Kolom

Polemik Rukyat, Kritik KHGT, dan Masa Depan Kalender Islam

Polemik Rukyat, Kritik KHGT, dan Masa Depan Kalender Islam

Oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar (Dosen FAI UMSU, Kepala OIF UMSU, dan Anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah)

PWMJATENG.COM – Penerapan kriteria MABIMS 3-6.4 untuk Ramadan 1446 H tahun ini tidak seragam, dimana tiga negara (Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura) menetapkan awal Ramadan jatuh pada hari Ahad, tanggal 2 Maret 2025 M. Sementara Indonesia seorang diri menetapkan awal Ramadan jatuh pada hari Sabtu, tanggal 1 Maret 2025 M, sama dengan Muhammadiyah. Alasan perbedaan empat negara ini juga berbeda-beda, Malaysia dan Brunei Darussalam beralasan karena saat gurub tanggal 29 Syakban hilal tidak terlihat sehingga bilangan bulan Syakban digenapkan menjadi 30 hari (dikenal dengan istikmal), Singapura dengan alasan karena secara hisab posisi hilal (di Singapura) belum memenuhi 3-6.4 sehingga bilangan Syakban juga digenapkan 30 hari. Sementara itu Indonesia, yang menetapkan 1 Maret, dengan alasan adanya perukyat yang berhasil melihat hilal di Aceh, yang mana telah memenuhi 3-6.4, dan diterima oleh Kementerian Agama RI.

Khusus di Indonesia, penetapan awal Ramadan 1446 H pemberitaan dan pembahasannya cukup ramai dan mendapat atensi yang tinggi dari masyarakat terutama di media sosial. Atensi itu berupa kritik dan pembelaan, dan tak sedikit juga berupa ‘cemoohan’. Betapa karena kesaksian terlihatnya hilal di Aceh tidak terbuktikan (tidak terverifikasi) secara saintifik alias hanya bukti pengakuan perukyat semata, dalam hal ini tidak ada bukti citra hilal yang didapat untuk dapat dianalisis oleh para ahli. Observatorium Tgk. Chiek Kuta Karangsendiri yang notabenenya sebagai Pos Observasi Bulan resmi Kemenag RI di Aceh tidak berhasil melihat hilal. Seperti diketahui di observatorium ini tersedia alat-alat astronomi canggih (terutama teleskop) berikut sumber daya manusianya, namun sekali lagi tidak berhasil melihat hilal.

Hal menarik dan menjadi catatan, sebagaimana beredar dalam pemberitaan media sosial, terdapat laporan (pengakuan) terlihat hilal dari Aceh oleh perukyat yang bukan berasal dari perukyat lokal. Namun yang menarik kesaksian perukyat dari luar Aceh (yang laporannya tidak terverifikasi secara saintifik ini) tidak diterima kesaksiannya oleh Mahkamah Syariah setempat oleh karena tidak berada dalam wilayah otoritas-yurisdiksinya. Namun Kemenag RI pusat tetap menjadikan kesaksian tersebut sebagai landasan keputusan. Konon, semua perukyat lokal Aceh tak satupun berhasil dan mengaku melihat hilal, bahkan perukyat lokal yang bersaksi dan disumpah menyatakan tidak melihat hilal.

Secara keputusan, penetapan awal Ramadan jatuh tanggal 1 Maret 2025 M oleh Pemerintah (Kemenag RI) tentu sah dan tidak ada masalah, dan sepatutnya tidak dipermasalahkan. Namun secara substansi dan dalam konteks kajian ilmiah keputusan tersebut menyisakan problem yaitu terkait validitas-praktikal rumusan 3-6.4 itu sendiri, dimana hingga kini belum juga terbuktikan secara saintifik alias belum pernah ada citra hilal yang berhasil didapatkan. Seperti diketahui rumusan 3-6.4 diyakini oleh penggunanya bukanlah kriteria tunggal, yaitu rukyat saja atau hisab saja, namun gabungan antar keduanya dan keduanya mesti terakomodir. Terdapat klausul tak tertulis bahwa rumusan 3-6.4 ini mesti terverifikasi baik secara saintifik atau semata sumpah di lapangan, terlebih lagi ada klausul dari Nahdlatul Ulama yang menyatakan bahwa penetapan Pemerintah dapat diikuti selama berdasarkan rukyat dan sebaliknya (tidak wajib diikuti) jika tidak berdasarkan rukyat. Ini merupakan prinsip Nahdlatul Ulama, sebagaimana prinsip Muhammadiyah dengan hisabnya. Karena itu pula dua kutub prinsip ini menjadi dilema bagi Pemerintah betapapun Pemerintah mencoba menarasikannya seolah tidak ada dilema.

