PWMJATENG.COM, Salatiga – Muhammad Taufiq Ulinuha, Wakil Sekretaris PWPM Jawa Tengah yang juga menjabat sebagai Kabid Media dan Komunikasi (Medkom) DPD IMM Jawa Tengah, memberikan paparan menarik tentang Proxy War dalam acara Darul Arqam Madya (DAM) PC IMM Salatiga, Jumat (6/9/2024). Dalam pemaparannya, ia menyoroti bagaimana Proxy War menjadi strategi dominan dalam konflik modern, baik dalam peperangan langsung maupun konflik politik global.
“Proxy War adalah konflik di mana dua kekuatan besar menggunakan pihak ketiga atau perantara untuk mencapai tujuan politik mereka tanpa terlibat langsung,” jelas Ulin di awal diskusi. Perang ini sering terjadi selama era Perang Dingin, seperti yang terlihat dalam konflik di Vietnam dan Korea, di mana Amerika Serikat dan Uni Soviet mendukung pihak yang bertentangan demi kepentingan geopolitik mereka.
Ulin menjelaskan bahwa evolusi Proxy War kini tidak hanya terbatas pada konflik militer. Saat ini, medan pertempuran telah meluas ke dunia maya dan media, di mana informasi menjadi senjata utama. “Negara atau kelompok tertentu dapat menggunakan media dan platform digital untuk menyebarkan propaganda atau disinformasi, yang pada akhirnya melemahkan stabilitas negara lain tanpa harus mengangkat senjata,” lanjutnya.
Menurutnya, dengan perkembangan teknologi informasi dan media sosial, strategi perang ini semakin meluas. Salah satu contohnya adalah pemanfaatan media sosial dalam kampanye politik atau bahkan dalam menciptakan kerusuhan sosial. “Kita telah melihat bagaimana media sosial bisa menjadi alat yang sangat kuat untuk mempengaruhi opini publik dan bahkan merusak demokrasi, seperti yang terjadi pada Pemilu Amerika Serikat 2016,” ujar Kabag Medkom PWM Jawa Tengah ini.
Ulin juga menggarisbawahi peran media dalam Proxy War. Pada masa lalu, media tradisional seperti koran, radio, dan televisi menjadi alat utama dalam membentuk opini publik. “Pada era Perang Dingin, media digunakan oleh kedua blok besar untuk menyebarkan propaganda, baik anti-komunis di Amerika Serikat maupun anti-kapitalis di Uni Soviet,” ungkap Taufiq.
Baca juga, Jelang Pilkada Serentak 2024, Muhammadiyah Tegaskan Netralitasnya Namun Tidak Untuk Warganya
Namun, ia menambahkan bahwa peran media sosial dalam Proxy War saat ini telah jauh melampaui media tradisional. “Dengan media sosial, siapa pun bisa menyebarkan informasi secara masif dan instan, tetapi ini juga memudahkan penyebaran hoaks dan disinformasi,” jelasnya. Ulin menekankan bahwa tantangan besar yang dihadapi masyarakat global saat ini adalah bagaimana menangani penyebaran informasi palsu yang berpotensi merusak stabilitas sosial.
Propaganda dan disinformasi menjadi bagian integral dari Proxy War di era modern. “Disinformasi adalah teknik manipulasi informasi yang sengaja menyebarkan informasi salah untuk melemahkan lawan,” kata Ulin. Ia menjelaskan bahwa aktor-aktor di balik disinformasi dapat berupa negara, kelompok politik, hingga organisasi teroris.
Menurut Ulin, dampak dari propaganda dan disinformasi ini sangat merusak, terutama dalam masyarakat yang kurang teredukasi secara digital. “Disinformasi bisa menimbulkan kebingungan, memecah belah masyarakat, dan melemahkan institusi demokrasi,” tambahnya. Ia juga mengingatkan bahwa di Indonesia sendiri, kita sering melihat bagaimana hoaks dapat memicu kerusuhan atau ketegangan politik.
Untuk melawan ancaman disinformasi, Ulin menekankan pentingnya literasi media di kalangan masyarakat. “Masyarakat harus diajarkan bagaimana membedakan informasi yang valid dan yang tidak, serta diajak untuk berpikir kritis terhadap setiap informasi yang mereka terima,” sarannya. Menurutnya, media literasi adalah salah satu cara paling efektif untuk mengurangi dampak negatif dari disinformasi.
Selain itu, pengecekan fakta (fact-checking) juga menjadi alat penting dalam memerangi hoaks. “Banyak organisasi sekarang yang secara khusus bertugas memeriksa kebenaran informasi yang tersebar di media sosial. Ini sangat penting untuk menjaga integritas informasi di era digital ini,” ujarnya.
Ulin menutup pemaparannya dengan menyatakan bahwa perang informasi ini memerlukan regulasi yang kuat. “Kita harus memiliki undang-undang yang jelas untuk melindungi kebebasan berekspresi, tetapi juga memastikan bahwa informasi yang disebarkan tidak merusak stabilitas negara atau mengancam keamanan publik,” tutupnya.
Ia juga menyoroti peran lembaga internasional dalam menghadapi tantangan disinformasi global. Menurutnya, kerja sama internasional sangat penting untuk mengatasi perang informasi yang kini melintasi batas negara.
Editor : Ahmad