Rekonstruksi Etos Intelektualisme untuk Aktualisasi Islam Berkemajuan

Oleh: Muhammad Adib Romdhon
(Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kudus, Ketua Umum PC IPM Nalumsari 2024–2026)
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ ١ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ ٢ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ ٣ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ ٤ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ ٥
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, yang mengajar manusia dengan pena, dan mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1–5)
PWMJATENG.COM, Lima ayat pertama surah Al-‘Alaq menjadi pondasi penting dalam membangun etos intelektual Islam. Mengapa wahyu pertama berkaitan dengan perintah membaca (iqra’)? Pertanyaan ini mengandung pesan mendalam tentang pentingnya literasi sebagai kunci kemajuan peradaban Islam. Melalui ayat ini, Allah SWT menegaskan bahwa ilmu dan pembacaan adalah dasar eksistensi manusia.
Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, kata iqra’ berasal dari akar kata qara’a yang berarti “menghimpun”. Dalam konteks Al-Qur’an, iqra’ mencakup makna menelaah, meneliti, dan memahami secara mendalam. Artinya, membaca bukan sekadar aktivitas verbal, tetapi proses intelektual yang melibatkan refleksi dan analisis.
Dari lima ayat pertama ini, terdapat dua semangat utama yang harus dihidupkan dalam diri umat Islam:
- Spirit Iqra’ (Membaca dan Meneliti)
Umat Islam dituntut untuk memiliki gairah membaca, menuntut ilmu, dan melakukan riset. Aktivitas intelektual menjadi bagian integral dari kehidupan seorang muslim. - Spirit Kitaabah (Menulis dan Mendokumentasikan Ilmu)
Menulis adalah konsekuensi logis dari membaca. Melalui penulisan, ilmu dapat diwariskan lintas generasi. Dalam perspektif filsafat ilmu, objek bacaan mencakup tiga dimensi:- Objek empiris, melahirkan ilmu pengetahuan alam (science).
- Objek sosial-filosofis, menghasilkan ilmu sosial dan humaniora.
- Objek teologis, melahirkan ilmu agama dan spiritualitas.
Ketiganya harus terjalin melalui tradisi menulis yang kuat.
Namun, realitas menunjukkan keterbelakangan umat Islam dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dua sebab utama dapat diidentifikasi:
- Pertama, umat Islam cenderung menjadi konsumen teknologi Barat tanpa mengadopsi etos ilmiahnya. Akibatnya, kemajuan yang diraih bersifat parsial dan tidak mandiri.
- Kedua, munculnya sikap parokialistik, yaitu pandangan sempit yang menolak ilmu hanya karena berasal dari luar kelompok sendiri. Sikap ini bertentangan dengan semangat kosmopolitan dan universal Islam.
Semangat literasi yang diajarkan dalam surah Al-‘Alaq harus menjadi napas kehidupan umat Islam. Dengan menumbuhkan etos intelektualisme dan semangat Islam berkemajuan, umat Islam dapat kembali memimpin peradaban dunia—bukan sekadar pengikut arus sejarah.
Kita perlu menjadi kontributor ilmu dan peradaban, bukan sekadar komentator. Islam berkemajuan menuntut umatnya berpikir kritis, berwawasan luas, dan berorientasi pada kemaslahatan universal.
Editor: Al-Afasy



