Muhammadiyah Harus Hadir Pada Masyarakat yang Gelisah
PWMJATENG.COM, BENGKULU – Tanwir Muhammadiyah yang diselenggarakan di Bumi Raflessia Bengkulu, bertemakan Beragama yang Mencerahkan akan mengeluarkan rekomendasi terkait persoalan kebangsaan yang perkembang akhir-akhir ini. Rekomendasi dibacakan pada penutupan Tanwir oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla, 17 Februari 2019 di Gedung Kantor Gubernur Bengkulu pukul 09.00 wib.
Tema Tanwir Beragama yang Mencerahkan sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashur, diangkat setelah melalui diskusi lama terutama terkait dengan berbagai kehidupan terutama politik, yang melihat dalam sepuluh tahun terakhir ini ada kegairahan untuk hidup beragama yang tinggi. Bukan hanya di Islam tapi juga di agama-agama lain yang kemudian bermuara pada peneguhan identitas keagamaan yang kental. Penyebabnya antara lain proses perubahan sosial dan modernisasi yang melahirkan sekularisasi, agama hadir sebagai oase di tengah ancaman sekularisme.
Demokrasi memunculkan berbagai paham keagamaan yang sebetulnya keinginan kembali pada ajaran agama yang murni, namun mengalami pengerasan yang cenderung menjadi ekstrem. Kecenderungan beragama berlebihan misalnya ditunjukan dalam cara berpakaian merupakan fenomena ingin kembali pada agama yang puritan. Agama hanya dilihat dari satu aspek ibadah, mengabaikan aspek muamalah. Hubungan ukhuwah sesama pemeluk agama sama yang mestinya interrelasi dan interkoneksi menjadi saling berlawanan ketika pakaian mereka berbeda.
Demikian pandangan yang disampaikan Dr. Haedar Nashir dalam kesempatan temu wartawan di sela sidang-sidang Tanwir yang menyibukannya.
Sisi lain dari ekspresi keagamaan identitas seperti itu menurut Haedar, orang menyebut radikalisme agama, sebagai kelanjutan dari ekstremisme. Terhadap masalah kemungkaran yang mestinya diselesaikan secara hukum, dilakukan dengan main hakim sendiri. “Agama menjadi instrumen untuk melakukan tindak kekerasan terhadap mereka yang berbeda paham. Niatnya nahyi munkar, caranya dengan ekstrem, radikal. ” jelas Haedar.
Itulah dalam konteks khusus keberagamaan, Muhammadiyah ingin menghadirkan kembali nilai-nilai Islam yang mencerahkan, dengan semangat mengeluarkan orang dari berbagai macam ketertinggalan, kejumudan, membawa dari beragama yang berlebihan menuju beragama yang wasathiyah atau tengahan. Nilai-nilai ini dihadirkan dengan memberi penguatan karatkter beragama yang membentuk akal budi mulia. “Ketika orang ingin meneguhkan identitas keagamaan sesungguhnya ingin menjadi orang yang baik, tetapi ketika nilai-nilai yang tertanamkan itu tidak bersifat multi aspek tidak membentuk karakter akhlak mulia, malah membentuk identitas diri yang berlebihan”, lanjut Haedar.
Muhammadiyah, menurut Haedar, akan menghadapi kecenderungan ekstremisme keagamaan dengan cara yang beradab, dengan cara memberikan banyak pemahaman keagamaan tidak berasal satu sumber saja. Karena pada dasarnya mereka ingin hidup soleh menjadi orang beragama yang baik, tapi pemahaman yang diberikan hanya dari satu sumber. “Kita harus memberikan banyak pandangan. Tidak melawan radikal dengan cara radikal, itu akan menumbuhkan radikalisme baru”.
Menjawab pertanyaan wartawan, mengapa mereka memilih jalan radikal. Haedar melihat itu sebagai respon dari sekularisasi dan modernisme yang meresahkan masyarakat Barat yang beragama. Kemudian terjadi di Timur Tengah yang menimbulkan gejolak politik dan membenarkan cara kekerasan.
Kecenderungan ekstrem lebih kuat karena saat orang haus dikasih sedikit air, iaakan lebih dahaga. Ini kritik terhadap Ormas keagamaan yang menurut Haedar agak abai terhadap realitas, kurang sensitif dalam menangkap fenomena beragana yang lari kepada pandangan-pandangan ekstrem. Militansi di kalangan ormas keagamaan kurang sehingga mereka tidak bisa hadir di tengah kegelisahan itu. Mengutip sosiolog Peter L. Berger, Haedar menyebutnya itu masyarakat yang sedang gelisah atau the loss of soul, yang memerlukan kanopi langit pelindung suci.
Muhammadiyah harus hadir pada masyarakat yang sedang gelisah, memberikan pedoman terhadap umat dengan menawarkan narasi keagamaan yang bisa menambah kesalehan pribadi, interaksi sosialhidup, selain juga mengajarkan orang toleran terhadap perbedaan, bisa hidup bersama dalam keragaman. (*)