnya, banyak dari produk tersebut tidak terbukti efektif atau digunakan secara berlebihan. Fenomena kelangkaan obat cacing ini seakan mengulang pola lama: krisis kecil menjadi besar karena kepanikan publik yang tidak diimbangi edukasi yang baik.

Solusi: Dari Reaktif ke Preventif

Untuk menghindari berulangnya krisis serupa, pemerintah perlu memperkuat manajemen stok obat esensial dengan menyiapkan cadangan yang bisa segera didistribusikan ketika permintaan melonjak. Langkah ini harus disertai dengan mekanisme redistribusi cepat antar apotek sehingga ketersediaan obat tetap terjaga di tingkat masyarakat.

Pengawasan harga juga tidak kalah penting agar situasi kelangkaan tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan berlebih. Pembatasan jumlah pembelian per keluarga bisa menjadi langkah sementara untuk mencegah panic buying. Selain itu, pemerintah dapat segera membuka akses obat dengan kandungan sejenis, seperti mebendazole, sehingga kebutuhan masyarakat tetap bisa terpenuhi tanpa harus menunggu satu merek tertentu tersedia kembali.

Aspek edukasi publik menjadi kunci utama. Pesan kesehatan harus menekankan pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat, sanitasi lingkungan, serta konsumsi obat sesuai indikasi medis, bukan hanya karena dorongan rasa takut. Kampanye yang konsisten di sekolah, puskesmas, dan media massa akan lebih efektif daripada menunggu isu viral menggiring masyarakat ke apotek.

Tidak kalah penting adalah kecepatan komunikasi pemerintah kepada masyarakat. Setiap kali muncul isu kesehatan yang viral, klarifikasi resmi sebaiknya dirilis dalam waktu 24 jam, berisi penjelasan dosis, kontraindikasi, serta rute akses obat yang benar. Dengan begitu, masyarakat tidak akan terseret dalam arus kepanikan yang bisa memicu kelangkaan baru.

Penutup: Jangan Tunggu Viral untuk Peduli

Data dari Palu, Bandung, Padang, Surabaya, hingga Cilacap memperlihatkan pola yang sama: permintaan melonjak, stok distributor tersendat, harga eceran terdorong naik. Artinya, masalah bukan pada publik yang panik semata, melainkan pada arsitektur pasok yang belum siap menghadapi gelombang viral.

Kesehatan merupakan hak semua warga negara Indonesia, bukan barang mewah yang hanya bisa diperoleh saat trend naik. Kita membutuhkan sistem yang lebih matang: masyarakat yang sadar kesehatan karena edukasi, pemerintah yang tanggap dengan distribusi obat, dan media yang berperan sebagai kanal edukasi, bukan sekadar penyampai sensasi. Sehat seharusnya dimulai dari kesadaran, bukan dari ketakutan.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE