Kolom

Nafsu Terbimbing Vs. Nafsu Tersesat

Nafsu Terbimbing Vs. Nafsu Tersesat

Oleh : Rumini Zulfikar (Gus Zul) (Penasehat PRM Troketon, Anggota Bidang Syiar MPM PDM Klaten, Anggota Majelis MPI & HAM PCM Pedan)

PWMJATENG.COM – Manusia tidak bisa dipisahkan dari kehidupan di dunia ini, di mana “nafsu” ibarat pasukan, dan “nurani” adalah rajanya. Nafsu, yang sering kali kita kenal sebagai keinginan atau kemauan, adalah anugerah dari Tuhan. Semua makhluk hidup, baik manusia maupun hewan, memiliki keinginan dalam hidup mereka. Jika tidak memiliki keinginan, tentu hal itu akan sangat dipertanyakan, karena keinginan adalah bagian dari anugerah ilahi. Namun, manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna juga memiliki potensi untuk menjadi tidak sempurna.

Segala sesuatu kembali pada manusia itu sendiri untuk merenungkan dan mengintrospeksi diri (muasabah). Jika tidak, maka pengelolaan kehidupan manusia akan menjadi liar dan berdampak pada kerusakan yang luas, terutama dalam urusan kekuasaan, harta, dan wanita.

KH Ahmad Dahlan, misalnya, selalu mengingatkan dirinya sendiri untuk mengelola nafsu dengan baik. Di atas meja kerjanya, terdapat tulisan dari Surat Al-Jatsiyah ayat 23 yang selalu menjadi pengingat:

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, serta Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”

Dalam ayat ini, Allah telah jauh-jauh hari memperingatkan umat manusia untuk berhati-hati dengan nafsu mereka.

Nafsu Terbimbing

Nafsu terbimbing adalah ketika manusia dalam perbuatan atau perilakunya selalu dipandu oleh hati nurani yang suci dan bersih dari hasutan atau bujuk rayu setan, baik yang tampak maupun tidak tampak (ghaib). Hal ini termasuk godaan kekuasaan, materi, wanita, popularitas, atau ego sentris. Jika seseorang dapat mengelola nafsu ini dengan baik, meskipun memiliki keinginan untuk memilikinya, ia dapat mengukur dampaknya apakah membawa kebaikan atau keburukan. Dengan selalu berdzikir, mendekatkan diri kepada Allah, dan meneladani akhlak Rasulullah, seseorang dapat mengendalikan nafsu dengan bijaksana.

Nafsu Tersesat

Sebaliknya, jika perjalanan hidup manusia jauh dari Allah, maka nafsu atau keinginannya dalam hal keduniawian tidak akan terbendung. Contohnya adalah seseorang yang berkuasa, yang dengan kekuasaannya merasa bisa berbuat semaunya sendiri, bahkan menyakiti orang lain dengan melanggar norma agama dan sosial. Fenomena ini sering kita jumpai di berbagai tingkatan, mulai dari lingkungan RT, desa, kecamatan, hingga tingkat pusat.

Seolah-olah dunia ini abadi, sehingga jabatan atau kedudukan menjadi sesembahan. Akibatnya, rakyat terjajah oleh manusia yang nafsunya sudah terkontaminasi penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Apalagi, dalam konteks pilkada, seringkali para calon berusaha memenangkan pemilihan dengan cara-cara yang menyimpang dari aturan.

Dalam situasi ini, umat beragama harus bertanya pada diri sendiri, seberapa jauh aplikasi keagamaan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Introspeksi dan kesadaran sangat penting agar budaya, etika, dan akhlak yang luhur tetap terjaga.

Kita tidak boleh “dumeh” (mumpung) ketika berkuasa atau kaya, melakukan segala hal tanpa mempertimbangkan dampaknya. Ketakutan kehilangan kekuasaan seringkali membuat seseorang menabrak konstitusi negara, etika politik, serta prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara, dengan dalih merasa paling benar.

Fenomena ini terjadi dari tingkat atas hingga akar rumput, di mana perilaku yang menyimpang menjadi norma dan merusak tatanan sosial. Tanpa disadari, jarak dengan Tuhan semakin jauh, hati menjadi keras, dan perilaku menyebarkan kerusakan.

Semoga para elit politik dalam berkontestasi dapat menyadari pentingnya etika dan fatsun politik yang baik, serta menjadi negarawan yang saat ini sangat langka.

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE