Refleksi Terhadap Dakwah Kultural Muhammadiyah
Wida Rahmatika, aktivis Muhammadiyah
SUDAH idak asing tentunya nama Muhammdiyah di telinga kita semua. Saya dilahirkan dari keluarga Muhammadiyah tulen dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Orangtua mengharuskan saya belajar di Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Bagi saya Muhammadiyah adalah organisasi masyarakat yang membumi, yang membawa misi mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sesuai dengan tujuannya. Dan Muhammadiyah memberikan kader-kadernya ladang untuk ber-amar ma’ruf nahi mungkar.
Namun akhir-akhir ini saya merasakan hal yang berbeda pada Muhammadiyah, seakan Muhammadiyah mulai menjadi organisasi yang esklusif, meninggalkan gerakan-gerakan sederhana tapi mengenang yang dahulu K.H Ahmad Dahlan (selaku pendiri Muhammadiyah) lakukan. Dakwah Muhammadiyah kini tidak memberikan kepuasan kepada masyarakat. Bahkan beberapa orang Muhamadiyah melegakan dahaga ilmu mereka dengan mengikuti pengajian di organisasi lain. Warga Muhammadiyah mulai rutin mengikuti pengajian yang tidak disajikan oleh organisasinya sendiri, sehingga banyak yang beranggapan bahwa Muhammadiyah dengan organisasi lain sama. Seperti itulah yang saya lihat di sekitar Surakarta setiap hari Ahad. Masyarakat desa secara khususnya lebih memilih berbondong-bondong menuju gedung organisasi lain demi mendengarkan ceramah-ceramah mubaligh lain daripada ceramah dari mubaligh Muhammadiyah.
Perlu kita ingat bahwa K.H. Ahmad Dahlan tidak mendirikan Muhammadiyah untuk menjadi organisasi yang eksklusif, organisasi elit, hingga organisasi yang tidak peduli pada kaum mustadh’afin. Muhammadiyah hadir untuk memberikan pemahaman Islam yang kaffah kepada seluruh umat. Dan akhirnya timbul pertanyaan tentang dakwah Muhammadiyah zaman dahulu, yakni “bagaimana K.H. Ahmad Dahlan dapat begitu berhasil dengan dakwah Muhammadiyah yang beliau bawa?”.
Beliau tidak meninggalkan budaya-budaya yang sudah sangat erat di masyarakat. Pak Dahlan menjadikan budaya yang ada di masayarakat sebagai alat dakwah atau sering kita sebut dengan dakwah kultural. Dakwah yang luwes, tidak kaku, dan tidak elit, dakwah yang membumi hingga dapat diterima di masyarakat. Dakwah ini dapat diterima oleh orang-orang yang awam tanpa harus memberikan penghukuman atau menyalah-nyalahkan atas apa yang mereka lakukan.
Dakwah di Area Kebudayaan
Seperti yang pernah saya baca di majalah Suara Muhammadiyah edisi khusus tentang hubungan Muhammadiyah dengan Keraton Yogyakarta dan kesultanannya. Dalam milad ke-105 tahun Muhammadiyah di tahun 2017 Masehi, Muhammadiyah secara khusus mengadakan agenda resepsi di keraton dengan tujuan mengingat kembali perjuangan awal Muhammadiyah yang didukung oleh keraton. Beberapa perjuangan tersebut diantaranya adalah haji kedua K.H Ahmad Dahlan ke Mekkah adalah perintah Sultan Hamengku Buwono IX dan tanah sebagai tempat pendirian amal usaha Muhammadiyah di Yogyakarta sebagian merupakan bantuan dari keraton.
Kepercayaan dari Sultan Hamengku Buwono IX adalah buah hasil dari gerakan K.H. Ahmad Dahlan yang tidak anti budaya. Bahkan berkolaborasi dengan kebudayaan keraton sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar. Muhammadiyah Sebagai gerakan keagamaan, dan keraton sebagai entitas atau interpretasi simbol kebudayaan saling bersinergi untuk menyejahterakan masyarakat pada saat itu yang terjajah oleh Belanda. Dengan dukungan dari Kesultanan Ngayogyakarta tersebut dakwah kultural Muhammadiyah mampu diterima baik oleh masyarakat.
Gerakan Dakwah Kultural Kreatif
Kisah ini saya ambil dari buku Islam kultural Kiai Dahlan karya Prof. Abdul Munir Mulkhan, yakni di Bulan Haji K.H Ahmad Dahlan dan warga Muhammadiyah yang lain menyembelih hewan qurban dari hasil menabung dan arisan. Dalam kurban tersebut, satu daging kurban ditanggung oleh 20 orang lebih, lalu dibagikan kepada fakir miskin di pinggiran kota atau orang-orang miskin di daerah terpencil. Contoh yang lain adalah ketika K.H Ahmad Dahlan membagikan makanan kepada fakir miskin yang ada di lingkungan alun-alun sebagaimana peristiwa ini digambarkan pada film “Sang Pencerah”, lalu bagaimana K.H Ahmad Dahlan memberikan penjelasan-penjelasan dalam melawan penyakit TBC.
Oleh karena itu, marilah kita kembalikan ruh dakwah yang K.H Ahmad Dahlan pernah lakukan dulu, agar warga Muhammadiyah dapat melegakan dahaga ilmunya di Muhammadiyah, yakni dengan dakwah secara kultural lewat keluarga dan lingkungan yang tidak anti dengan budaya. (Tuti Astha3)