Sedih dan Sakit Hati Secukupnya

PWMJATENG.COM, Seperti dikomando, tangis para tamu yang telah hadir sejak sore itu pecah saat jenazah diturunkan dari ambulans. Terutama para ibu yang tak mampu menyembunyikan kesedihan. Beberapa bapak terlihat menahan air mata agar tidak tumpah. Sang ibu dan bapak yang kehilangan putranya tampak lemas dan harus dipapah menuju kamar.
Bagi orang tua, kepergian buah hati secara mendadak menyisakan duka yang amat dalam. Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia sebagai wisudawan, berubah menjadi hari duka cita bagi keluarga. Tak seorang pun tahu kapan dan di mana Sang Pencipta memanggil hamba-Nya kembali ke haribaan-Nya.
Bersedih ketika orang-orang terkasih tiba-tiba pergi meninggalkan kita untuk selamanya adalah hal yang wajar. Begitu pula rasa sakit hati saat dizalimi, difitnah, dicaci, atau dipermalukan di hadapan banyak orang tanpa alasan yang jelas. Bahkan, tak jarang kedua rasa itu hadir bersamaan. Itu adalah respons alami manusia terhadap peristiwa yang tidak diinginkan atau tidak diharapkan.
Sedih dan sakit hati merupakan dua perasaan yang paling umum dialami manusia. Tidak ada seorang pun yang dapat sepenuhnya menghindarinya, karena keduanya adalah bagian dari warna-warni kehidupan. Namun sering kali, kita merasa seolah tidak boleh menampakkan kesedihan secara terang-terangan.
Jika hal itu kita alami, sejatinya kita tidak sendirian. Semua orang pernah bersedih dan sakit hati, hanya saja kadar dan cara menghadapinya berbeda-beda. Tidak ada satu cara yang mutlak benar untuk menyelesaikan luka batin.
Ada hari-hari ketika kita berusaha tampak biasa saja, tetapi dada terasa sesak, seolah ada sesuatu yang menahan napas dari dalam. Ada luka yang tak terlihat, namun nyerinya menembus hingga ke tulang. Luka yang datang dari orang terdekat, dari harapan yang berbuah semu, atau dari janji-janji manis yang berujung pahit. Di situlah sedih dan sakit hati hadir.
Ada titik ketika menangis tak lagi menyembuhkan, selain sekadar mengurangi sedikit sesak di dada. Ada batas toleransi ketika mengulang-ulang kejadian justru membuat luka kian terbuka. Dan ada momen pahit ketika kita harus memilih untuk berhenti menggenggam sesuatu yang tak lagi bisa kita selamatkan.
Lalu, ketika sedih dan sakit hati datang serentak, bolehkah kita menangis? Tidak ada larangan untuk menangis. Menangis bukan tanda kelemahan, melainkan cara tubuh memproses tekanan emosional dan melepaskan beban yang terpendam.
Kadang kita menangis di tengah kesibukan, dan itu tidak apa-apa. Kadang kita merasa hampa meski dunia di sekitar ramai, dan itu pun tidak apa-apa. Kita tetap bangun setiap pagi meski hati belum pulih sepenuhnya. Tetap melangkah, mengisi hari, dan berusaha tersenyum meski bibir gemetar—itulah keberanian yang sering luput kita sadari.
Bersedih dan sakit hati secukupnya berarti memberi hati kesempatan untuk bernapas kembali. Bukan karena rasa sakit itu hilang sepenuhnya—ia mungkin masih ada dan sesekali muncul tanpa alasan—tetapi kita belajar membiarkannya lewat tanpa membiarkannya menguasai diri.
Bersedih secukupnya bukan soal kuat atau lemah, melainkan tentang menjaga diri agar tidak kehilangan kendali. Kita memahami bahwa luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Jangan biarkan sedih dan sakit hati membelenggu langkah, dan jangan pula takut untuk menangis.
Rasa sakit dan duka bisa mengubah seseorang—menjadi lebih matang atau sebaliknya. Ia bisa membuat kita lebih hati-hati, lebih tangguh, lebih kuat, atau justru lebih lembut pada diri sendiri.
Untuk mencegah sedih dan sakit hati berulang, salah satu caranya adalah dengan diam sejenak ketika perasaan itu datang. Diam untuk menenangkan diri, melindungi batin, dan menstabilkan emosi agar tidak menyakiti maupun disakiti. Tentu ini tidak mudah, karena membutuhkan niat, keberanian, dan tekad yang sungguh-sungguh.
Duka yang terlalu dalam dan berlarut-larut dapat berbuah sakit lahir dan batin, seolah kita menolak ketentuan dan takdir-Nya. Sedih dan sakit hati memang manusiawi, namun akan lebih menenangkan jika kita belajar bersabar dan meyakini bahwa segala sesuatu telah diatur dengan sebaik-baiknya.
Jangan biarkan dua perasaan ini membuat kita terpuruk dan kehilangan semangat hidup.
Biodata Penulis
Wurry Srie – Ibu rumah tangga yang gemar menulis. Koordinator Divisi Keluarga MTK PDA Jepara dan aktif di PCA Donorojo.
Editor: Al-Afasy



