Muhammadiyah dan AR Fachruddin: Dakwah Beragam Wajah
Oleh: Muhammad Saleh
Bicara Indonesia artinya bicara keberagaman, realitas nyata bagi kehidupan kita sehari-hari. Kita punya berbagai macam suku, agama, ras, budaya, dan adat istiadat yang berhasil dirangkul ke dalam sebuah konsep semboyan “Bhinneka Tunggal Ika.” Maka dengan realitas kehidupan semacam ini Muhammadiyah, ormas Islam terbesar di Indonesia sudah seharusnya bersikap bijak dalam menyikapi keberagaman yang ada. Dalam artian warga Muhammadiyah harus mau menerima dengan lapang dada atas apa yang dinamakan perbedaan, sehingga terjalin hubungan yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keberagaman dalam Diri Muhammadiyah
Mengulik peran sosial Muhammadiyah pada aspek aktivismeper individu, seringkali membawa kita pada wajah Muhammadiyah yang beragam. Pada tataran ini, peran sosial Muhammadiyah tampil melalui orang-orang yang berafiliasi secara struktural maupun kultural. Sehingga bentuk praktik peran sosial menjadi beragam. Ada yang berdakwah melalui media, turba (“turun ke bawah”), ada yang melalui tulisan, dan gerakan sosial.
Jadi praktik aktivisme keseharian warga Muhammadiyah tidak tunggal. Tidak hanya dalam bidang pendidikan, kesehatan dan filantropi, tapi juga ada berbagai macam bentuk. Mulai dari yang berskala individu, komunitas hingga struktural. Wajah Muhammadiyah senantiasa berubah dan dinamis sesuai dengan perubahan ruang dan waktu. Apalagi gelombang budaya populer turut berpengaruh pada strategi-strategi Muhammadiyah beradaptasi dengan kondisi sosial yang ada. Contohnya lebih responsif pada kelompok-kelompok marjinal, difabel, kolektif-kolektif minor (anak jalanan, punk, transpuan) dan lain sebagainya. Banyak aktifis muda Muhammadiyah yang merambah jalur “alternatif” semacam itu. Mereka bergerak bersama kelompok marjinal dan kolektif minor yang seringkali terpinggirkan dalam narasi besar Muhammadiyah. Padahal mereka termasuk mad’u kontemporer akibat kekerasan negara. Belum lagi ada kaum tani, buruh, pedagang, nelayan, dan masyarakat miskin kota. Maka sangat disayangkan jika Muhammadiyah justru tidak pernah melihat kelompok marjinal ini sebagai bagian dari misi “Islam Berkemajuan.”
Jadi Muhammadiyah perlu mengapresiasi keberagaman praktik dakwah. Sehingga tidak ada kesan bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah urban yang sekedar melakukan bakti sosial aksidental.
AR Fachruddin & Keberagaman
Saat Pak AR (panggilan akrab AR Fachruddin) berangkat sidang Musywil (Musyawarah Wilayah) Muhammadiyah se-Indonesia di Kutaraja mewakili Buya Sutan Mansur pada tahun 1953, situasi sedang panas. Pecah konflik antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Tengku Muhammad Daud Beureueh yang mengangkat senjata karena merasa tidak puas dengan kebijakan Presiden Soekarno terkait pembagian wilayah.
Ketegangan bersenjata terus terjadi. Tapi Pak AR nekat hendak bertemu Daud Beureureh yang sangat terkenal di Kutaraja. Pak AR meminta tokoh-tokoh Muhammadiyah Kutaraja agar membantunya bertemu dengan Daud Beureueh. Keinginan beliau membuat mereka kaget. Mereka menyarankan agar Pak AR membatalkan niatnya. Permintaan beliau dinilai dapat membahayakan di beliau dan mengundang kecurigaan pemerintah pada Muhammadiyah.
Kendati keinginannya berulang kali ditolak, Pak AR tidak patah arang. Beliau bersikukuh keras agar tokoh-tokoh Muhammadiyah di Kutaraja mau membukakan jalan bagi beliau untuk bertemu Daud Beureureh. Menurut Syukrianto, Pak AR ingin tahu secara langsung mengapa Daud Beureureh mengambil pendekatan bersenjata. Seiring berjalannya waktu, akhirnya Pak AR berhasil meluluhkan hati para tokoh-tokoh Muhammadiyah di Kutaraja.
