Merawat Kebinekaan di Era Polarisasi: Tantangan Persatuan Bangsa

PWMJATENG.COMย โย Di tengah derasnya arus informasi dan berkembangnya teknologi komunikasi, Indonesia dihadapkan pada tantangan serius: polarisasi sosial yang semakin mengemuka. Polarisasi ini tidak hanya terlihat dalam diskursus politik, tetapi juga merembes ke ranah sosial, budaya, dan bahkan agama. Di era seperti ini, merawat kebinekaan bukan lagi sekadar pilihan, melainkan menjadi keharusan demi menjaga persatuan bangsa.
Indonesia adalah negeri yang dibangun di atas fondasi keberagaman. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, tersebar beragam suku, bahasa, budaya, dan agama. Pancasila sebagai dasar negara merangkum semangat untuk hidup dalam perbedaan. Namun, tantangan besar muncul ketika perbedaan itu tidak lagi dirayakan, melainkan dipertentangkan. Polarisasi menciptakan jarak, memperkuat sekat, dan mengikis kepercayaan sosial.
Polarisasi dan Media Sosial
Salah satu pemicu utama polarisasi saat ini adalah media sosial. Di satu sisi, media sosial memungkinkan interaksi lintas wilayah dan kelompok yang sebelumnya sulit terjadi. Namun di sisi lain, algoritma media sosial sering kali menciptakan ruang gema (echo chamber), di mana seseorang hanya terpapar pada informasi yang sejalan dengan pandangannya. Hal ini memperkuat keyakinan subjektif dan memicu kecurigaan terhadap pihak yang berbeda.
Sebagai contoh, isu-isu politik identitas kerap kali dimanfaatkan untuk menarik dukungan kelompok tertentu. Konten yang mengadu domba, disinformasi, dan ujaran kebencian menyebar dengan cepat. Dalam suasana seperti ini, masyarakat mudah terjebak dalam narasi โkami versus merekaโ. Ketika perbedaan dipolitisasi, kebinekaan yang selama ini menjadi kekuatan justru berubah menjadi kelemahan.
Tantangan dalam Merawat Kebinekaan
Merawat kebinekaan di era polarisasi tidaklah mudah. Tantangan pertama adalah rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat. Banyak orang belum mampu membedakan antara fakta dan opini, antara informasi yang benar dan hoaks. Ini membuat mereka rentan terpengaruh oleh narasi yang memecah belah.
Tantangan kedua adalah melemahnya ruang dialog antar kelompok. Ketika publik lebih memilih menyampaikan pendapat melalui media sosial ketimbang berdiskusi langsung, maka nuansa empati dan saling pengertian sering kali hilang. Polarisasi bukan hanya soal perbedaan pandangan, tetapi juga soal kegagalan untuk mendengar dan memahami.
Selain itu, pendidikan yang belum sepenuhnya menginternalisasi nilai-nilai kebinekaan juga menjadi tantangan tersendiri. Dalam beberapa kasus, sekolah belum menjadi ruang yang aman untuk berdialog tentang keberagaman. Padahal, pendidikan adalah kunci dalam membentuk karakter generasi penerus bangsa.
Menjawab Tantangan dengan Inklusi
Untuk mengatasi polarisasi dan merawat kebinekaan, dibutuhkan upaya sistematis yang melibatkan semua elemen bangsa. Negara perlu hadir dengan kebijakan yang adil dan berpihak pada kepentingan bersama, bukan kelompok tertentu. Pemerintah harus mendorong narasi persatuan dan menjamin hak setiap warga negara untuk hidup berdampingan secara damai.
Baca juga, Pendidikan di Era AI: Apakah Guru Akan Digantikan Mesin?
Pendidikan multikultural perlu diperkuat, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Generasi muda perlu dibekali dengan keterampilan berpikir kritis, empati, dan kesadaran lintas budaya. Sekolah dan kampus harus menjadi laboratorium keberagaman, tempat di mana perbedaan dirayakan dan dijadikan kekayaan bersama.
Selain itu, peran tokoh masyarakat, pemuka agama, dan media sangat penting. Mereka harus menjadi jembatan dialog, bukan penyulut konflik. Media, khususnya, memiliki tanggung jawab besar dalam membingkai berita secara adil dan mengedepankan nilai-nilai kebinekaan. Praktik jurnalisme damai perlu dikembangkan sebagai bentuk kontribusi dalam merawat persatuan bangsa.
Membangun Budaya Saling Percaya
Upaya merawat kebinekaan harus dimulai dari membangun kembali budaya saling percaya di tengah masyarakat. Kepercayaan tidak lahir dari pidato atau slogan, melainkan dari interaksi nyata di kehidupan sehari-hari. Ketika warga dari latar belakang berbeda saling bekerja sama, berbagi ruang publik, dan saling menolong, maka benih-benih kepercayaan akan tumbuh.
Kegiatan lintas komunitas, forum dialog antaragama, dan program gotong royong antarwarga perlu diperbanyak. Inisiatif dari akar rumput ini sering kali lebih efektif dalam membangun kedekatan sosial ketimbang kebijakan top-down. Negara perlu mendukung dan memfasilitasi inisiatif tersebut sebagai bagian dari strategi besar menjaga keutuhan bangsa.
Harapan untuk Masa Depan
Meski tantangan merawat kebinekaan kian kompleks, harapan selalu ada. Sejarah Indonesia telah membuktikan bahwa bangsa ini mampu bertahan dalam badai perbedaan. Reformasi 1998, gempa dan tsunami Aceh, pandemi COVID-19โsemuanya menjadi bukti bahwa ketika bangsa ini bersatu, kita mampu melewati krisis bersama.
Kini, saatnya kembali merajut simpul-simpul kebangsaan yang sempat kendur akibat polarisasi. Saatnya membangun ruang publik yang sehat, inklusif, dan beradab. Merawat kebinekaan bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab kita semua sebagai warga negara.
Sebagaimana disampaikan oleh Bung Karno, โBhinneka Tunggal Ika itu bukan sekadar semboyan, tapi jiwa dari bangsa Indonesia.โ Maka, di tengah arus polarisasi yang deras, merawat kebinekaan adalah wujud cinta sejati kepada tanah air.
Ass Editor : Ahmad; Editor :ย M Taufiq Ulinuha