Self-Love atau Selfish? Menemukan Batas Sehat dalam Mencintai Diri Sendiri

PWMJATENG.COMย โย Dalam beberapa tahun terakhir, istilah self-love atau mencintai diri sendiri menjadi semakin populer, terutama di kalangan generasi muda. Konsep ini dianggap sebagai bentuk penghargaan terhadap diri sendiri, menjaga kesehatan mental, serta membangun batasan yang sehat dalam hubungan sosial. Namun, seiring maraknya kampanye self-love, muncul pertanyaan krusial: kapan mencintai diri sendiri menjadi sehat, dan kapan justru berubah menjadi sikap egois (selfish)?
Pertanyaan ini penting karena batas antara self-love dan selfishness sering kali tampak tipis. Banyak orang menggunakan dalih mencintai diri sendiri untuk membenarkan perilaku yang merugikan orang lain atau menghindari tanggung jawab sosial. Di sisi lain, sebagian orang justru merasa bersalah ketika mencoba memprioritaskan kebutuhannya sendiri karena khawatir dianggap egois. Maka, perlu ada pemahaman yang jernih tentang konsep self-love yang sehat dan bagaimana membedakannya dari sifat egois.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mencintai berarti menyayangi atau merasa sangat suka terhadap sesuatu. Jika diterapkan pada diri sendiri, maka self-love adalah tindakan menyayangi diri secara utuhโbaik fisik, mental, maupun emosional. Self-love bukan sekadar memanjakan diri, melainkan tindakan sadar untuk mengenali nilai dan kebutuhan pribadi tanpa mengabaikan realitas sosial.
Psikolog Kristin Neff, salah satu tokoh yang memperkenalkan konsep self-compassion, menyatakan bahwa mencintai diri sendiri mencakup tiga elemen: self-kindness (bersikap lembut pada diri), common humanity (menyadari bahwa penderitaan adalah bagian dari kehidupan manusia), dan mindfulness (kesadaran atas perasaan dan pikiran saat ini tanpa menghakimi).
Dengan demikian, self-love sejatinya adalah bentuk tanggung jawab pribadi untuk merawat diri agar mampu hadir secara utuh dalam kehidupan sosial, bukan sebagai bentuk pelarian atau pembenaran atas sikap individualistik.
Sikap self-love yang sehat akan menciptakan keseimbangan antara kebutuhan pribadi dan kepedulian terhadap orang lain. Namun, jika self-love digunakan untuk menolak segala bentuk kritik, menuntut perhatian tanpa memberi timbal balik, atau menutup diri dari tanggung jawab bersama, maka hal itu telah bergeser menjadi sikap egois.
Baca juga, Mengukur Kualitas Taqwa di Bulan Syawal
Sebagai contoh, seseorang yang menolak membantu rekan kerja karena merasa waktunya hanya untuk diri sendiri tanpa mempertimbangkan konteks kolektif kerja tim, telah menunjukkan gejala selfishness. Dalam konteks hubungan pribadi, seseorang yang terus-menerus menuntut pasangan memahami dirinya tanpa upaya saling mengerti juga dapat disebut egois.
Psikolog klinis, Andri R. J., menyebutkan bahwa mencintai diri sendiri memang penting, tetapi harus disertai dengan kesadaran sosial dan empati. โSelf-love bukan berarti menutup mata terhadap kebutuhan orang lain. Justru dengan mencintai diri secara sehat, seseorang dapat lebih tulus mencintai dan membantu orang lain,โ ujar Andri.
Untuk menemukan batas sehat dalam mencintai diri sendiri, seseorang perlu melakukan refleksi secara rutin. Tanyakan pada diri sendiri: Apakah keputusan yang diambil hanya menguntungkan diri sendiri tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain? Apakah sikap tersebut membuat hubungan sosial menjadi renggang? Apakah ada penolakan terhadap kritik yang konstruktif?
Jika jawaban dari pertanyaan tersebut menunjukkan dominasi kepentingan pribadi secara berlebihan, maka sudah saatnya melakukan evaluasi ulang terhadap makna self-love yang selama ini dijalani.
Selain itu, penting juga membangun keseimbangan antara memberi dan menerima. Seseorang yang sehat secara emosional akan mampu mengatakan โtidakโ tanpa rasa bersalah, tetapi juga mampu berkata โyaโ jika itu bermanfaat bagi orang lain, selama tidak merugikan diri sendiri secara ekstrem.
Tidak dapat dimungkiri bahwa media sosial turut memengaruhi pemahaman publik terhadap self-love. Banyak konten yang mempromosikan gaya hidup bebas tanggung jawab atas nama kebebasan dan mencintai diri. Padahal, self-love bukan berarti pembenaran untuk menjauh dari komitmen atau menuntut perlakuan istimewa tanpa memberi timbal balik.
Kita perlu kritis terhadap narasi-narasi yang cenderung menyesatkan, terutama yang mengglorifikasi individualisme ekstrem. Edukasi dan literasi digital menjadi kunci agar masyarakat dapat memahami konsep mencintai diri sendiri secara utuh, bukan sekadar slogan yang diikuti tanpa pemahaman mendalam.
Ikhtisar
Mencintai diri sendiri adalah fondasi penting dalam menjaga kesehatan mental dan membangun relasi yang sehat. Namun, mencintai diri tidak berarti mengabaikan orang lain atau menolak tanggung jawab sosial. Batas antara self-love dan selfishness terletak pada kesadaran, empati, dan tanggung jawab.
Jika self-love membawa kita pada kehidupan yang lebih bermakna dan hubungan yang harmonis, maka itu adalah cinta diri yang sehat. Namun jika sebaliknya, menjauhkan kita dari nilai kemanusiaan dan membuat relasi menjadi tidak sehat, maka sudah saatnya kita bertanya: apakah ini masih cinta diri atau hanya topeng dari keegoisan?
Ass Editor : Ahmad; Editor :ย M Taufiq Ulinuha