Obrolan Warga di Gardu RT tentang Banjir Kayu Glondongan dan Refleksi Pengelolaan Alam

PWMJATENG.COM, Solo — Seusai mengambil jimpitan malam itu, beberapa warga tampak berkumpul di gardu RT. Secangkir kopi dan kepulan asap rokok menemani obrolan hangat di tengah dingin malam. Dari sebuah lagu Ebiet yang diputar dari ponsel, percakapan warga perlahan mengalir menjadi refleksi tentang musibah banjir kayu glondongan yang belakangan banyak dibicarakan.
Pak RT yang kebetulan melintas ikut bergabung. Ia membuka percakapan dengan keprihatinan atas banyaknya korban dan kerusakan di beberapa daerah.
“Banjir kayu glondongan ini menyulitkan evakuasi. Beda dengan banjir bandang biasa, kayu-kayu besar itu tertahan dan membuat proses penyelamatan makin berat,” ujarnya.
Seorang sesepuh RT menambahkan bahwa penanganan bencana akan lebih cepat jika status kebencanaan diperjelas oleh pemerintah daerah maupun pusat.
Seorang bapak yang sejak tadi merokok pelan ikut mengungkapkan pendapatnya. Menurutnya, bencana ini mengingatkan masyarakat bahwa ada hal-hal yang harus dievaluasi dalam pengelolaan alam.
“Segala macam program konservasi pasti ada. Tapi kayu-kayu glondongan itu sudah cukup menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan baik. Mungkin ini saatnya kita jujur pada diri sendiri,” ujarnya.
Warga lain yang dikenal tegas juga menimpali bahwa alam akan selalu memberi respons atas perlakuan manusia—baik maupun buruk. Baginya, musibah adalah pengingat untuk memperbaiki cara pandang terhadap lingkungan.
Seorang mahasiswa yang sedang pulang kampung turut menyampaikan sudut pandangnya. Ia menilai perlunya transparansi, evaluasi, dan penanganan bencana yang cepat.
“Di era media sosial, masyarakat bisa melihat semuanya secara langsung. Evaluasi dan kecepatan penanganan jauh lebih penting daripada retorika,” katanya.
Pak Kaum, yang sejak awal diam, akhirnya berbicara. Ia mengajak warga untuk menjadikan bencana sebagai pengingat spiritual.
“Bencana ini juga teguran bagi kita. Keserakahan manusia sering membuat orang lain ikut menjadi korban. Perbanyak istigfar dan perbaiki niat,” ucapnya.
Percakapan warga terus berlanjut hingga malam semakin larut. Ketika rintik hujan mulai memukul atap gardu, warga perlahan pamit. Ada kesadaran kolektif bahwa menjaga alam merupakan bagian dari menjaga masa depan anak-anak mereka.
Wallahu a‘lam.
Kontributor: rudyspramz, MPI
Editor: Al-Afasy



