Tokoh Lintas Iman Serukan Aksi Bersama Selamatkan Bumi di Eco Talk STFT Jakarta

PWMJATENG.COM, Jakarta – Seminar Eco Talk bertajuk “Satu Bumi, Satu Asa, dalam Gerak Bersama” yang digelar Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta pada 22 September 2025 menghadirkan tokoh-tokoh lintas iman yang menyerukan kepedulian ekologis. Acara ini menjadi ruang bersama bagi para pemimpin agama untuk menegaskan pentingnya merawat bumi demi keberlangsungan hidup generasi mendatang.
Kegiatan yang merupakan rangkaian program tahunan Green Campus Blue Seminary (GCBS) II ini turut didukung Eco Bhinneka Muhammadiyah, GreenFaith Indonesia, dan Germasa Lingkungan Hidup GPIB. Narasumber yang hadir antara lain Syafiq A. Mughni (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah), Meilanny Risamasu (Komisi Lingkungan Hidup GPIB), Rusya Supit (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia), Astono Chandra (Parisada Hindu Dharma Indonesia), serta Engkus Ruswana (Presidium Pusat Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia).
Ketua PP Muhammadiyah, Syafiq A. Mughni, menegaskan manusia adalah khalifah di muka bumi. “Khalifah bukan berarti penguasa tunggal. Khalifah itu seluruh manusia yang berkewajiban menjaga bumi dan memberikan yang terbaik bagi generasi mendatang,” ujarnya.

Ia menjelaskan, Muhammadiyah telah menjalankan berbagai program lingkungan melalui Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, Muhammadiyah Climate Center (MCC), hingga Eco Bhinneka Muhammadiyah. “Semua program ini bertujuan menjaga lingkungan dan mencegah krisis iklim sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT,” jelasnya.
Menurut Syafiq, isu lingkungan juga masuk dalam kurikulum pendidikan Muhammadiyah dan tema pengajian. Bahkan, masjid di Kantor PP Muhammadiyah telah menggunakan panel surya sebagai model masjid ramah lingkungan. Meski demikian, ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas iman. “Kerja sama ini bagian dari mandat Muktamar Muhammadiyah. Mari kita jadikan kolaborasi ini gerakan masif dan menjadi perilaku kolektif umat manusia,” tegasnya.
Baca juga, Amar Ma‘rūf Nahi Munkar: Dari Dakwah Bil-Lisān hingga Dakwah Bil-Hāl
Dari perspektif Hindu, Astono Chandra mengingatkan bahwa merawat alam sama halnya merawat diri sendiri. “Kalau kita ingin merawat alam semesta, kita harus harmonis dengan semesta,” katanya. Ia mencontohkan Hari Nyepi di Bali sebagai bentuk nyata umat Hindu memberi ruang bagi bumi untuk beristirahat.
Senada, Engkus Ruswana menegaskan perlakuan manusia terhadap alam harus bijak. “Tidak sedetik pun kita lepas dari udara. Karena itu, harus ada batasan bagaimana memperlakukan alam,” ujarnya. Ia mencontohkan kearifan masyarakat adat Baduy yang menetapkan aturan menjaga gunung, hutan, dan tanah agar tetap lestari, meski mereka masih menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan ruang hidup.
Sementara itu, Rusya Supit menjelaskan bahwa dalam ajaran Khonghucu, Tuhan, langit, manusia, dan bumi adalah kesatuan. “Kerusakan lingkungan adalah pelanggaran dari keteraturan langit,” tuturnya. Prinsip thien xia wei gong atau “dunia milik bersama” menurutnya menjadi landasan etika Konfusianisme dalam menjaga keadilan dan tanggung jawab ekologis.
Dari perspektif Kristen, Meilanny Risamasu menekankan bahwa tanggung jawab ekologis adalah bagian dari iman. “Merawat ciptaan merupakan tindakan kasih kepada bumi dan sesama,” ujarnya. Ia mendorong perubahan cara pandang masyarakat, dari melihat alam hanya sebagai sumber daya menuju relasi saling menjaga.
Meilanny juga menegaskan pentingnya kolaborasi lintas iman. “GCBS lahir dari kerja sama lintas iman, bukan hanya gereja. Kolaborasi dengan STFT Jakarta, Eco Bhinneka Muhammadiyah, dan GreenFaith diharapkan memperluas jangkauan gerakan peduli lingkungan,” jelasnya.
Kontributor : Farah
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha