Ranting yang “Yatim”: Ketika Cabang Diam dan Daerah Sibuk dengan Acara Seremonial

Ranting yang “Yatim”: Ketika Cabang Diam dan Daerah Sibuk dengan Acara Seremonial
Oleh: Mohammad Noor Ridhollah (Peserta Sekolah Tabligh PWM Jateng dari Kudus)
PWMJATENG.COM – Setiap siklus kepemimpinan berakhir, denyut nadi Muhammadiyah di tingkat ranting seringkali disibukkan oleh ritual musyawarah dan penyusunan pengurus baru. Nama-nama struktur mungkin berganti, namun wajah-wajah yang menghiasi seringkali tak banyak berbeda.
Generasi muda hadir sebagai panitia, sementara para sesepuh kembali terpilih dalam lingkaran kepengurusan. Acara usai dengan doa, sambutan hangat, jepretan kamera, dan ucapan selamat yang membanjiri lini masa media sosial. Namun, setelah euforia itu mereda, apa yang terjadi? Seringkali, semua kembali ke titik nol.
Inilah fenomena yang tak jarang kita saksikan: ranting-ranting tak pernah benar-benar tumbuh berakar, hanya berganti kulit dan orang.
Cabang yang Terlena, Daerah yang Sibuk di Puncak Menara
Ketika ranting menunjukkan tanda-tanda kelemahan, seharusnya cabang hadir sebagai penopang. Namun, realitas di lapangan seringkali menunjukkan cabang-cabang yang sama pasifnya. Mereka eksis dalam bagan organisasi, namun tak sepenuhnya menjelma menjadi pembina yang menggerakkan. Ranting dibiarkan sendiri layaknya anak yatim.
Rapat kerja cabang diadakan, namun fokusnya lebih pada deretan agenda kegiatan, bukan pada strategi pembinaan ranting yang substansial. Kondisi ranting tak pernah ditanyakan, kinerjanya tak pernah dievaluasi, dan perkembangannya tak pernah dibimbing secara terarah.
Sementara itu, di tingkat daerah, upaya pembinaan cabang dan ranting acapkali terhenti pada panggung seremonial. Pelatihan, lokakarya, dan peluncuran program silih berganti, namun seringkali tanpa kurikulum yang jelas dan terstruktur. Modul kaderisasi yang sistematis absen, begitu pula sistem pendampingan yang berkelanjutan. Kegiatan-kegiatan tersebut berakhir seiring dengan habisnya anggaran, bukan bersamaan dengan tercapainya hasil yang nyata.
Padahal, daerah seharusnya menjadi mata air kurikulum pembinaan yang mengalir hingga ke akar rumput, sebuah panduan yang mempersiapkan cabang untuk menjadi pembina sejati, bukan sekadar corong penyalur informasi. Tanpa sistem ini, ranting dibiarkan berjuang sendiri, terhimpit dalam kelelahan yang tak berujung.
Ranting yang Bergerak Tanpa Peta
Di garis depan perjuangan, banyak pengurus ranting bekerja dengan semangat yang membara, namun seringkali tanpa peta jalan yang pasti. Mereka bergerak didorong oleh cinta dan dedikasi, bukan oleh sistem yang terukur. Namun, cinta yang tak ditopang oleh sistem yang kokoh lambat laun akan mengikis dan terasa sangat melelahkan.
Tanpa kurikulum pembinaan yang hidup dan relevan, para pengurus tak tahu apa yang harus dipelajari, bagaimana menyiapkan kader-kader penerus, atau bagaimana mengukur progres dakwah mereka. Sementara itu, cabang sendiri tak memiliki standar pembinaan yang jelas, karena daerah pun belum menyediakannya.
Baca juga, Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1447 H
Kita sering menggembar-gemborkan “pemberdayaan ranting,” namun pemberdayaan tanpa perangkat dan pendampingan yang konkret hanyalah retorika belaka.
Saatnya Merajut Kurikulum Pembinaan Cabang–Ranting yang Berjenjang
Kita tak bisa terus berharap ranting memperbaiki diri tanpa peta dan pendampingan yang jelas. Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah dan Pimpinan Daerah Muhammadiyah perlu segera menyusun kurikulum pembinaan cabang–ranting yang berjenjang, agar seluruh sistem kaderisasi dapat berjalan harmonis dari atas ke bawah dengan ritme yang sama.
Kurikulum tersebut seharusnya tak hanya berisi teori-teori organisasi yang kering, melainkan juga praktik pembinaan lapangan yang aplikatif, meliputi:
- Bagaimana membangun fondasi sistem kaderisasi yang kuat di tingkat ranting.
- Bagaimana mendampingi pengurus baru agar cepat beradaptasi dan produktif.
- Bagaimana mendorong kemandirian ranting dalam aspek keuangan dan dakwah.
- Bagaimana melakukan evaluasi kemajuan dakwah secara periodik dan terukur.
Cabang perlu dilatih untuk menjadi pembina yang handal, bukan sekadar penyampai surat edaran. Dan daerah harus menyiapkan mekanisme monitoring yang efektif agar pembinaan benar-benar terealisasi, bukan hanya sekadar laporan di atas kertas.
Menanam Sistem Adalah Jalan Tajdid Sejati
Kita tidak sedang kekurangan insan-insan baik di Muhammadiyah; yang kita butuhkan adalah sistem yang mampu menumbuhkan dan mengoptimalkan potensi mereka. Jika ranting terus dibiarkan tanpa arah yang jelas, gerakan ini berisiko terhenti di tengah jalan — bukan karena kehabisan kader, melainkan karena hilangnya sistem yang menopang.
Menanam sistem berarti menyiapkan generasi berikutnya agar tak perlu lagi berjuang dari titik nol. Menanam sistem berarti memastikan bahwa tajdid (pembaruan) tidak hanya berhenti di lisan, melainkan termanifestasi dalam manajemen yang rapi, kaderisasi yang terencana, dan pembinaan yang berkelanjutan.
Sebuah gerakan besar tidak diukur dari seberapa banyak rapat yang diadakan, melainkan dari seberapa dalam ia menanamkan akar-akarnya. Dan menanam sistem berarti menanam masa depan.
Karena jika ranting tumbuh kuat dan berdaya, cabang berfungsi optimal sebagai pembina, dan daerah menyiapkan kurikulum yang terarah, maka Muhammadiyah akan terus hidup dan berkembang di setiap kampung, di setiap masjid, di setiap hati yang berhasrat memperbaiki dunia dengan cara yang teratur, sistematis, dan berkemajuan.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha