SEKOLAH 6 HARI BUKAN SOLUSI NGOPENI LAN NGELAKONI” ALA JAWA TENGAH

Oleh: Rizky Nofandi (Guru SMK / Bidang Hikmah PWPM Jawa Tengah
PWMJATENG.COM, Wacana penerapan sekolah 6 hari kembali mengemuka di Jawa Tengah setelah disampaikan oleh Gubernur. Alasannya terdengar mulia: membentuk karakter, menekan kenakalan remaja, dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Namun pertanyaan utamanya adalah: apakah menambah hari sekolah benar-benar menjawab persoalan pendidikan kita?
Jika menambah waktu berada di sekolah adalah solusi sederhana, tentu masalah pendidikan Indonesia sudah selesai sejak puluhan tahun lalu. Faktanya, persoalan pendidikan justru semakin kompleks. Sekolah terbebani kurikulum padat, sementara keluarga menghadapi tekanan ekonomi, sosial, dan budaya yang memengaruhi kondisi psikologis dan perkembangan anak.
Tawuran, bullying, kecanduan gawai, hingga kriminalitas remaja memang memprihatinkan. Tetapi menganggap semua itu terjadi hanya karena kurangnya jam sekolah adalah penyederhanaan masalah.
Remaja hari ini hidup dalam lingkungan penuh tekanan:
• kebutuhan ekonomi rumah tangga,
• minimnya ruang ekspresi,
• lemahnya pendampingan orangtua,
• serta beban akademik yang tidak proporsional.
Satu survei menunjukkan 23,46% remaja pernah terdorong melakukan perilaku menyimpang. Sementara di beberapa wilayah, angka kenakalan remaja meningkat dari 6.325 kasus (2013) menjadi 8.597 kasus (2016). Angka ini menunjukkan persoalan jauh lebih luas dari sekadar durasi sekolah.
Salah satu akar masalahnya adalah minimnya pendampingan orangtua, bukan karena tidak peduli, tetapi karena jam kerja yang terlalu panjang. Dengan rata-rata jam kerja tahunan Indonesia sekitar 2.095 jam per tahun, jauh di atas banyak negara maju, bagaimana orangtua bisa menemani anak di hari libur jika mereka sendiri bekerja 6 hari seminggu?
Pada kondisi ini, menambah satu hari sekolah justru memperkecil waktu keluarga untuk saling mengenal dan membangun karakter.
Finlandia, Jepang, dan Belanda—negara dengan performa PISA unggul—semuanya menerapkan sekolah 5 hari dan jam belajar yang tidak sepanjang Indonesia. Rahasianya?
Karena di negara maju, pendidikan tidak berdiri sendirian. Pemerintah memberi perhatian serius pada:
- jam kerja layak bagi orangtua,
- upah hidup bermartabat,
- program after-school yang sehat dan aman,
- cuti berbayar untuk orangtua,
- serta layanan konseling keluarga.
Studi OECD menegaskan: kebijakan pro-keluarga berpengaruh langsung pada perkembangan karakter dan kesehatan mental anak.
Di Indonesia, situasinya berkebalikan:
Anak pulang sore. Orangtua pulang malam.
Keduanya lelah.
Interaksi emosional hilang.
Pendidikan karakter pun terabaikan.
Dari sudut pandang ini, pemangku kebijakan mestinya melihat akar persoalan, bukan sekadar menaikkan jumlah hari masuk sekolah.
Berdasarkan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, waktu kerja normal adalah 40 jam seminggu dalam 5 hari kerja. Namun fakta lapangan menunjukkan masih banyak perusahaan menerapkan sistem 6 bahkan 7 hari kerja.
Upah minimum (UMK) di banyak daerah pun hanya cukup untuk bertahan hidup, bukan untuk kualitas hidup yang layak.
Akibatnya, hari libur anak tidak bermakna, karena orangtua tetap bekerja. Anak tidak mendapat pendampingan emosional dan sosial yang seharusnya menjadi fondasi karakter.
Jika tujuan kebijakan adalah menekan kenakalan remaja dan meningkatkan kualitas pendidikan, maka yang mendesak dilakukan bukan penambahan hari sekolah, melainkan:
1. Menguatkan Waktu Keluarga
Terapkan 5 hari kerja secara merata. Beri ruang orangtua menjalankan peran fitrahnya: pendidik pertama dan utama bagi anak.
2. UMK Layak & Kebijakan Pro-Keluarga
Ekonomi keluarga yang stabil menurunkan stres dan meningkatkan kualitas pengasuhan.
3. Membangun Ekosistem Positif Remaja
Sediakan lebih banyak ruang kreatif: seni, olahraga, komunitas, mentoring, dan konseling di luar sekolah.
4. Fokus pada Mutu Pembelajaran
Kurangi beban konten, kuatkan interaksi bermakna.
Karakter tidak tumbuh dari jam sekolah yang panjang—melainkan dari hubungan emosional yang sehat.
Menambah hari sekolah mungkin terlihat sederhana, tetapi tidak menyentuh problem mendasar: ketahanan keluarga.
Jika kita ingin Jawa Tengah dan Indonesia maju, kebijakannya harus berpijak pada kenyataan bahwa keluarga adalah poros pendidikan karakter.
Pendidikan terbaik tumbuh dari ruang-ruang hangat di rumah: percakapan, teladan, kebersamaan, dan perhatian.
Bukan dari memaksa anak hadir 6 hari di sekolah tanpa strategi pembelajaran yang lebih baik.
Jadi, sebelum menambah hari belajar, berikan keluarga waktu untuk “Ngopeni lan Ngelakoni”—tugas mulia mendidik anak yang tidak bisa digantikan oleh sistem apa pun.
Editor: Al-Afasy



