Kolom

Obrolan di Gardu RT tentang Banjir Kayu Glondongan yang Membatalkan Banyak Kebenaran

Oleh: rudyspramz, MPI

PWMJATENG.COM, Selepas mengambil jimpitan malam itu, beberapa warga masih bertahan di gardu RT. Kopi hitam, kepulan asap rokok, dan sarung yang disampirkan seadanya menjadi penghangat malam yang lembap. Dari sebuah ponsel terdengar lirih lagu Ebiet G. Ade: “Mungkin Tuhan telah bosan melihat tingkah kita…”—seolah menjadi pembuka percakapan yang tidak direncanakan.

Obrolan mengalir lugas, tanpa retorika, khas warga yang bicara apa adanya.

Pak RT yang kebetulan melintas ikut duduk dan membuka suara,
“Korban semakin banyak ya. Ini banjir kayu glondongan yang bikin kerusakan di mana-mana. Kalau sekadar air meluap, air akan surut kembali. Tapi ini tidak. Lumpur dan kayu besar tertahan, evakuasi jadi jauh lebih sulit.”

Sesepuh RT yang duduk di pojok menimpali pelan,
“Repotnya lagi, beban korban dan pemerintah daerah makin berat karena tidak ditetapkan sebagai bencana nasional.”

Seorang bapak yang sejak tadi asyik melinting rokok ikut menyela,
“Pengetahuan, aturan, dan program konservasi mungkin ada. Tapi kayu-kayu glondongan itu bukti nyata: ada yang salah, ada yang gagal, dan mungkin ada yang tidak jujur.”

Ia menghembuskan asap perlahan.
“Berbagai argumentasi dan pembenaran bisa disusun, tapi semua runtuh ketika berhadapan dengan korban jiwa.”

Seorang bapak lain menghela napas panjang,
“Mungkin sudah saatnya kita jujur. Ada yang keliru dalam cara kita mengelola alam. Apakah musibah sebesar ini belum cukup menyadarkan kita?”

Seorang warga yang dikenal keras bicara mendadak angkat suara,
“Jangan main-main dengan alam, karunia Allah. Alam memang diam, tapi ia adil. Ia memberi berkah luar biasa, tapi juga memberi peringatan keras bila diperlakukan semena-mena.”

Obrolan semakin menghangat ketika muncul pertanyaan tentang penetapan status bencana nasional.
“Ada apa sebenarnya sampai hal itu ditolak?” tanyanya.

Seorang mahasiswa yang sedang pulang kampung menjawab spontan,
“Kalau dibuka sebagai bencana nasional, terlalu banyak yang bisa terbongkar. Dunia luar ikut melihat. Dugaan praktik-praktik tak transparan bisa tersorot. Itu yang ditakuti.”

Ia melanjutkan,
“Di situlah konflik kepentingan terlihat. Keselamatan diri lebih diutamakan daripada pidato-pidato heroik soal rakyat dan negara.”

Warga lain menimpali,
“Kita sering melihat aksi simbolik: bagi beras, pakai rompi, pidato di mana-mana. Tapi media sosial sekarang tak bisa dibohongi. Publik justru bertanya: mana evaluasi, mana percepatan penanganan darurat?”

Pak Kaum yang sejak tadi diam akhirnya berbicara lirih namun tajam,
“Kaum beragama pun sesungguhnya sedang diingatkan. Ketika agama dijadikan pembenaran untuk keserakahan—konsesi, eksploitasi, dan uang—yang terjadi bukan berkah, tapi banjir dan keruntuhan moral. Perbanyak istigfar. Keserakahan manusia mencelakakan mereka yang tak tahu apa-apa.”

Obrolan itu berakhir ketika rintik hujan mulai memukul atap gardu. Seolah alam sendiri memberi isyarat: sudah cukup untuk malam ini. Kami pun pulang, membawa satu kesadaran bersama—bahwa menjaga alam bukan pilihan, melainkan kewajiban demi masa depan anak-anak kita.

Wallahu a’lam.

Editor: Al-Afasy

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE