Pandangan Muhammadiyah tentang Hadis: Konsep, Kehujjahan, dan Akar Pemikiran
Pandangan Muhammadiyah tentang Hadis: Konsep, Kehujjahan, dan Akar Pemikiran
Oleh : Dr. Kasman Abdul Rohim, M.Fil.I. (Wakil Ketua PDM Jember, Dosen FUAH IAIN Jember)
Konsep Hadis dan Sunnah
Dalam lingkungan Muhammadiyah, penggunaan kata “al-sunnah” lebih disukai dibandingkan dengan kata “hadis”. Sumber-sumber resmi Muhammadiyah sering menggunakan kata “al-sunnah,” meskipun dalam beberapa tulisan orang Muhammadiyah juga ditemukan penggunaan kata “hadis”. Dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah poin ke-3 disebutkan bahwa Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan Al-Qur’an, kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw., dan Sunnah Rasul, yang merupakan penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur’an oleh Nabi Muhammad Saw., dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Dalam buku Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, saat mendefinisikan agama Islam, juga menggunakan kata sunnah: “agama, yakni agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw., adalah apa yang diturunkan Allah di dalam Al-Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah yang sahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.”
Oleh sebab itu, dalam uraian berikut ini akan ditinjau dulu tentang konsep al-sunnah untuk membuka pemikiran Muhammadiyah dalam masalah ini.
Pengertian “Al-Sunnah”
Kata “al-sunnah” secara bahasa berarti “tingkah laku atau jalan yang dibiasakan, baik itu tingkah laku yang baik maupun buruk.” Muhammad Musthafa Al-A’dhami, dalam bukunya Dirasat fi Al-Hadist Al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, menyebutkan bahwa arti dasar “al-sunnah” adalah “thariqah” (jalan) dan juga kebiasaan.
Secara istilah, terdapat perbedaan dalam memberikan pengertian terhadap kata “al-sunnah” antara para muhadditsîn, ushulîyîn, dan fuqaha’, sesuai dengan sudut pandang mereka. Kebanyakan ulama hadis (muhadditsûn) tidak membedakan antara sunnah dan hadis, sementara fuqaha’ memberikan pengertian bahwa sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah Saw., baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat-sifat fisik dan moral, maupun perilaku, baik sebelum maupun sesudah kenabian. Sementara ushuliyûn menyatakan bahwa sunnah adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan Nabi Saw. yang patut dijadikan sebagai dalil bagi hukum syariat, sedangkan hadis hanya menyangkut sunnah qawliyah saja. Sedangkan fuqaha’ mengartikan al-sunnah sebagai segala ketetapan Nabi SAW yang tidak termasuk hal yang diwajibkan.
Baca juga, Bulan Muharram 1446 H Dimulai pada Ahad, 7 Juli 2024: Berikut Sejarah dan Keunggulannya!
Perbedaan ini, menurut Al-Siba’î, berpangkal pada perbedaan persepsi di mana muhadditsûn melihat Rasulullah Saw. sebagai seorang pembawa petunjuk (al-hadi); ushuliyûn melihatnya sebagai seorang pembawa syariat, sehingga tidak menganggap sifat-sifat Nabi Saw. sebagai sunnah; sedangkan fuqaha’ melihat hal yang berasal dari Rasul membawa konsekuensi hukum syar’i bagi umat manusia.
Konsep Sunnah dalam Manhaj Muhammadiyah
Dalam konteks manhaj Muhammadiyah, maksud dari “sunnah” dapat ditelusuri dalam dokumen-dokumen resmi yang menjelaskan faham agama atau ideologi Muhammadiyah, seperti Muqaddimah Anggaran Dasar (yang diresmikan pada tahun 1950), Kepribadian Muhammadiyah (yang diputuskan pada tahun 1962), dan Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (yang diputuskan pada tahun 1969). Dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah ditegaskan bahwa sifat-sifat para Nabi patut diteladani dalam rangka mencapai masyarakat yang bahagia.
Dalam Kepribadian Muhammadiyah, rumusan ini mengandung pokok pikiran keharusan untuk ittiba kepada langkah dan perjuangan Nabi Saw. dalam segala gerak dan amal usahanya. Selanjutnya, dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah disebutkan “Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia.” Wallahu a’lam. Bersambung.
Editor : M Taufiq Ulinuha