Negara Islam dan Pancasila
Oleh : Dr. H. Rozihan, S.H., M.Ag.*
PWMJATENG.COM – Indonesia sebenarnya bisa dikategorikan negara Islam jika mengacu pada rumusan negara dalam buku At Tasyri’ al Jinail Islam karya Abdul Qadir Audah, yang menyebutkan kriteria negara Islam antara lain dipimpin seorang muslim, undang-undangnya mengacu pada syariat Islam, sebagian besar penduduknya muslim, dan tidak ada halangan untuk melaksanakan ajaran agamanya. Teori fikih itu bisa dipakai sebagai optik untuk melihat apakah Indonesia negara Islam atau sekuler. Untuk kriteria yang kedua tampaknya perlu penjelasan lebih tajam.
Kaum Islam politik berpendapat bahwa model negara dan pemerintahan khas Islam yang wajib diterapkan adalah merujuk pada dalil teks utama surat Al Maidah Ayat 44, yang artinya, “Barang siapa tidak mempergunakan hukum Allah, mereka itulah golongan orang kafir.” Kata terpenting dalam teks itu adalah yahkum. Ini mengungkapkan gagasan terkait dengan masalah ‘’penilaian’’ dan ‘’kearifan’’ dalam bentuk kata kerjanya yang artinya menghakimi.
Tetapi bagaimana dengan menghakimi seperti yang diturunkan Allah? Qomaruddin Khan dalam Siyasah Syar’iyyah al Islamiyyah menjelaskan bahwa
tiap produk undang-undang dan hukum yang substansinya tidak bertentangan dengan apa yang diturunkan Allah, yaitu Al-Quran dan Hadis, maka kepatuhan terhadap ulil amri atau penguasa merupakan prinsip yang sudah final.
Baca juga, Songsong Muhammadiyah Jateng Unggul Berkemajuan, PWM Jateng Gelar Dialog Ideopolitor Gelombang II
Ketika Nabi Muhammad Saw. mengarahkan dakwahnya ke Yatsrib atau Madinah yang secara etimologis berarti tempat peradaban, hal itu mengisyaratkan pada cita-cita kehidupan yang teratur dan berkesopanan. Dakwah tersebut membawa lahirnya perjanjian antara Nabi dan kaum muslim Madinah yang dikenal dengan Bay’ah ‘Aqabah. Pakta persekutuan itu menyepakati kedua belah pihak saling membantu, melindungi dan membela keselamatan, serta kepentingan masing-masing (Haikal, Hayah Muhammad, 172-173). Bay’ah ‘Aqabah tersebut dapat dipandang sebagai cikal bakal lahirnya negara.
Setelah lahir pakta persekutuan yang kedua, Nabi pindah ke Madinah, tepatnya pada 20 September 622 Masehi. Penduduk Madinah dapat diklasifikasikan dalam empat golongan besar: Muhajirin, Anshar, orang Arab Pagan dan orang Yahudi. Komposisi penduduk yang sangat majemuk itu seperti uraian Syed Amir Ali dalam The Spirit of Islam, mudah tersulut konflik.
Relevansi Nilai-nilai
Perbedaan kepentingan yang mencolok di bidang sosial, ekonomi, dan politik cenderung untuk saling memusuhi (Soerjono Soekanto, Sosiologi
Suatu Pengantar, 94) karena tiap golongan punya cara berpikir dan bertindak sesuai dengan filosofi hidupnya. Selain itu, sebagai makhluk sosial dan politik, ada dua sifat yang saling bertentangan, yaitu ingin bekerja sama dengan sesama tapi pada saat bersamaan ingin berkompetisi (Ibn Khaldun, Muqaddimah, 41). Nabi paham benar dengan potensi masyarakat Madinah yang mendasari teori Ibn Khaldun. Masyarakat seperti itu memerlukan kehadiran pemimpin kuat yang dapat mempersatukan.
Langkah pertama yang dilakukan Nabi di Madinah adalah memberikan ketenangan jiwa bagi seluruh penduduk kota itu. Masyarakat yang heterogen itu memerlukan penataan dan pengendalian sosial secara bijak dalam berbagai sektor kehidupan sebagai langkah lanjut membangun persaudaraan sejati tanpa dinodai ikatan primordial. Selain itu menumbuhkan keyakinan bahwa iman itu baru sempurna ketika seseorang dapat mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Persaudaraan yang dibangun oleh Nabi itu kemudian dikenal dengan nama Piagam Madinah yang sangat revolusioner dalam kaitannya dengan terciptanya masyarakat tertib dan damai. Menyandingkan Piagam Madinah dengan Pancasila sungguh merupakan tindakan tidak adil karena Piagam Madinah adalah produk kenabian , sedangkan Pancasila produk manusia. Tetapi nilai-nilai yang terkandung dalam Piagam Madinah sangat relevan dengan nilai-nilai Pancasila.
Baca juga, Bolehkah Menikahi Wanita yang Sedang Hamil?
Apa artinya dengan negara Islam, jika di Indonesia ada regulasi tentang haji, zakat, dan ekonomi Islam atau produk UU yang tidak bertentangan dengan Islam. Namun, juga cukup adil bila dikatakan terjadi erosi dan reduksi cukup signifikan terhadap pemahaman kepada Pancasila. Fakta erosi terkait dengan rezim Soeharto memaksakan Pancasila lewat indoktrinasi menurut interpretasinya.
Doktrin Pancasila yang dipaksakan itu bertentangan dengan naluri kemanusiaan. Perbedaan merupakan hukum alam atau sunatullah. Melawan hukum alam sama artinya dengan melawan Tuhan, karena itu pendidikan multikulturalisme mendesak disosialisasikan kepada semua anak bangsa.
*Wakil Ketua PWM Jawa Tengah
Editor : M Taufiq Ulinuha