Baca juga, Aspek Faktual Penentuan Awal Bulan

Secara praktis karena adanya keharusan verifikasi (pembuktian) lapangan ini menyebabkan rumusan 3-6.4 ‘tersandera’, artinya Pemerintah akan gamang memutuskan masuknya awal bulan bila semata berpandukan telah terpenuhinya 3-6.4 tanpa adanya verifikasi keterlihatan di lapangan. Padahal secara teoretis rumusan 3-6.4 adalah konsep hisab yang sesungguhnya bisa secara langsung dijadikan acuan menetapkan masuknya awal bulan jika di salah satu titik wilayatul hukminya telah terpenuhi. Aceh sendiri, yang telah memenuhi 3-6.4, adalah bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun karena klausul tadi Pemerintah berkepentingan mesti ada laporan terlihat hilal dari Aceh, karena itu pula laporan dari luar Aceh yang betapapun tidak terverifikasi secara ilmiah dan bahkan secara administratif ditolak oleh Mahkmah Syariah setempat, dijadikan landasan Pemerintah dalam menetapkan awal Ramadan 1446 H jatuh pada hari Sabtu, tanggal 1 Maret 2025 M. Karena itu sekali lagi adanya laporan keterlihatan hilal di lapangan baik terverifikasi secara saintifik atau semata terverifikasi dengan sumpah secara otomatis dapat diterima seperti berlaku selama ini. Seperti biasa, tatkala verifikasi sumpah ini ‘digugat’ biasanya dinarasi dan dipamungkasi dengan kaidah “hukm al-hakim yarfa’ al-khilaf” (ketetapann hakim mengangkat perbedaan). Beberapa waktu lalu saya telah menulis secara singkat tentang fakta klaim rukyat yang banyak berkembang dimana negara (dan para pakarnya) tak berdaya hadir, lalu artikel tentang Pos Observasi Bulan (POB) serta sorotan kualitas dan fungsinya. Selengkapnya dapat dibaca disini: https://oif.umsu.ac.id/2022/05/klaim-rukyat-dan-ketidakberdayaan-negara/ dan https://oif.umsu.ac.id/2022/05/pos-observasi-bulan-dan-kualitas-rukyat-di-indonesia/).

Dalam konteks penentuan awal bulan an sich, model penetapan seperti dipraktikkan Pemerintah (Kemenag RI) ini tentu sah dan tidak ada masalah, terlebih lagi dalam skop lokal Indonesia. Namun dalam konteks perumusan Kalender Islam, terlebih kalender yang bersifat global baik tunggal atau bizonal, praktik semacam ini tentu menimbulkan problem, bahkan secara pasti tidak bisa dijadikan panduan. Diantara karakter kalender mapan adalah adanya kedefinitifan dan kepastian awal bulannya yang tidak meragukan dan dapat ditentukan sejak jauh hari. Karena itu manakala sebuah kalender meniscayakan verifikasi di lapangan yang verifikasi itu memiliki dua kemungkinan (masuk bulan baru hari ini atau esok harinya), maka dipastikan model dan praktik semacam ini tidak akan dapat membuat kalender yang bersifat global.

Karena itu Kemenag RI, dalam hal ini para pakar yang tergabung dalam Tim Hisab Rukyat (THR), terlebih seorang pakar yang sangat dominan dalam membela dan menarasikan secara amat sempurna MABIMS 3-6.4 dan atau RJ 2017 disarankan mesti logis dan realistis. Jika kalender global (versi Kemenag RI atau persisnya versi sang pakar itu) memang belum diinginkan, sebaiknya Kemenag RI menjelaskan dan dimintakan sang pakarnya ini untuk menghentikan mengkritisi KHGT secara sinis dan tendensi, terlebih sampai menyematkan dosa. Saya pribadi tidak habis pikir, seorang pakar (profesor riset) yang kerap dipercaya dan mewakili Kemenag RI mengkritisi sebuah keputusan ijtihad sampai pada aspek dosa. Padahal praktis bentuk dan implementasi RJ 2017 yang digadang-gadang sebagai konsep dan bentuk kalender global yang paling ideal itu hingga kini belum ada contoh atau prototipenya, saya sudah ‘menggugat’ sang pakar terkait hal ini, yang sampai tulisan ini dimuat tidak ada sama sekali tanggapan dari yang bersangkutan, silahkan baca: https://oif.umsu.ac.id/2025/02/menyoal-khgt-3-mana-wujud-konkret-kalender-rj-2017/). Akan lebih fair perdebatan dan komparasi antara KHGT dan RJ 2017 jika sama-sama ada bentuk kalendernya. Jika hanya mengkritisi tanpa ada konsep kalender yang dapat dirujuk dan dikomparasi, maka itu tak lebih sebagai sentimen dan tendensi.

Sikap jelas dan tegas setidaknya telah ditunjukkan Nahdlatul Ulama yang menolak KHGT dengan 33 catatannya. Kejelasan sikap Nahdlatul Ulama ini menjadi titik terang bagi KHGT Muhammadiyah untuk memposisikan Nahdlatul Ulama dalam konteks ini. Saya pribadi mengikuti dan membaca saksama dan dalam waktu lama 33 catatan tersebut, yang konon kabarnya akan ditingkatkan menjadi 99 catatan. Saya menilai 33 catatan itu substantif yang karenanya menjadi masukan penting untuk KHGT, pada waktunya saya akan coba menanggapinya. Tentu saya akan menanggapi secara substantif pula, sama sekali saya tidak tertarik merespons dan menanggapinya secara sindiran-sinis seperti ditunjukkan salah seorang punggawa falak Nahdlatul Ulama itu sendiri di media sosial. Bagi saya mengkritisi dan menolak secara argumentatif akan jauh lebih baik daripada secara sindiran. Karena kita perlu dan berkewajiban meninggalkan diskursus yang elegan kepada generasi yang akan datang. Wallahu a’lam.

Artikel telah diterbitkan oleh OIF UMSU di website oif.umsu.ac.id.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE