UMS Insight Bahas Hujan Ekstrem dan Banjir Bandang, Pakar Geografi UMS Soroti Rapuhnya Tata Ruang

PWMJATENG.COM, Surakarta – Fenomena hujan ekstrem, banjir bandang, dan meningkatnya potensi bencana hidrometeorologis di berbagai wilayah Indonesia menjadi sorotan dalam forum UMS Insight. Guru Besar Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Dr. Kuswaji Dwi Priyono, M.Si., menilai kondisi tersebut tidak hanya dipicu perubahan iklim global, tetapi juga dipengaruhi faktor geografis serta lemahnya pengelolaan tata ruang.
Prof. Kuswaji menjelaskan bahwa anomali iklim sejatinya bukan fenomena baru. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, intensitas dan dampaknya semakin besar. Ia menyinggung peringatan dini dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terkait potensi siklon tropis yang jarang berdampak langsung ke Indonesia.

“Anomali iklim ini sebenarnya terjadi dari tahun ke tahun. Namun kemarin intensitasnya sangat besar, jarang terjadi, dan arah geraknya sulit diperkirakan,” ujarnya, Selasa (30/12).
Hujan berintensitas tinggi dalam durasi singkat, menurutnya, menjadi indikasi terganggunya sistem iklim. Meski demikian, ia menegaskan bahwa bencana tidak sepenuhnya disebabkan oleh perubahan iklim.
Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan pegunungan vulkanik yang relatif rapuh. Kondisi ini diperparah oleh aktivitas manusia atau antropogenik, seperti alih fungsi lahan dan pengelolaan lingkungan yang kurang bijaksana.
“Bencana tidak murni karena perubahan iklim. Faktor geografis dan aktivitas manusia justru memperparah dampaknya,” kata Kuswaji.
Ia menekankan pentingnya evaluasi tata ruang wilayah berbasis kebencanaan yang dilakukan secara berkelanjutan, bukan hanya lima tahunan.
“Kondisi lingkungan sangat dinamis. Tata ruang harus dievaluasi terus-menerus agar selaras dengan daya dukung lingkungan,” jelasnya.
Kuswaji mengingatkan bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki potensi bencana. Sebagai negara tropis dengan curah hujan tinggi dan kondisi geologi yang tua, risiko banjir dan longsor dapat terjadi di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua.
“Indonesia ini seperti laboratorium kebencanaan dunia. Karena itu, kewaspadaan harus merata di semua wilayah,” ungkapnya.
Dalam penanggulangan bencana, ia menilai fokus masih terlalu berat pada fase tanggap darurat. Padahal, mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat justru menjadi kunci utama.
“Yang harus diperkuat adalah mitigasi dan kesiapan masyarakat, bukan hanya mengirim bantuan saat bencana terjadi,” tegasnya.
Ia mencontohkan Jepang yang berhasil membangun budaya tangguh bencana melalui pendidikan dan latihan berkelanjutan. Di Indonesia, upaya serupa mulai dilakukan melalui program desa tangguh bencana dan sekolah siaga bencana, termasuk yang didampingi Fakultas Geografi UMS.
Terkait sistem peringatan dini, Kuswaji menjelaskan bahwa bencana geologi seperti gempa dan gunung api sudah memiliki instrumen yang relatif memadai. Namun, untuk bencana hidrometeorologis seperti banjir bandang, sistemnya masih bersifat prediktif.
Ia juga menekankan pentingnya mitigasi berbasis komunitas, dimulai dari kebiasaan sederhana seperti pengelolaan sampah dan penghijauan.
“Hujan seharusnya dipanen dan disimpan menjadi air tanah, bukan dibiarkan menjadi banjir yang merusak,” tuturnya.
Menutup pemaparannya, Kuswaji mengajak generasi muda untuk tidak melupakan pelajaran dari setiap bencana.
“Perubahan iklim itu nyata. Tugas kita bersama adalah mengelola alam dengan lebih bijak agar bencana tidak terus berulang,” pungkasnya.
Konntributor: Adi/Humas
Editor: Al-Afasy



