Khazanah Islam

Perjanjian Pra-Nikah dalam Pandangan Islam

PWMJATENG.COM – Perkawinan dalam Islam bukan sekadar penyatuan dua insan, melainkan juga ikatan sakral yang dilandasi tanggung jawab spiritual, moral, dan sosial. Namun, dalam dinamika kehidupan modern, muncul fenomena baru yang dikenal sebagai perjanjian pra-nikah atau prenup. Perjanjian ini menjadi topik perbincangan hangat karena dianggap sebagai bentuk antisipasi terhadap kemungkinan permasalahan rumah tangga di masa depan, terutama terkait urusan harta, tanggung jawab, dan hak masing-masing pihak.

Dalam perspektif Islam, prinsip dasar pernikahan adalah mitsaqan ghaliza—perjanjian yang agung. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Swt. pada Surah An-Nisa ayat 21:

وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisa: 21)

Ayat ini menggambarkan betapa seriusnya pernikahan dalam pandangan Islam. Pernikahan bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga amanah yang bernilai ibadah. Dalam konteks ini, setiap kesepakatan yang dilakukan sebelum akad nikah harus tetap berpijak pada prinsip keadilan dan tidak bertentangan dengan hukum syariat.

Perjanjian pra-nikah dapat dipahami sebagai bentuk kesepakatan yang dibuat calon suami dan istri untuk mengatur hal-hal tertentu sebelum melangsungkan akad. Misalnya, tentang pengelolaan harta, tanggung jawab ekonomi, atau hak dan kewajiban dalam keluarga. Dalam hukum Islam, kesepakatan semacam ini dikenal dengan istilah syuruth fi an-nikah (syarat dalam pernikahan). Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ

“Syarat yang paling berhak untuk kamu penuhi adalah syarat yang menghalalkan kemaluan bagi kamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa Islam memberikan ruang bagi pasangan untuk membuat syarat atau kesepakatan selama tidak bertentangan dengan hukum Allah. Artinya, perjanjian pra-nikah diperbolehkan selama tidak meniadakan hak atau kewajiban yang sudah ditetapkan syariat.

Baca juga, Aplikasi Al-Qur’an Muhammadiyah (Qur’anMu)

Contohnya, jika seorang istri mengajukan syarat agar suami tidak menikah lagi tanpa izin, atau agar istri tetap diizinkan bekerja setelah menikah, maka syarat itu boleh diterapkan selama tidak bertentangan dengan prinsip Islam dan disepakati oleh kedua pihak. Hal ini sejalan dengan kaidah fikih:

الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً

“Kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.” (HR. Tirmidzi)

Kaidah tersebut menjadi dasar bahwa Islam menghormati perjanjian, selama isi perjanjian itu tidak melanggar batas syariat. Oleh karena itu, perjanjian pra-nikah bisa menjadi sarana untuk memperkuat komitmen dan tanggung jawab dalam rumah tangga.

Namun demikian, para ulama juga mengingatkan agar perjanjian pra-nikah tidak dijadikan alat untuk menumbuhkan kecurigaan atau ketidakpercayaan di antara pasangan. Sebab, pernikahan sejatinya dibangun di atas dasar kasih sayang (mawaddah wa rahmah) sebagaimana firman Allah Swt. dalam Surah Ar-Rum ayat 21:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21)

Dengan demikian, esensi perjanjian pra-nikah dalam Islam bukan untuk membatasi cinta, tetapi untuk menjaga keadilan, melindungi hak, dan memastikan kesalingan tanggung jawab. Dalam konteks masyarakat modern yang kompleks, keberadaan perjanjian ini bisa menjadi solusi preventif terhadap potensi konflik, selama dibuat dengan niat tulus dan sesuai tuntunan syariat.

Islam tidak menolak kemajuan, tetapi menegaskan bahwa setiap bentuk inovasi hukum harus tetap berpijak pada nilai-nilai ilahiah. Perjanjian pra-nikah, jika diletakkan dalam bingkai ta’awun (tolong-menolong) dan maslahah (kemaslahatan), justru mencerminkan kedewasaan dalam beragama dan berumah tangga.

Pada akhirnya, perjanjian pra-nikah bukan sekadar dokumen hukum, melainkan cerminan niat suci untuk membangun keluarga yang adil, harmonis, dan diridhai Allah Swt.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE