Merdeka yang Dipersoalkan, Persoalan Guru tanpa Kemerdekaan!

Merdeka yang Dipersoalkan, Persoalan Guru tanpa Kemerdekaan!
Oleh : Albi Almahdy (Ketua Umum PC IMM Kota Surakarta)
PWMJATENG.COM – Setelah membaca dua tulisan dari kader IMM Solo yang menuangkan keresahannya di media publikasi dengan tulisan bertajuk “Nurani yang Telah Mati” oleh IMMawati Mahda Khufiati (Ketum IMM FKIP UMS) dan tulisan berjudul “Radical Break atau Radical Manipulation?” oleh IMMawan Hawaril Haq (Ketum IMM Surakarta). Ternyata ada sebuah persoalan besar yang kemudian menjadikan situasi dan kondisi Indonesia saat ini sedang collapse dan tidak baik-baik saja, apalagi diwarnai dengan fenomena berbagai aksi-demonstrasi berturut-turut oleh rakyat di berbagai penjuru negeri, khususnya aksi massa di Kota Solo yang notabene-nya adalah kota paling damai se-Indonesia.
Dua tulisan ini patut direnungkan karena menyoroti secara khusus berbagai persoalan spesifik dimulai dengan pertanyaan menggelitik tentang apakah aksi-demonstrasi itu ditunggangi oleh pihak yang digadang-gadang oleh Presiden Prabowo sebagai upaya kekuatan asing yang ingin mengadu domba rakyat?
Belum lagi tentang bagaimana perumusan program dan kebijakan pemerintah yang penuh polemik dan merugikan, sampai pada bentuk-bentuk represifitas aparatur keamanan negara yang dinilai terlalu reaktif pada gerakan masyarakat yang menuntut aspirasinya. Semua persoalan ini sekaligus memantik kembali kekritisan saya atas kemerdekaan negeri ini yang beberapa waktu lalu kita rayakan!
Refleksi Kemerdekaan
Kata Tan Malaka, agar mencapai kemerdekaan, suatu bangsa harus merdeka seratus persen. Merdeka seratus persen ini mustahil kecuali dengan beberapa syarat; yakni merdeka secara politik, sosial, ekonomi, pertahanan, dan pendidikan! Kata Tan, selagi bangsa ini belum meraih kelima syarat kemerdekaan itu, maka tidak layak pula bangsa ini disebut telah merdeka. Kemerdekaan bukan sebuah nilai separuh-separuh, tetapi harus dibangun dan diaktualisasikan secara utuh, begitu kiranya jika kita sedikit membedah alam pikiran Tan Malaka, tokoh bangsa ini juga.
Dengan penuh kesadaran, hari ini kita menyaksikan bahwa bangsa ini telah berumur 80 tahun pasca kemerdekaannya diproklamasikan oleh Bapak Presiden Sukarno. Sejarah telah menjadi saksi nyata atas peristiwa besar proklamasi kemerdekaan itu, tetapi catatan sejarah barangkali juga tidak terlepas dari kontradiksi kemerdekaan itu sendiri. Bagaimana tidak?
Jika kita melihat realitas politik hari ini, sungguh penuh dengan huru-hara dan kelicikan para penguasa, kata IMMawan Hawaril, gerakan anarkisme berulangkali dijadikan instrumen penguasa. Jika melirik keadaan ekonomi negeri ini, sungguhpun penuh dengan kesenjangan antara si oligarki dengan rakyat yang hampir mati. Semua harga naik; bahan pokok, pajak, tanah, rumah, air, semuanya naik. Satu-satunya harga yang tidak pernah dinaikkan di negeri ini adalah harga diri kita sebagai bangsa!
Baca juga, Hukum Lalai hingga Mengakibatkan Meninggal Dunia dalam Perspektif Islam
Bicara soal kesejahteraan rakyat, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) telah mewakili itu dengan tunjangan-tunjangan mewahnya. Soal pertahanan negara, nyatanya aparatur hanya dijadikan musuh bagi rakyat yang menuntut keadilannya, sampai beberapa peristiwa yang menewaskan nyawa mulai dari dilindasnya driver ojol yang tak berdosa sampai matinya tukang becak karena keracunan gas air mata. Apalah arti dari kemerdekaan yang selalu kita banggakan itu?
Kemerdekaan Guru
Untuk sampai pada kesimpulan akhir, saya juga ingin menambahkan beberapa permasalahan dari aspek pendidikan bangsa hari ini. Saya secara deterministik menyoroti akar permasalahan bangsa kita hari ini dari sudut pandang pendidikan. Setiap kali bertemu dengan para guru, baik yang seumur maupun yang sudah berumur, saya selalu mendapati berbagai macam keluhan-kegelisahan yang menyedihkan.
Seringkali mereka bicara soal kebijakan pemerintah yang tidak berpihak, kesejahteraan yang tidak layak, beban administrasi yang begitu banyak, budaya pimpinan sekolah yang tidak sehat, gaji mengajar yang tidak cukup, dan berbagai macam persoalan rumit yang tak ada habisnya. Melihat kenyataan semacam ini, bagi saya para guru itu telah menjadi kaum mustadh’afin yang tertindas secara struktural dalam sebuah sistem yang zalim. Negara sadar-tidak sadar telah menistakan para guru yang tertindas itu.
Implikasinya adalah guru yg seharusnya membidani lahirnya para intelektual bangsa, justru tidak maksimal dalam mengajar, mendidik, dan memotivasi murid-muridnya. Kegagalan pendidikan bangsa ini sesungguhnya dikarenakan tidak merdekanya para guru dalam melaksanakan tugas dan fungsi utamanya, akibat dari akar masalah kebijakan politik yang apatis dan tidak serius dalam memikirkan proses pendidikan bangsa ini.
Ketika para guru mengajar, mereka sekaligus terpaksa harus memikirkan bagaimana gajinya bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ketika mereka mendidik, mereka sekaligus dipaksa dengan beban administrasi yang meluputkan mereka dari memikirkan proses perkembangan murid-muridnya. Ketika mereka memotivasi, mereka sekaligus terpaksa menunjukkan kebahagiaan dan keteladanan dibalik kecemburuan akibat kesenjangan kesejahteraan antara pimpinan sekolah dengan guru-guru biasa lainnya.
Demikian, lengkap sudah syarat belum merdekanya bangsa ini terpenuhi! Mulai dari syarat merdeka secara politik, ekonomi, sosial, keamanan, dan pendidikan semuanya belum memenuhi tuntutan kelayakan sebuah bangsa atas kemerdekaannya. Wajar saja bila kemarahan rakyat hari ini meletus dimana-mana. Kita sesungguhnya belum merdeka seratus persen!
Abadi Perjuangan!
Billahi fii Sabilil Haq, Fastabiqul Khoirot.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha