PWMJATENG.COM, Semarang – Pergantian tahun baru Masehi 2024 semakin dekat. Momen yang dinantikan banyak orang ini, tidak hanya menjadi titik balik dalam kehidupan pribadi, tetapi juga kesempatan untuk merenung dan melakukan refleksi. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah, bolehkah umat Islam merayakan tahun baru?
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, memberikan pandangan yang bijak terkait hal ini. Menurut Haedar, umat Muslim sesungguhnya merayakan dua pergantian tahun. Pertama adalah tahun Hijriyah yang dimulai dengan 1 Muharram, dan kedua adalah tahun Masehi yang biasa dirayakan pada akhir Desember.
“Tidak perlu dipertentangkan antara kedua kalender tersebut, karena keduanya memiliki tujuan dan fungsi yang berbeda. Kalender Masehi digunakan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam urusan transaksi, sedangkan kalender Hijriyah digunakan untuk penentuan hari raya seperti Idul Fitri dan Idul Adha,” jelas Haedar dalam acara Refleksi Akhir Tahun di Masjid Husnul Khatimah, Kampung Rukeman-Peleman, Tamantirto, Bantul, pada Rabu (28/12) tahun lalu.
Meski demikian, Haedar mengingatkan agar setiap momen pergantian tahun harus dimaknai dengan bijak. Tahun baru, menurutnya, dapat menjadi waktu yang baik untuk syiar dan refleksi diri, namun hal ini tidak boleh berlebihan.
“Merayakan tahun baru tidak salah, asalkan tidak berlebihan. Syiar, kegembiraan, dan kebahagiaan itu diperbolehkan. Bahkan, manusia berhak merayakan hidupnya. Misalnya, bertemu dengan teman, itu adalah hal yang wajar dan menyenangkan,” ujar Haedar.
Baca juga, Keputusan Musypimwil Muhammadiyah Jateng Tahun 2024
Namun, Haedar juga menegaskan agar umat Islam tidak terjebak pada perayaan yang hanya bersifat lahiriah semata. Perayaan yang berlebihan, yang mengarah pada pemborosan waktu, uang, dan kesempatan, seharusnya dihindari. “Yang penting adalah memberi makna pada setiap langkah yang kita lakukan, bukan hanya bersenang-senang tanpa tujuan,” tambahnya.
Pesan Haedar yang lebih mendalam adalah pentingnya mempertimbangkan batasan dalam merayakan tahun baru. “Tentu saja kita boleh gembira, namun bagi umat Islam, perayaan tahun baru harus dilaksanakan dengan penuh makna dan tidak boleh keluar dari koridor yang sudah digariskan agama,” tegasnya.
Dalam pandangan Haedar, refleksi tahun baru bukan sekadar ajang untuk berpesta atau merayakan sesuatu yang bersifat sementara. Lebih dari itu, momen ini bisa menjadi titik awal untuk memperbaiki diri dan memperdalam keimanan. “Tahun baru harus dimaknai sebagai awal yang baru untuk menjadi pribadi yang lebih baik,” ujar Haedar, mengingatkan umat Muslim untuk tidak hanya berpikir tentang kesenangan semata.
Haedar juga mengungkapkan, bahwa semangat kebahagiaan dan kegembiraan dalam tahun baru seharusnya juga diiringi dengan kesadaran spiritual. Baginya, makna dari pergantian tahun adalah untuk mengevaluasi diri dan melihat bagaimana kita bisa lebih produktif, baik dalam hubungan dengan sesama maupun dalam menjalani ibadah.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha