Mohammad Roem: Diplomat Muhammadiyah Asal Temanggung

PWMJATENG.COM – Perjuangan kemerdekaan Indonesia bukan hanya soal mengangkat senjata di medan perang. Di balik garis depan, ada perjuangan diplomasi yang menentukan legitimasi kemerdekaan di mata dunia. Dalam ranah diplomatik ini, Mohammad Roem menjadi salah satu tokoh paling menonjol. Julukan Singa Podium Muhammadiyah melekat pada dirinya, bukan karena retorika semata, tetapi karena keberaniannya menghadapi lawan diplomasi dengan argumentasi tajam dan sikap tegas.
Latar Belakang dan Akar Muhammadiyah
Mohammad Roem lahir di Klewongan, Temanggung, pada 1908 dari keluarga Muhammadiyah. Ayahnya, Dulkarnaen Djojosasmito, memberi nama “Roem” dari Surat Ar-Rum dalam Al-Qur’an. Pemilihan nama ini unik. Setelah nama-nama khalifah—Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali—sudah dipakai untuk kakak-kakaknya, ayahnya membuka Al-Qur’an, dan halaman pertama yang terbuka adalah Surat Ar-Rum.
Meski tidak aktif secara struktural di Muhammadiyah, hubungan Roem dengan Persyarikatan terjalin secara kultural sejak kecil. Kedekatan itu semakin kuat ketika ia pindah ke Pekalongan. Pada usia 12 tahun, ia menghadiri rapat umum yang menghadirkan pidato politik Tjokroaminoto dan tabligh Kiai Ahmad Dahlan. Peristiwa ini menginspirasi kakaknya, Ranuwiharjo, bersama AR Sutan Mansur dan tokoh lain, mendirikan Muhammadiyah Cabang Pekalongan beserta amal usaha pendidikan.
Pendidikan dan Pergaulan Politik
Setelah lulus HIS pada 1924, Roem melanjutkan pendidikan di STOVIA Jakarta. Ia aktif di Jong Islamieten Bond dan mengikuti kursus agama Islam yang dipimpin H. Agus Salim. Saat liburan, ia belajar di Kauman Yogyakarta dari murid-murid Kiai Ahmad Dahlan, seperti Kiai Hadjid dan Kiai Fachrodin.
Riwayat pendidikannya mencakup Volkschool, HIS, STOVIA, AMS, GHS (sekolah kedokteran), dan RHS (sekolah hukum), hingga meraih gelar Mr. (Meester in de Rechten). Pergaulannya luas, melibatkan tokoh-tokoh nasionalis dan aktivis Islam.
Kiprah Diplomasi di Masa Revolusi
1. Perundingan Linggarjati (1946–1947)
Pasca Proklamasi, Belanda kembali berupaya menguasai Indonesia melalui NICA. Roem, saat itu Menteri Dalam Negeri di Kabinet Sjahrir III, menjadi anggota delegasi Indonesia di bawah pimpinan Sutan Sjahrir. Sikap kritisnya terhadap pasal-pasal perjanjian membuat Ketua Delegasi Belanda, Willem Schermerhorn, terkejut. Roem menolak rumusan pasal yang merugikan Indonesia, sehingga penandatanganan tertunda. Hasil Linggarjati diakui menyempitkan wilayah RI, namun membawa pengakuan de facto dari negara-negara besar.
Baca juga, Pandangan Muhammadiyah terhadap Qunut Subuh dan Sujud Sahwi: Edukasi Fikih dalam Praktik Salat Jamaah Lintas Mazhab
2. Perundingan Renville (1947–1948)
Roem tetap terlibat, bersama tokoh Muhammadiyah lain seperti Ir. Djuanda dan Agus Salim. Strateginya terkenal: bersikap acuh tak acuh untuk membuat lawan kehilangan kendali. Perjanjian ini memperlemah posisi RI, namun Roem tetap berupaya mempertahankan eksistensi republik di tengah blokade ekonomi dan ancaman internal.
3. Perundingan Roem–Royen (1949)
Agresi Militer Belanda II (1948) membuat situasi kritis. Roem menetapkan syarat keras: kembalinya pemerintahan RI ke Yogyakarta dan pembebasan tahanan politik. Pada 7 Mei 1949, kesepakatan tercapai. Perjanjian ini mengakhiri rencana Belanda membentuk negara federal dan membuka jalan menuju Konferensi Meja Bundar.
4. Konferensi Meja Bundar (1949)
Kesepakatan KMB di Den Haag mengakui kedaulatan Indonesia, meski masalah Papua Barat belum terselesaikan. Roem menjadi bagian penting dalam proses ini, memastikan hasil Roem–Royen dijalankan di forum internasional.
Kiprah Politik Pascarevolusi
Setelah diplomasi revolusi selesai, Roem aktif dalam Partai Masyumi dan menjadi politisi kritis di era Sukarno. Ia pernah menjadi tahanan politik bersama Sutan Sjahrir. Pada 1970-an, bersama Mohammad Natsir, ia mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), dan kemudian berkhidmat di Partai Bulan Bintang.
Jabatan yang pernah diembannya meliputi:
- Menteri Dalam Negeri Kabinet Sjahrir III (1946–1947)
- Menteri Luar Negeri Kabinet Natsir (1950–1951)
- Menteri Dalam Negeri Kabinet Wilopo (1952–1953)
- Wakil Perdana Menteri I Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956)
Akhir Hayat dan Warisan Perjuangan
Mohammad Roem wafat pada 24 September 1983 di usia 75 tahun akibat gangguan paru-paru. Meski jasanya besar dalam perjuangan diplomasi dan kedaulatan Indonesia, hingga kini ia belum dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Bagi Muhammadiyah, Roem adalah teladan keberanian intelektual dan keteguhan moral di medan politik dan diplomasi.
Warisan utamanya adalah keyakinan bahwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya ditentukan oleh senjata, tetapi juga oleh ketajaman akal, kesabaran, dan strategi di meja perundingan.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha
Artikel disarikan dari website Muhammadiyah.or.id dan beberapa sumber lainnya.