Menurut Syukrianto, Daud Beureureh malah senang bertemu dengan Pak AR. Bahkan, Daud memerintahkan utusannya menjemput Pak AR dengan sebuah mobil Jeep berwarna putih. Pak AR dibawa masuk ke dalam hutan yang menjadi persembunyian Daud dan pasukannya.
Menurut Syukrianto, Daud Beureureh kecepada perlakuan tidak adil Pemerintah Indonesia terhadap rakyat Kutaraja, yang selama perang kemerdekaan berjuang mati-matian membela bangsa Indonesia, tetapi justru malah diabaikan setelah Indonesia merdeka.
Pertemuan rahasia antara Pak AR dan Daud Beureueh itu berlangsung kurang lebih satu jam. Meski keduanya memiliki pendapat yang berbeda. Tetapi, keduanya bisa saling memahami. Daud tetap pada pendirian dan keputusannya, tetapi menghormati pilihan damai Pak AR dan Muhammadiyah. Pak AR juga paham dengan situasi dan kondisi mengapa Sang Tengku mengangkat senjata melawan Pemerintah Indonesia.
Hubungan Muhammadiyah dan Ahmadiyah
Ketika Pak AR menakhodai Muhammadiyah sebagai Ketua Umum, di Yogyakarta ada seorang tokoh Ahmadiyah yang sangat dihormati. Namanya Ahmad Muhammad. Pak AR Menjalin hubungan dekat tokoh Ahmadiyah itu. Yang kebetulan jarak rumah Pak AR dan Ahmad sangat berdekatan.
Menurut Faried Cahyono dan Purwowijayadi dalam buku Pak AR, yang Zuhud: Memimpin Umat dengan Islam yang Menggembirakan (2019) menjelaskan, meski berbeda pandangan dan berseberangan pemikiran dengan Ahmad, bagi Pak AR yang terpenting adalah kebersamaan dan persatuan umat Islam, bukan perpecahan dan perbedaan. Keduanya tetap menjalin hubungan yang harmonis.
Menurut Pak AR, ada beberapa kesamaan antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah yang harus dirawat sebagai dasar membangun Ukhuwah Islamiyah. Sebagai seorang yang paham sejarah Pak AR tidak ingin terjadi lagi permusuhan antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnya karena ada pihak yang menyiarkan Islam dengan cara yang kaku dan keras.
Metode dakwah Ahmadiyah yang dikenal rasional membuat banyak kalangan muda Islam di negeri ini tertarik bergabung, tak terkecuali kader-kader Muhammadiyah. Tidak dapat dipungkiri bahwa Muhammadiyah sempat punya kedekatan hubungan dengan Ahmadiyah, karena pemimpin Ahmadiyah dan para pemimpin Muhammadiyah bersahabat. Tak jarang mereka terlibat diskusi yang panjang. Membahas bagaimana nasib umat islam di negeri ini.
Umat Islam dan Muhammadiyah
Sebagai orang Ulama, pemimpin, sekaligus orang tua yang sangat moderat. Beliau tidak mau memaksakan anak-anak beliau untuk berkiprah di Muhammadiyah. Pak AR memberikan kebebasan kepada mereka mau berkiprah di mana saja, sesuai dengan hati nuraninya.
Sikap Pak AR itu sama dengan apa yang pernah dilakukan Kiai Hasyim Asy’ari. Salah satu pendiri Nahdatul Ulama (NU) itu tidak pernah menyatakan bahwa orang islam harus menjadi anggota NU. Yang paling penting bagi beliau adalah, keluarga dan umat Islam bisa menjalankan agamanya dengan sebaik-baiknya.
Pak AR pun berpadangan bahwa orang Islam tidak harus menjadi Muhammadiyah. Menurut Pak AR yang paling penting adalah ajaran yang mengacu pada Al-Qur’an dan as-Sunnah, dan itu ada dimana-mana tidak hanya di Muhammadiyah saja. Sikap inilah yang seharusnya selalu dikembangkan oleh warga persyarikatan, agar terwujudnya Islam yang “Rahmatan lil Alaminn”
*aktifis muda Muhammadiyah
sumber: muhammadiyah.or.id