Pendidikan di Era AI: Apakah Guru Akan Digantikan Mesin?

PWMJATENG.COM – Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah merevolusi berbagai sektor kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Kemunculan mesin-mesin cerdas seperti ChatGPT, platform pembelajaran berbasis algoritma, serta asisten virtual interaktif, menimbulkan pertanyaan krusial: apakah di masa depan peran guru akan digantikan oleh mesin?
Pertanyaan ini tidak sekadar mengada-ada. Di beberapa negara maju, sistem pembelajaran adaptif yang didukung AI telah digunakan secara luas. Aplikasi seperti Khan Academy, Duolingo, atau bahkan robot guru di Jepang dan Korea Selatan menjadi bukti bahwa mesin telah merambah ranah pengajaran. AI dapat memberikan materi pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa, menilai kemampuan secara real time, bahkan menawarkan umpan balik instan yang akurat.
Namun, benarkah AI bisa menggantikan sepenuhnya peran guru manusia? Untuk menjawabnya, kita harus memahami esensi pendidikan sebagai proses yang tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai, membentuk karakter, dan membangun relasi kemanusiaan.
AI Mempermudah, Bukan Menggantikan
Kecerdasan buatan memang unggul dalam hal kecepatan analisis data, pemrosesan informasi, dan efisiensi penyampaian materi. Guru dapat terbantu oleh teknologi dalam mengelola administrasi kelas, menyusun kurikulum personalisasi, serta mendeteksi kesulitan belajar siswa sejak dini. Dengan demikian, waktu guru bisa lebih fokus pada hal-hal yang tidak dapat dilakukan mesin: membangun empati, memberi motivasi, dan menumbuhkan semangat belajar.
Andreas Schleicher, Direktur Pendidikan OECD, pernah menyatakan bahwa “mesin bisa memberikan jawaban, tapi hanya guru yang mampu menumbuhkan pertanyaan”. Ungkapan ini menegaskan bahwa peran guru dalam memfasilitasi nalar kritis, berpikir reflektif, dan mendorong dialog tak bisa digantikan sistem algoritma mana pun.
Selain itu, AI tidak memiliki dimensi afeksi. Ia tidak memahami konteks sosial, budaya, atau psikologis peserta didik secara mendalam. AI bekerja berdasarkan data masa lalu dan pola, bukan intuisi atau kasih sayang. Sementara itu, proses belajar tidak selalu rasional—kadang emosional, penuh dinamika, dan sangat manusiawi.
Guru Sebagai Fasilitator dan Motivator
Alih-alih tergantikan, peran guru justru mengalami transformasi di era AI. Guru bukan lagi satu-satunya sumber ilmu pengetahuan, melainkan menjadi fasilitator, mentor, dan pendamping dalam proses belajar. Guru harus mampu membimbing siswa menavigasi lautan informasi, memilah yang valid dari yang sesat, dan mengolahnya menjadi pengetahuan bermakna.
Baca juga, Berita Resmi Muhammadiyah Nomor 05/2022-2027/Zulkaidah 1446 H/Mei 2025 M
Guru juga memiliki peran krusial dalam membangun literasi digital, etika teknologi, serta kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Di sinilah letak nilai tambah guru manusia yang tidak bisa digantikan oleh mesin: menginspirasi dan membentuk kepribadian.
Menurut laporan World Economic Forum 2023, keterampilan abad ke-21 yang dibutuhkan siswa masa depan adalah kemampuan kolaborasi, komunikasi, empati, serta pengambilan keputusan yang etis. Semua ini hanya dapat ditumbuhkan melalui interaksi antarmanusia, bukan interaksi antara siswa dan layar digital semata.
Pendidikan Masa Depan: Kolaborasi Manusia dan Mesin
Pendidikan masa depan idealnya bukanlah pertarungan antara manusia dan mesin, tetapi kerja sama antara keduanya. Guru dan AI dapat saling melengkapi: mesin membantu efisiensi, manusia menjaga nilai-nilai kemanusiaan. AI dapat digunakan untuk pengajaran teknis dan evaluasi berbasis data, sementara guru fokus pada interaksi sosial, konseling, dan pembinaan karakter.
Agar kolaborasi ini berhasil, para pendidik perlu dibekali literasi teknologi yang memadai. Kurikulum pendidikan guru juga harus diperbarui, tidak hanya berfokus pada metodologi pengajaran konvensional, tetapi juga pada pemanfaatan teknologi secara kreatif dan kritis. Sekolah dan pemerintah perlu menyediakan pelatihan yang berkelanjutan agar guru tidak tertinggal oleh zaman.
Lebih dari itu, pendidikan harus tetap berlandaskan pada prinsip kemanusiaan. Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai Pancasila, gotong royong, dan budi pekerti luhur menjadi fondasi pendidikan yang tidak boleh tergerus oleh arus digitalisasi.
Kesimpulan: Guru Tetap Dibutuhkan
Kecerdasan buatan memang menghadirkan tantangan, namun juga membuka peluang besar dalam dunia pendidikan. AI bukan ancaman, melainkan alat bantu yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran jika digunakan secara bijak.
Guru tetap dibutuhkan, bahkan lebih dari sebelumnya. Bukan sebagai penyampai materi semata, tetapi sebagai penuntun kehidupan. Sehebat apa pun mesin, ia tetaplah benda mati. Sementara guru adalah insan yang hidup, yang mampu menginspirasi dan membentuk masa depan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Peran guru sebagai teladan, penggerak, dan pendamping akan selalu relevan, bahkan di tengah gelombang revolusi teknologi.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha