
PWMJATENG.COM, Yogyakarta – Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menggelar kegiatan Mainstreaming GEDSI (Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial) dengan tajuk “Mengembangkan Jurnalisme Inklusif”, Rabu (6/8/25) bertempat di SM Tower Yogyakarta.
Diikuti oleh puluhan peserta dari 16 kabupaten/kota, kegiatan yang diselenggarakan secara hybrid ini menghadirkan para jurnalis dari berbagai media sebagai upaya strategis untuk menumbuhkan kesadaran kolektif media dalam mengarusutamakan GEDSI dalam praktik jurnalistik sehari-hari. Isu-isu seputar perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marginal kerap luput dari pemberitaan media atau bahkan disajikan dengan sudut pandang yang bias. Maka, melalui forum ini, ‘Muhammadiyah’Aisyiyah berkomitmen menjadikan jurnalisme sebagai alat perjuangan keadilan sosial.
Tri Hastuti Nur Rochimah, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah sekaligus Koordinator Program INKLUSI ‘Aisyiyah, dalam sambutannya menegaskan urgensi kolaborasi antara media dan gerakan sosial. Ia mengajak para jurnalis untuk menjadi penyambung suara masyarakat yang selama ini tak terdengar. “Sekarang saatnya bersama teman-teman jurnalis bergandeng tangan untuk bisa berbicara dan menyuarakan hak-hak masyarakat marginal yang tidak bisa menyuarakan sendiri hak-haknya,” ungkapnya.
Baca juga, Monetisasi Konten Digital dalam Timbangan Islam: Antara Cuan dan Keberkahan
Menurut Tri Hastuti, kerja sama antara media dan gerakan sosial tak boleh berhenti pada forum diskusi semata. Ia menekankan pentingnya kolaborasi lanjutan dalam bentuk produksi konten, advokasi kebijakan, hingga penguatan kapasitas jurnalis agar lebih peka terhadap keberagaman dan inklusi. Dalam perspektifnya, media memiliki kekuatan besar untuk membentuk opini publik dan membongkar ketimpangan sosial, terutama yang dihadapi kelompok rentan.

Dalam forum ini, perhatian khusus juga diberikan pada peran agama dalam membentuk cara pandang masyarakat terhadap kelompok marginal. Hajar Nur Setyowati, Pemimpin Redaksi Suara ‘Aisyiyah yang memandu jalannya diskusi, menyampaikan bahwa stigma sosial terhadap kelompok difabel dan terpinggirkan sering kali dipengaruhi oleh penafsiran sempit terhadap ajaran agama. Oleh karena itu, menurutnya, dakwah Islam berkemajuan yang dikembangkan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah harus tampil sebagai penyeimbang yang menebarkan rahmat dan keadilan bagi semua golongan.
“Peran dakwah sangat krusial. Kita tidak bisa membiarkan agama dijadikan alat justifikasi ketidakadilan sosial. Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah harus hadir memberikan pemahaman agama yang membebaskan dan memberdayakan,” tutur Hajar.
Dalam konteks itu, jurnalisme inklusif bukan sekadar tentang penyebutan gender atau menyisipkan isu disabilitas dalam berita, melainkan tentang keberanian media untuk membongkar struktur ketidakadilan dan memberi ruang narasi bagi mereka yang selama ini didiamkan. Hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi media untuk tampil sebagai kekuatan transformasi sosial.
Kegiatan ini pun diharapkan menjadi titik awal dari gerakan jurnalisme inklusif yang lebih sistematis. Dengan dukungan berbagai pihak, terutama organisasi keagamaan dan media, narasi keberpihakan terhadap masyarakat marginal akan menemukan tempatnya di ruang publik.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha