Pandangan Muhammadiyah tentang Hadis: Konsep, Kehujjahan, dan Akar Pemikiran (2)
Pandangan Muhammadiyah tentang Hadis: Konsep, Kehujjahan, dan Akar Pemikiran
Oleh : Dr. Kasman Abdul Rohim, M.Fil.I. (Wakil Ketua PDM Jember, Dosen FUAH IAIN Jember)
Konsep Hadits dan Sunnah (Bagian 2)
Rumusan-rumusan yang menjelaskan paham agama dan ideologi Muhammadiyah (sudah di bahas sebelumnya) mengandung pengertian bahwa segala hal yang berasal dari Nabi Muhammad Saw. dipandang oleh sebagai sunnah yang harus diteladani. Ini berarti bahwa yang dimaksud dengan sunnah adalah sunnah dalam pengertian muhadditsin, yang tidak mengecualikan sifat-sifat Nabi Saw. dari kategori sunnah.
Diskursus mengenai ‘sunnah’ sering bersinggungan pula dengan persoalan hadis mawguf. Hadits mawquf ialah hadist yang disandarkan kepada shahabah, baik berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan mereka. Adanya persinggungan ini disebabkan karena term ‘sunnah’ terkadang juga digunakan dalam arti segala yang dilakukan oleh para shahabah. Selain itu, terdapat perkataan, perbuatan atau persetujuan shahabah yang memiliki status ke-marfû’-an (disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.). Dalam istilah ahli hadis, hal ini disebut dengan al-mawqûf bi hukm al-marfû’. Dengan demikian, terdapat dua macam hadits mawqûf, yaitu al- mawqûf bi hukm al-marfû’ dan al-mawqûf laysa bi hukm al- marfû’.
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama bahwa al- hadits al-mawqûf bi hukm al-marfû’ berfungsi sama dengan hadits marfû’ (hadis yang disandarkan kepada Nabi Saw.). Artinya, al-hadits al-mawqûf bi hukm al-marfü’ dapat dijadikan sebagai hujjah. Perbedaan-perbedaan di kalangan ulama terjadi dalam hal-hal yang menyangkut persoalan indikasi-indikasi (qarînah) yang menyebabkan hadits mawqûf dihukumi marfû’. Menurut jumhûr ulama, beberapa ucapan shahabah yang mengandung indikasi ke- marfû’-an ialah:
a. Umirna bi kadha, nuhîna ‘an kadha, umira fulân bi kadhá, újiba ‘alayna kadha, hudhira aw hurrima alayna kadhi atau ubiha aw ruhhisha lana fi kadha.
b. Kunna naf al kadha, yang di-idlafah-kan pada masa Nabi Saw..
c. Kunna là nara ba’san bi kadha
d. Min al-sunnah kadha
e. P’ernyataan seorang tabi’î dari shahabi: ‘yarfa’uh,” ‘marfu’an,’ ‘yusniduhu,’ ‘yablughu bih, ‘yanmihi,’ ‘yarwihi,’ ‘rawahu,’ ‘riwayatan’ atau ‘qala: qâla’ tanpa menyebutkan Nabi Saw.
f. Pernyataan-pernyataan shahabah mengenai sesuatu yang bukan termasuk bidang ijtihad, atau yang berhubungan dengan makna bahasa atau penjelasan kata yang asing (gharib), dengan syarat tidak termasuk isra’îliyat.
g. Penjelasan shahâbah tentang asbab nuzûl al-âyât (sebab- sebab turunnya ayat).
Baca juga, Pandangan Muhammadiyah tentang Hadis: Konsep, Kehujjahan, dan Akar Pemikiran
Mengenai al-hadits al-mawqûf laysa bi hukm al-marfû’, kehujjahannya tergantung pada keadaan hadits mawqûf tersebut. Menurut Abú Hazim Katib, ada sepuluh keadaan hadis mawqûf. Dari sepuluh keadaan ini, sembilan di antaranya telah disepakati atau setidaknya dalam pandangan mayoritas ulama (jumhûr al-ulama) atas kehujjahan atau tidaknya, sedang yang satu masih diperselisihkan. Kesembilan keadaan hadits mawqûf tersebut sebagai berikut.
a. Pendapat shahabah yang dihukumi kehujjahannya sama dengan hadis marfû’.
b. Pendapat seorang shahabah disepakati tidak menjadi hujjah bagi shahâbah lainnya.
C. Pendapat seorang shahabah yang bersesuaian dengan shahabah-shahabahlainnyam merupakan ijma, dan hal itu telah disepakati sebagai hujjah.
d. Pendapat seorang shahabah yang telah tersebar di kalangan shahabah dan tidak ditemukan seorangpun dari shahâbah yang berpendapat lain, menurut jumhur al-ulama’, merupakan ijmä sukûtî dan menjadi hujjah.
e. Pendapat seorang shahâbalı yang bersesuaian dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an, al-sunnah atau ijma’, telah disepakati menjadi hujjah. Dalam konteks ini, sebenarnya bukan berhujjah pada pendapat shahabah itu, tetapi pada dalil yang bersesuaian itu.
f. Pendapat seorang shahâbah yang bertentangan dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an, al-sunnah atau ijma’, menurut sebagian besar ulama, tidak dapat dijadikan hujjah.
g. Pendapat seorang shahâbah mengenai selain persoalan- persoalan yang bersifat taklifi telah disepakati bukan merupakan hujjah.
h. Pendapat seorang shahâbah yang bertentangan dengan perkataan atau perbuatan shahâbah lainnya telah disepakati tidak menjadi hujjah.
i. Pendapat seorang shahâbah yang telah ditarik kembali oleh shahâbah tersebut telah disepakati tidak dapat dijadikan hujjah, seperti penarikan Ibn ‘Abbas R.a. terhadap pendapatnya yang membolehkan ribâ fadll dan nikâh muťah, karena hal itu dinilainya sebagai hukum yang di-naskh.
Sedangkan hadis mawqûf yang menjadi lahan perdebatan adalah mengenai pendapat seorang shahâbah dalam persoalan-persoalan ijtihadî-taklifi, yang tidak bertentangan dengan nashsh (Al-Qur’an dan al-sunnah) atau íjma, tidak ada dalil nash dan ijma yang menyinggungnya, tidak tersebar di kalangan shahabah, tidak ditemukan seorangpun shahabah yang berbeda pandangan dan sekaligus juga tidak ditemukan shahâbah yang mendukung pandangannya. Dalam konteks ini, ada dua pendapat yang dominan: sebagian menerima kehujjahan pendapat shahabah seperti itu, dan sebagian yang lain menolaknya. Wallahu a’lam.
Editor : M Taufiq Ulinuha