Ngaji Ke Kyai Dahlan 4
Tiba saatnya kita memperbincangkan bagaimana Kyai Dahlan memberikan lompatan pada penyelenggaraan Rukun Islam kelima yakni Haji di Indonesia. Era sebelum Kyai Dahlan, berangkat haji dilakukan sendiri-sendiri tanpa ada yang mengkoordinir. Tiap orang yang telah punya bekal tinggal ikut kapal yang memang hampir tiap bulan ada yang berlabuh untuk menuju ke Jazirah Arab bahkan hingga Eropa, karena nusantara adalah lintasan jalur sutera laut. Baru ketika dermaga Cirebon dibuka oleh Belanda, Kyai Dahlan mengkoordinir jamaah yang mau menunaikan Haji. Dibenahi syariatnya seperti sunnah adanya amir dan sunnah adanya muhrim bagi muslimah.
Ini tentu menjadi gebrakan tersendiri. Disinilah nampak bahwa Kyai Dahlan hadir sebagai organisatoris sekaligus ulama yang handal. Tidak mudah merubah budaya. Merubah budaya adalah dengan prasyarat menghadirkan tawaran budaya baru yang lebih baik. Menghapus budaya tanpa memberikan alternatif betapapun tidak sepakatnya kita dengan budaya tersebut bukanlah sikap perbaikan melainkan sikap “abudaya”, sikap anti budaya. Budaya bagaimanapun adalah kristalisasi sikap masyarakat saat itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya, maka tugas aktivis Islam adalah menawarkan budaya-budaya baru yang relevan sekaligus menyempurnakan syariat.
Selang satu abad, apa yang terjadi dengan budaya pemberangkatan haji di Indonesia saat ini. Dimana satu abad yang lalu masih berangkat sendiri-sendiri, kini kita saksikan mana ada ormas Islam yang tidak mendirikan KBIH?! Demikianlah ijtihad tadjid Kyai Dahlan kala itu telah melampaui jamannya. Diikuti oleh mayoritas penduduk Muslim Indonesia baik yang mengaku Muhammadiyah maupun bukan.
Baca juga, Ngaji ke Kyai Dahlan 3
Tentu karyanya tidak cuma hal yang pokok (ushul), dalam muamalah ijtihad Kyai Dahlan tak kalah dahsyatnya. Berbagai gebrakan amal Muhammadiyah membikin negeri ini seperti tersengat energi baru. Banyak yang bergembira tetapi juga tidak sedikit yang salah paham. Seperti yang diperlihatkan di film Sang Pencerah ketika Beliau mendirikan madrasah dengan sistem klasikal lengkap dengan papan tulis, bangku dan mejanya. Mirip sekolah Belanda. Betapa itu memunculkan amarah beberapa Kyai, bahkan ada yang mendamprat langsung dengan argumen hadits “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”.
Kyai tersebut dengan argumentasi ringan namun cerdas disadarkan oleh Kyai Dahlan. Kyai tersebut telah keliru meletakkan hadits tersebut. Tiap sesuatu ada batasnya. Dan batasan hadits tersebut adalah dalam hal aqidah. Madrasah adalah produk budaya. Boleh kita meniru budaya kaum kafir sekalipun selama budaya tersebut membuat umat manusia semakin baik. Jadi hukumnya adalah maslahah-mursalah, bukan fardlu-haram. Dan hasilnya kini bisa kita lihat. Muhammadiyah ataupun bukan, semua membuat sekolah dengan system klasikal.
Baca juga, Ngaji ke Kyai Dahlan 2
Masih ditambah tahun 1923 Beliau merintis RS PKO pertama dengan dokter-dokter bule Katholik dari RS Panti Rapih Yogyakarta. Hingga Beliau diledek dengan sebutan “Kristen-Putih”, orang Islam (Putih) kok kerjasama dengan Nasrani. Kyai Dahlan sungguh berani, selama dengan landasan syariat yang kuat. Bahwa ber-muamalah dengan Nasrani bahkan Yahudi adalah boleh. Yang disedihkan Kyai Dahlan kala itu malah bukan hal itu, namun belum adanya Dokter perempuan, sehingga aurat pasien hawa dilihat oleh dokter yang bukan muhrimnya. Sehingga kala itu Beliau berpesan khusus supaya mulai ada anak perempuan yang disekolahkan kedokteran.
Satu abad lebih telah berlalu dari era Kyai Dahlan. Kini hampir semua tajdid syariah dan ijtihad muamalah Beliau telah ditiru oleh semua lapis masyarakat umat Islam Indonesia. Mana ada kini ormas Islam yang tidak mendirikan Sekolah, Rumah Sakit, Kepanduan, Panti Asuhan seperti yang Kyai Dahlan rintis kala itu?! Maka dengan percaya diri Prof. A. Munir Mulkan menyebut Islam Indonesia ya Muhammadiyah. Wallaahu a’lam.