PWM JatengTokoh

Tafsir: Islamisasi Jawa Bukan Lewat Penaklukan Melainkan Pendekatan Budaya

PWMJATENG.COM – Sejarah penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa, selalu menarik untuk dikaji. Dalam sebuah tausiahnya, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Tafsir, mengajak jamaah untuk menelusuri kembali jejak Islamisasi yang berlangsung berabad-abad lalu. Ia menekankan bahwa Islam masuk dan berkembang bukan dengan penaklukan, melainkan melalui pendekatan budaya yang halus dan menyentuh hati masyarakat.

Menurut Tafsir, strategi para ulama dan wali dalam mengenalkan Islam di Jawa dilakukan melalui jalan kebijaksanaan, bukan dengan kekerasan. Islam diterima secara luas karena mampu beradaptasi dengan tradisi masyarakat yang sebelumnya telah hidup dalam budaya Hindu-Buddha. “Sejarah penyebaran Islam di Jawa dimulai dari kekuasaan raja, yang kemudian diikuti oleh rakyatnya. Islamisasi ini lewat budaya, sehingga tidak ada penaklukan,” tutur Tafsir dalam tausiah tersebut.

Pendekatan budaya dalam dakwah menjadi kunci keberhasilan Islam di Jawa. Para wali, yang kemudian dikenal dengan sebutan Wali Songo, menggunakan seni, sastra, dan tradisi sebagai sarana menyampaikan ajaran Islam. Misalnya, wayang kulit dijadikan media dakwah dengan menyisipkan nilai-nilai tauhid dan akhlak mulia. Syair-syair bernuansa Islam juga dibawakan dengan irama yang dekat dengan masyarakat, sehingga lebih mudah diterima.

Narasi ini diperkuat oleh fakta sejarah bahwa para raja Jawa yang masuk Islam menjadi pintu utama Islamisasi. Rakyat yang taat kepada rajanya pun mengikuti jejak tersebut. Proses ini menggambarkan adanya kesinambungan antara otoritas politik dan penerimaan ajaran agama. Pendekatan ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an yang memerintahkan dakwah dilakukan dengan hikmah:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِۙ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125).

Ayat ini menjadi landasan bahwa dakwah bukan semata-mata tentang konfrontasi, melainkan tentang dialog, kearifan, dan kemampuan menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat.

Selain mengulas proses islamisasi, Tafsir menekankan pentingnya peran pemimpin dalam membimbing umat. Ia mengatakan bahwa pemimpin umat Islam memiliki tanggung jawab besar untuk melanjutkan tugas kenabian, yakni mengajarkan nilai kebenaran, menegakkan keadilan, dan menjaga kesejahteraan rakyat. Pemimpin bukan hanya mengurus urusan politik semata, tetapi juga menjadi teladan moral dan spiritual bagi masyarakat.

Dalam hadis Nabi Muhammad Saw. disebutkan:

اَلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Seorang pemimpin adalah penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menegaskan bahwa kepemimpinan bukanlah kedudukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Tafsir menilai bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu memadukan visi kenegaraan dengan nilai-nilai keagamaan agar tercipta tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Baca juga, Tafsir Soroti Tradisi Maulid Nabi di Jawa: Antara Syair, Sastra, dan Keteladanan

Dalam tausiahnya, Tafsir juga menyoroti pengelolaan zakat di Indonesia. Ia menilai bahwa zakat yang merupakan rukun Islam ketiga belum sepenuhnya dikelola secara optimal oleh negara. Padahal, zakat memiliki potensi besar untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Zakat seharusnya dapat dioptimalkan oleh negara untuk kesejahteraan umat,” tegas Tafsir. Pernyataan ini menegaskan bahwa pengelolaan zakat tidak boleh hanya bersifat individual, melainkan harus ada regulasi dan sistem yang kuat dari pemerintah agar manfaatnya benar-benar dirasakan secara luas.

Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an tentang kewajiban menunaikan zakat:

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ

“Dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.” (QS. Al-Baqarah: 43).

Ayat ini menunjukkan bahwa zakat memiliki kedudukan fundamental dalam ajaran Islam. Jika dikelola dengan baik, zakat dapat menjadi instrumen ekonomi umat yang efektif. Bahkan, sejarah mencatat pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat mampu menyejahterakan masyarakat sehingga hampir tidak ditemukan lagi orang miskin yang berhak menerima zakat.

Narasi sejarah islamisasi di Jawa dan pesan tentang pentingnya peran pemimpin serta optimalisasi zakat menjadi pengingat bahwa Islam hadir bukan untuk menaklukkan, melainkan membawa rahmat. Islam diturunkan sebagai ajaran yang menebarkan kebaikan, keadilan, dan kedamaian.

Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt.:

وَمَاۤ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107).

Ayat tersebut menegaskan bahwa misi Islam adalah membawa kesejahteraan, bukan pertentangan. Karena itu, pendekatan budaya yang lembut dalam penyebaran Islam di Jawa adalah cerminan dari hakikat ajaran Islam itu sendiri.

Pesan yang disampaikan Tafsir memberikan refleksi penting bagi umat Islam masa kini. Islam di Jawa berkembang melalui pendekatan budaya yang damai, bukan dengan kekerasan. Para pemimpin memiliki tanggung jawab besar dalam melanjutkan tugas kenabian, yaitu membimbing umat menuju kehidupan yang lebih baik. Selain itu, zakat sebagai salah satu pilar Islam perlu dikelola dengan optimal oleh negara agar benar-benar menjadi sarana mewujudkan kesejahteraan.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE