
PWMJATENG.COM, Bekasi – Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) sekaligus Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menyampaikan pesan penting mengenai persatuan umat Islam di Indonesia. Ia menegaskan bahwa Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) harus bergerak seirama jika ingin bangsa ini terbang tinggi.
Pernyataan itu disampaikan Mu’ti saat memberi pidato dalam acara peletakan batu pertama Graha Muhammadiyah-NU di Grand Wisata Bekasi, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Ahad (24/8/2025). Dalam forum tersebut, ia menggunakan perumpamaan burung Garuda yang memiliki dua sayap.
“Saya sering mengatakan di berbagai forum, Muhammadiyah dan NU ini seperti dua sayap burung Garuda. Garuda akan bisa terbang tinggi kalau kedua sayapnya mengepak seiring dan seirama,” kata Mu’ti.
Ia menjelaskan, jika hanya satu sayap yang mengepak, Garuda tidak mungkin bisa terbang tinggi. Bahkan, untuk bisa terbang saja akan sulit. “Kalau hanya satu sayap, Garuda itu tidak akan bisa terbang. Apalagi ingin terbang tinggi,” ujarnya.
Mu’ti menilai perumpamaan tersebut menggambarkan betapa pentingnya sinergi seluruh elemen bangsa. Tidak hanya Muhammadiyah dan NU, tetapi juga semua kekuatan yang ada di Indonesia. “Itulah satu metafor, satu tasbih, dan satu tamsil. Semua kekuatan bangsa harus bersatu dan bersinergi,” ujarnya.
Menurutnya, kekuatan bangsa Indonesia terletak pada persatuan. Namun ia menegaskan, persatuan tidak harus berarti seragam. “Saya ingin menegaskan bahwa kekuatan kita sebagai bangsa dan umat ada pada persatuannya. Bersatu tidak berarti seragam,” kata Mu’ti.
Dalam persatuan, lanjutnya, selalu ada ruang untuk menghargai perbedaan. Ia mengingatkan pentingnya sikap tasamuh atau toleransi terhadap perbedaan, terutama perbedaan furu’iyah yang memang tidak mungkin disamakan. “Yang penting kita saling memahami, yang penting kita saling menghormati. Bahkan lebih dari itu, kita harus saling mengakomodasi dan bekerjasama,” tegasnya.
Baca juga, Menjadikan Pekerjaan sebagai Ladang Ibadah
Mu’ti juga menekankan bahwa setiap kelompok tidak bisa hidup sendiri dan tidak boleh merasa besar sendiri. Dalam kesempatan itu, ia mengaku terinspirasi dari apa yang sebelumnya disampaikan Wakil Ketua Umum PBNU, Zulfa Mustofa.

“Bahkan di beberapa tempat saya mengusulkan, di rumah sakit-rumah sakit Muhammadiyah kalau ada kiai-kiai NU dan ormas lain yang dirawat, gratiskan semuanya,” ucap Mu’ti.
Ia menyebut usulan itu merupakan bentuk penghormatan Muhammadiyah kepada para ulama dan orang saleh. Meski demikian, ia sadar kebijakan itu bisa menimbulkan kritik. “Saya sudah memprediksi, kritiknya kira-kira begini: yang ormas lain digratiskan, sementara warga sendiri disuruh membayar. Itu sudah saya perhitungkan,” ujarnya.
Menurut Mu’ti, kebijakan tersebut lahir dari semangat ukhuwah Islamiyah dan wahdatul ummah. Ia menilai, dalam kehidupan beragama, semua pihak harus diberi ruang meskipun ada perbedaan. “Dalam rangka ukhuwah dan wahdatul ummah, memang harus ada ruang bagi mereka yang berbeda. Tidak ada yang bisa hidup sendiri,” tegasnya.
Mu’ti kembali menekankan bahwa persatuan bangsa Indonesia tidak boleh diartikan sebagai penyeragaman. Justru perbedaan harus dipandang sebagai kekayaan yang memperkuat kebersamaan. Dengan demikian, Muhammadiyah dan NU dapat menjadi kekuatan utama untuk menjaga keutuhan bangsa.
Acara peletakan batu pertama Graha Muhammadiyah-NU di Bekasi itu dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, baik dari Muhammadiyah maupun NU. Kehadiran dua organisasi besar Islam tersebut menjadi simbol nyata pentingnya kolaborasi dalam membangun bangsa.
Mu’ti menutup pidatonya dengan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus memperkuat sinergi. Ia mengingatkan, hanya dengan persatuan dan kerja sama, Indonesia bisa menjadi bangsa yang maju.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha