
Oleh: Tunjung Eko Wibowo (Penulis)
PWMJATENG.COM – Budaya masyarakat Kudus dikenal sangat kental dengan falsafah “gusjigang”—akronim dari bagus, ngaji, dan dagang. Nilai ini membentuk karakter masyarakat yang religius dan ulet dalam berdagang. Dalam konteks tersebut, tidak mengherankan jika Kudus menjadi lingkungan yang kondusif bagi interaksi lintas etnis, termasuk komunitas Tionghoa yang banyak bergerak di bidang perdagangan. Nilai ini memiliki kesamaan dengan sosok KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang juga dikenal sebagai seorang pedagang. Melalui jalur perniagaan, dakwah Islam yang beliau ajarkan berkembang pesat dan menjadi fondasi gerakan Muhammadiyah.
Multikulturalisme masyarakat Kudus merupakan warisan panjang sejak masa Sunan Kudus. Nilai tersebut menciptakan kerukunan antar-etnis dan antaragama, termasuk dengan komunitas Tionghoa. Landasan sosial yang harmonis ini memungkinkan Muhammadiyah dan komunitas Tionghoa, baik yang telah memeluk Islam maupun yang belum, dapat berinteraksi secara damai dalam aktivitas sosial dan keagamaan.
Hubungan antara Muhammadiyah, mualaf, dan komunitas Tionghoa di Kudus tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang interaksi dakwah dan pembauran budaya. Kudus sebagai daerah multietnis—Jawa, Tionghoa, Arab, dan lainnya—telah melahirkan tradisi sosial yang toleran dan terbuka. Akulturasi ini bermula dari interaksi di bidang pertanian dan perdagangan, yang kemudian meluas ke bidang sosial dan keagamaan.
Sejarah mencatat bahwa hubungan antara Islam dan Tionghoa di Kudus telah berlangsung sejak lama. Sunan Kudus bahkan disebut memiliki guru dari etnis Tionghoa bernama Tee Ling Sing atau Kyai Telingsing. Fakta ini menunjukkan bahwa relasi Islam dan Tionghoa sudah terjalin kuat sejak masa awal dakwah di tanah Jawa. Oleh karena itu, pandangan negatif terhadap etnis Tionghoa pada masa kini jelas tidak beralasan.
Perkembangan Muslim Tionghoa di Kudus
Meski memiliki sejarah panjang, komunitas Muslim Tionghoa di Kudus masih menghadapi sejumlah tantangan sosial. Sebagian mualaf Tionghoa cenderung menyembunyikan identitas etnisnya karena trauma politik masa lalu dan pengaruh kebijakan asimilasi era Orde Baru. Mereka lebih nyaman dikenal sebagai “mualaf” tanpa embel-embel etnis Tionghoa. Namun, sebagian lainnya tetap berpegang pada identitas ganda sebagai Muslim dan keturunan Tionghoa.
Faktor yang memengaruhi perkembangan Muslim Tionghoa di Kudus cukup beragam. Lingkungan sosial dan pendidikan Islam menjadi pintu masuk penting bagi proses mualaf. Dalam lingkungan masyarakat yang religius, banyak warga Tionghoa tertarik memeluk Islam setelah melihat keteladanan umat Islam di sekitarnya. Faktor lain yang turut berperan adalah perkawinan campur, yang menjadi sarana asimilasi dan memperkuat hubungan sosial lintas etnis.
Baca juga, Aplikasi Al-Qur’an Muhammadiyah (Qur’anMu)
Selain itu, ada pula yang menjadi mualaf karena alasan pragmatis, seperti kemudahan dalam urusan bisnis dan sosial. Dengan memeluk Islam, hubungan ekonomi dan interaksi sosial menjadi lebih lancar. Namun, bagi sebagian keluarga Tionghoa yang masih kuat memegang adat dan keyakinan lama, keputusan menjadi mualaf tetap menjadi tantangan berat. Karena itu, pernikahan campur sering kali menjadi jalan tengah untuk menerima perbedaan tersebut.
Komunitas Tionghoa Muslim di Kudus pun cenderung tidak membentuk kelompok eksklusif. Mereka memilih membaur dalam masyarakat yang majemuk. Pilihan ini menjadikan identitas mereka cair dan diterima dalam berbagai lapisan sosial.
Peran Muhammadiyah bagi Muslim Tionghoa Kudus
Muhammadiyah memiliki peran penting dalam mendekatkan Islam kepada komunitas Tionghoa di Kudus. Melalui dakwah yang inklusif, gerakan ini mendorong semangat pembaruan sosial, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan umat. Hubungan sosial antara Muhammadiyah dan Tionghoa Muslim juga tampak dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti saat terjadi musibah atau kematian di kalangan umat Islam.
Pendampingan terhadap mualaf menjadi bagian dari dakwah Muhammadiyah, meskipun tidak semua tercatat sebagai anggota resmi. Hubungan erat juga terjalin antara Muhammadiyah Kudus dan organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) dalam bidang pembinaan akidah dan sosial keagamaan.
Kedua pihak menjalin kerja sama tanpa menonjolkan identitas tunggal, melainkan mengedepankan sinergi dalam dakwah dan kemanusiaan. Dalam perspektif sosial, Muslim Tionghoa di Kudus menawarkan keragaman tanpa eksklusivitas, sekaligus menepis pandangan keliru terhadap etnis Tionghoa dan Islam.
Kolaborasi Muhammadiyah dan komunitas Tionghoa Muslim ini mencerminkan semangat toleransi, harmoni, dan kemajuan sosial. Falsafah budaya “gusjigang” menjadi cerminan nilai luhur masyarakat Kudus yang memperkuat dakwah Muhammadiyah dalam membangun peradaban yang inklusif dan berkeadaban.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha



