Pandangan Muhammadiyah terhadap Qunut Subuh dan Sujud Sahwi: Edukasi Fikih dalam Praktik Salat Jamaah Lintas Mazhab

PWMJATENG.COM, Surakarta – Dalam forum kajian yang berlangsung di lingkungan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Isman, mengangkat sebuah isu fikih yang kerap dihadapi umat Islam dalam praktik salat berjamaah. Isu itu berkisar pada kebingungan makmum Muhammadiyah ketika mengikuti imam dari mazhab lain yang membaca qunut dalam salat Subuh, lalu sujud sahwi karena lupa melakukannya.
“Ini persoalan yang sangat mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari,” ungkap Isman, yang juga menjabat sebagai Kaprodi Program Studi Magister Hukum Ekonomi Syariah UMS.
Ia menjelaskan, dari satu kejadian tersebut, muncul tiga pertanyaan krusial: Apakah makmum Muhammadiyah harus mengaminkan qunut dan mengangkat tangan? Apakah makmum wajib ikut sujud sahwi bila imam lupa membaca qunut? Dan, apakah salat makmum batal jika ia tidak ikut sujud sahwi bersama imam?
Sebelum menjawab secara detail, Isman menjelaskan prinsip umum dalam penyusunan fatwa tarjih Muhammadiyah. Menurutnya, proses tarjih mengutamakan rujukan pada sumber-sumber primer, yakni Al-Qur’an dan hadis, sebelum ditopang dengan kaidah fikih, ushul fikih, serta pendekatan kontekstual.
“Fatwa tarjih tidak bersandar pada pendapat dari media online yang tidak terverifikasi. Kami hanya menggunakan literatur tercetak yang otoritatif,” tegas Isman.
Ia menambahkan bahwa dalam perspektif tarjih Muhammadiyah, posisi mazhab bukan sebagai pendapat final (qauli), melainkan sebagai manhaj atau metodologi dalam pengambilan hukum.
Menjawab pertanyaan pertama, Isman menyebutkan bahwa makmum dari kalangan Muhammadiyah yang bermakmum pada imam yang membaca qunut tidak dituntunkan untuk mengaminkan atau mengangkat tangan. Ia mengacu pada Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Juz I halaman 378 yang menyatakan bahwa qunut Subuh belum memiliki landasan syar’i yang kuat untuk diamalkan.
“Maka dalam posisi iktidal, makmum cukup berdiri tegak dengan tangan lurus ke bawah, tanpa perlu ikut mengaminkan doa qunut,” jelasnya.
Sikap ini mencerminkan prinsip kehati-hatian (iḥtiyāṭ) dalam beribadah dan menunjukkan konsistensi Muhammadiyah dalam menjaga kemurnian tuntunan Rasulullah ﷺ.
Baca juga, Memberikan Makanan Bergizi bagi Anak, Wajibkah?
Terkait pertanyaan kedua mengenai sujud sahwi, Isman menjelaskan bahwa dalam pandangan tarjih, qunut Subuh bukanlah bagian dari rukun atau wajib salat. Maka, jika imam melakukan sujud sahwi karena lupa membaca qunut, makmum tidak wajib ikut serta.
“Makmum tetap sah salatnya meski tidak ikut sujud sahwi. Karena sujud sahwi ini dilakukan atas hal yang tidak dianggap sebagai kekurangan dalam pandangan tarjih,” katanya.

Meski demikian, Isman mengingatkan bahwa makmum tidak boleh mendahului imam dalam salam. Ia harus tetap menunggu hingga imam selesai dari sujud sahwi dan bersama-sama mengakhiri salat. Hal ini mengacu pada prinsip menjaga kesatuan gerakan dalam berjamaah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ:
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ
“Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam konteks ini, makmum cukup mengikuti rukun-rukun utama yang dilakukan imam, seperti rukuk, sujud, dan tahiyat. Namun, untuk hal-hal di luar itu, seperti sujud sahwi karena perbedaan ijtihad, tidak wajib diikuti. Termasuk pula gerakan yang bukan bagian dari ibadah seperti membetulkan kopiah atau batuk saat salat.
Isman juga menyampaikan bahwa memahami batasan kepatuhan terhadap imam sangat penting dalam salat lintas mazhab. Dalam hal yang bersifat furu’iyah (cabang), umat Islam diajarkan untuk tetap menjaga toleransi, tanpa harus mengorbankan prinsip dasar mazhab yang dianut.
Kajian ini, menurut Isman, sekaligus menjadi bentuk edukasi fikih lintas mazhab yang cerdas dan mencerahkan. Ia berharap warga Muhammadiyah serta civitas akademika UMS dapat memahami perbedaan-perbedaan ini secara arif dan ilmiah.
“Kita tidak sedang menegasikan amaliah umat Islam lainnya, tetapi ingin menunjukkan bahwa pilihan tarjih didasarkan pada argumentasi ilmiah dan komitmen keilmuan yang kuat,” pungkasnya.
Narasi yang disampaikan Isman mencerminkan semangat tarjih Muhammadiyah dalam menjawab persoalan fikih secara sistematis, hati-hati, dan tetap terbuka pada keragaman pendapat dalam Islam. Pendekatan ini sangat relevan dalam konteks masyarakat majemuk dan dinamis seperti Indonesia saat ini, di mana praktik salat berjamaah sering kali mempertemukan umat dari berbagai latar belakang mazhab.
Kontributor : Yusuf
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha