Natal dan Toleransi: Batas-Batas Keimanan dalam Islam
Oleh: Nashrul Mu’minin
Hukum mengucapkan selamat Hari Natal dalam Islam masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa mengucapkan selamat Natal termasuk wilayah ijtihad, artinya ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun, MUI juga menekankan pentingnya toleransi antarumat beragama tanpa harus melanggar prinsip keimanan.
Muhammadiyah memiliki pandangan yang lebih spesifik. Majelis Tarjih Muhammadiyah menyarankan agar tidak mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani karena dianggap dapat menimbulkan kesalahpahaman. Namun, dalam Fatwa Tarjih tahun 2020, Muhammadiyah memperbolehkan membantu atasan kantor dalam perayaan Natal, seperti menyediakan kursi atau ornamen, asalkan tidak mengubah akidah Islam.
Nahdlatul Ulama (NU) juga memiliki pandangan yang berbeda. Rais Syuriyah PBNU, KH Ahmad Ishomuddin, menyatakan bahwa mengucapkan selamat Natal diperbolehkan jika tujuannya untuk menjaga hubungan baik dan toleransi, tanpa meyakini akidah agama lain atau mengikuti ritual ibadahnya.
Syekh Yusuf Qardhawi, seorang ulama terkemuka, memperbolehkan mengucapkan selamat Natal dengan beberapa ketentuan. Ucapan tersebut tidak boleh mengandung unsur pengakuan terhadap akidah mereka atau ridha dengan agama mereka. Selain itu, ucapan tersebut juga tidak boleh diikuti dengan ritual atau simbol keagamaan mereka.
Dalam Al-Qur’an, tidak ada ayat yang secara jelas melarang atau memperbolehkan mengucapkan selamat Natal. Namun, ada beberapa ayat yang dapat dijadikan acuan, seperti Surat Al-Mumtahanah ayat 8-9, yang menekankan pentingnya berbuat baik dan adil kepada non-Muslim.
Ulama yang melarang mengucapkan selamat Natal berargumen bahwa hal tersebut dapat dianggap sebagai pengakuan terhadap akidah Kristen tentang kelahiran Yesus. Mereka juga mengacu pada Surat Al-Furqan ayat 72, yang menyebutkan tentang orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu.
Namun, ada juga ulama yang memperbolehkan mengucapkan selamat Natal dengan catatan bahwa ucapan tersebut tidak mengubah akidah Islam dan tidak diikuti dengan ritual atau simbol keagamaan Kristen.
Dalam praktiknya, umat Islam dapat memilih untuk mengucapkan selamat Natal dengan cara yang sopan dan tidak melanggar prinsip keimanan. Misalnya, dengan menggunakan kalimat seperti “Selamat berlibur” atau “Semoga hari Anda penuh kedamaian”.
Ulama juga menekankan pentingnya memahami konteks dan niat di balik ucapan selamat Natal. Jika tujuannya untuk menjaga hubungan baik dan toleransi, maka ucapan tersebut dapat diperbolehkan. Namun, jika ucapan tersebut diikuti dengan ritual atau simbol keagamaan Kristen, maka hal tersebut tidak diperbolehkan.
Dalam Islam, toleransi dan kerukunan antarumat beragama sangat penting. Namun, hal tersebut tidak boleh mengorbankan prinsip keimanan dan akidah Islam. Umat Islam harus selalu waspada dan memahami batas-batas toleransi yang diperbolehkan dalam Islam.
Dengan demikian, hukum mengucapkan selamat Hari Natal dalam Islam masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Namun, yang terpenting adalah memahami konteks dan niat di balik ucapan tersebut, serta selalu menjaga prinsip keimanan dan akidah Islam.
Umat Islam harus selalu berhati-hati dalam mengucapkan selamat Natal, karena hal tersebut dapat mempengaruhi akidah dan keimanan mereka.
Pada akhirnya, keputusan untuk mengucapkan selamat Natal atau tidak tergantung pada individu masing-masing, namun harus selalu didasarkan pada prinsip keimanan dan akidah Islam.



