NU dan Muhammadiyah: Aksentuasi Pemikiran dan Gerakan Amal yang Berbeda, Namun Saling Melengkapi

NU dan Muhammadiyah: Aksentuasi Pemikiran dan Gerakan Amal yang Berbeda, Namun Saling Melengkapi
Oleh: Rudi Pramono, S.E. (Ketua MPI PDM Wonosobo)
PWMJATENG.COMΒ βΒ Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, memiliki kesamaan dalam membangun amal usaha di berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, sosial, dan ekonomi. Namun, perbedaan latar belakang sejarah, paham keagamaan, dan pendekatan ideologis menjadi aksentuasi masing-masing gerakan.
NU dikenal melalui jargon βIslam Nusantaraβ, yang menekankan pentingnya pelestarian tradisi amaliah Islam (turats). Bagi NU, warisan keilmuan klasik merupakan bagian penting dalam menjaga nilai-nilai kearifan lokal dan membentengi peradaban modern dengan adab, etika, dan moralitas keagamaan.
Pemahaman NU dibangun dari kerangka masa lalu yang tetap relevan untuk masa depan. Amaliah keagamaannya pun lebih menonjol dalam bentuk dzikir, perayaan tradisi Islam, dan pelestarian budaya.
Sebaliknya, Muhammadiyah mengusung semangat βIslam Berkemajuanβ, yang berpijak pada Al-Qurβan, As-Sunnah, serta pendekatan keilmuan Islam yang dinamis dan rasional. Gerakan ini dibentuk oleh kritik terhadap praktik keagamaan yang stagnan di masa lalu, termasuk tradisionalisme dan salafisme, sekaligus membuka diri terhadap modernisme dan pemikiran global.
Muhammadiyah bersikap inklusif dan wasathiyah (moderat), serta terbuka terhadap pemikiran dunia, baik yang bercorak keagamaan seperti fundamentalisme, sekularisme, hingga liberalisme; maupun sosial-politik seperti sosialisme dan kapitalisme. Sikap inilah yang menjadi fondasi bagi gerakan tajdid (pembaruan), yang diwujudkan dalam berbagai sektor kehidupan: dakwah, pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Baca juga, Ketika Amal Jadi Konten: Apakah Riya Bisa Tervalidasi secara Digital?
Perbedaan orientasi sejarah dan nilai ini sejatinya membuat NU dan Muhammadiyah bisa saling melengkapi. NU dengan kekayaan khazanah keilmuan klasiknya menjadi rujukan penting dalam spiritualitas Islam, sementara Muhammadiyah dengan pendekatan keilmuan modern mendorong inovasi sosial yang berkemajuan.
Efek dari perbedaan mindset gerakan juga tampak pada pola pengembangan amal usaha. NU memiliki basis massa yang luas dan tumbuh kuat melalui pendidikan dasar berbasis pesantren. Namun, dalam pengelolaan perguruan tinggi dan rumah sakit, NU masih belum menonjol. Dalam menjalankan usaha sosial-ekonomi, NU cenderung membutuhkan kolaborasi dengan pemerintah atau pihak eksternal, termasuk yang non-Muslim, yang dapat menimbulkan efek positif maupun negatif.
Sebaliknya, Muhammadiyah memiliki tingkat kemandirian yang lebih tinggi dalam membangun amal usaha. Gerakan ini didukung oleh semangat gotong-royong warga dan tradisi organisasi yang memastikan bahwa amal usaha menjadi milik kolektif, bukan perorangan. Konsep ini mendorong warga untuk membangun sekolah, klinik, dan fasilitas publik lainnya secara mandiri. Muhammadiyah memandang refleksi keagamaan sebagai amal shaleh yang harus dilembagakan.
Berbeda dengan NU yang cenderung menyalurkan ekspresi keagamaannya melalui dzikir dan budaya Islami, Muhammadiyah menyalurkan penghayatan agama melalui penguatan kelembagaan amal sosial.
Keduanya memiliki keunggulan yang berbeda. NU lebih menekankan pada spiritualitas keagamaan berbasis tradisi, sementara Muhammadiyah menekankan pada transformasi amal shaleh yang progresif. Meski berbeda jalur, keduanya memiliki tujuan yang sama: membangun peradaban umat menuju masyarakat yang sejahtera dan religius. Wallahu aβlam.
Ass Editor : Ahmad; Editor :Β M Taufiq Ulinuha