Tiga Klasifikasi Pokok dalam Penentuan Status Kehalalan Makanan Menurut Muhammadiyah

PWMJATENG.COM, Surakarta – Dalam sebuah forum kajian tarjih online Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Isman, mengingatkan bahwa pembahasan mengenai makanan halal sejatinya tidak berhenti pada soal materi atau komposisi fisik semata. Lebih dari itu, kata dia, topik ini menyentuh dimensi spiritual yang sangat penting dalam kehidupan seorang Muslim.
“Rasulullah SAW menegaskan bahwa doa yang mudah diijabah berasal dari hamba yang menjaga makanannya dari hal-hal yang haram,” ujar Isman dalam pengantar materinya. Ia menegaskan, kehalalan makanan bukan hanya perkara memenuhi standar syariat, tetapi juga menjadi pintu bagi keberkahan hidup seorang Muslim.
Isman menjelaskan, Majelis Tarjih Muhammadiyah telah melakukan kajian mendalam tentang makanan halal sejak tahun 1993 hingga 2015. Dari hasil pengumpulan fatwa selama lebih dari dua dekade itu, muncul tiga klasifikasi pokok yang menjadi pedoman dalam penentuan status halal suatu produk. “Ketiganya meliputi kesucian dan kehalalan zat asal makanan, status hukum makanan yang tidak diketahui proses perolehannya, serta perubahan zat atau hilangnya sifat keharaman (istihalah dan izalah),” terangnya.
Menurutnya, tiga klasifikasi tersebut bukan hanya panduan normatif, tetapi juga refleksi dari kehati-hatian syariat dalam menjaga kemurnian konsumsi umat Islam. “Ketiganya menjadi dasar penting dalam menentukan status halal suatu produk konsumsi,” tegas Isman.
Dalam kesempatan itu, ia juga memaparkan bahwa penetapan hukum halal di lingkungan Majelis Tarjih tidak dilakukan secara sembarangan. Terdapat tiga pendekatan utama yang digunakan, yakni bayani, burhani, dan ta’lili. Pendekatan bayani, jelasnya, merujuk pada dalil tekstual dari Al-Qur’an dan hadis. Pendekatan burhani menggunakan metode rasional-empiris dengan melibatkan kajian ilmiah, uji laboratorium, dan data penelitian. Sementara ta’lili menelaah sebab dan kadar unsur tertentu yang menjadi dasar kausalitas hukum.
Baca juga, Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1447 H
“Dengan memadukan ketiganya, keputusan hukum menjadi lebih ilmiah, kontekstual, dan tetap dapat dipertanggungjawabkan secara syariah,” ujar Isman menegaskan.
Pembahasan kemudian berlanjut pada berbagai contoh kasus kontemporer yang kerap menjadi perdebatan di masyarakat. Di antaranya adalah status kehalalan food tray yang dikabarkan mengandung minyak babi, produk fermentasi seperti air tape, hingga daging yang tidak diketahui cara penyembelihannya.
Dalam menghadapi kasus semacam itu, Majelis Tarjih mengedepankan prinsip kehati-hatian dengan pendekatan verifikasi ilmiah. “Apabila tidak diketahui kejelasan prosesnya, seorang Muslim dianjurkan memilih yang lebih aman dan jelas kehalalannya,” terang Isman. Prinsip ini, menurutnya, bukan bentuk sikap ekstrem, melainkan wujud tanggung jawab moral agar umat tidak terjerumus pada hal yang meragukan.
Kajian tersebut juga menyinggung persoalan hukum bangkai dan turunannya, seperti telur yang berasal dari ayam mati tanpa disembelih. Dalam fatwa Tarjih, dijelaskan bahwa telur tersebut tetap dianggap sebagai entitas hukum yang berbeda dari induknya, selama tidak tercemar najis atau penyakit. Pandangan ini menunjukkan keluasan perspektif tarjih dalam menyeimbangkan aspek halal, thayyib, dan maslahat bagi umat.
Melalui penjelasan ini, Majelis Tarjih Muhammadiyah ingin menegaskan bahwa pembahasan halal tidak hanya sebatas sertifikasi produk atau label industri. Lebih jauh dari itu, hal tersebut merupakan wujud kesadaran spiritual untuk menjaga kesucian diri dan hubungan dengan Allah. Seperti disampaikan Isman, “Menjaga makanan dari yang haram adalah bagian dari upaya membersihkan jiwa. Dari makanan yang halal, lahirlah doa yang mustajab dan amal yang diterima.”
Kontributor : Al
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha