Merajut Harmoni: Refleksi Katolik atas Inklusivitas Muhammadiyah

Merajut Harmoni: Refleksi Katolik atas Inklusivitas Muhammadiyah
Oleh : T.H. Hari Sucahyo (Penggagas Lingkar Studi Adiluhung dan Kelompok Studi Pusaka AgroPol
tinggal di Semarang)
PWMJATENG.COM – Sebagai seorang peminat bidang sosial keagamaan dan humaniora, sekaligus penganut Katolik, saya selalu tertarik untuk memahami bagaimana berbagai kelompok dalam masyarakat Indonesia membangun toleransi dan keberagaman. Salah satu yang paling menarik perhatian saya adalah Muhammadiyah, sebuah organisasi Islam modernis yang sejak awal berdirinya telah menunjukkan komitmen dalam membangun masyarakat yang inklusif dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (Burhanuddin, 2021).
Muhammadiyah bukan sekadar organisasi keagamaan, tetapi juga gerakan sosial yang berkontribusi besar dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan, kesehatan, dan bantuan kemanusiaan. Sejak didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912, organisasi ini telah menanamkan nilai-nilai Islam yang bersifat inklusif dan terbuka terhadap perubahan zaman (Alfan, 2019).
Ahmad Dahlan sendiri merupakan sosok yang berpandangan luas, mengajarkan pentingnya pendidikan bagi semua orang, tanpa memandang latar belakang agama maupun status sosial. Ia menekankan bahwa Islam harus dipahami secara kontekstual, bukan hanya dalam ranah teologis, tetapi juga dalam dimensi sosial yang lebih luas.
Saya melihat bahwa Muhammadiyah bukan hanya berperan dalam membangun umat Islam, tetapi juga memiliki kontribusi besar dalam menjaga kerukunan antaragama di Indonesia. Salah satu contoh nyata adalah peran Muhammadiyah dalam bidang pendidikan. Sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebar di seluruh Indonesia dan terbuka bagi siapa saja, termasuk bagi mereka yang bukan Muslim (Zulkifli, 2020).
Saya mengenal beberapa teman yang beragama Kristen dan Katolik yang pernah menempuh pendidikan di sekolah Muhammadiyah dan merasakan suasana yang inklusif serta penuh semangat kebersamaan. Hal ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak hanya mengajarkan Islam dalam ruang lingkup eksklusif, tetapi juga mempraktikkan nilai-nilai keterbukaan yang memungkinkan terjadinya interaksi lintas agama dalam dunia pendidikan.
Selain dalam dunia pendidikan, Muhammadiyah juga aktif dalam membantu masyarakat dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial. Rumah sakit Muhammadiyah dan Aisyiyah yang tersebar di berbagai daerah tidak membeda-bedakan pasien berdasarkan agama. Siapa pun yang membutuhkan pertolongan medis akan mendapatkan layanan dengan baik (Suryaningsih, 2018).
Hal ini mencerminkan nilai-nilai Islam yang menekankan pentingnya kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama manusia. Sebagai seorang Katolik, saya melihat kesamaan nilai ini dengan ajaran sosial Gereja Katolik yang menekankan pelayanan kepada mereka yang membutuhkan. Dalam konteks ini, Muhammadiyah bukan hanya menjadi agen dakwah Islam, tetapi juga agen kemanusiaan yang melampaui batas-batas agama.
Baca juga, Mengukur Keberhasilan Puasa: Meniti Jalan Menuju Takwa
Dalam perjalanan sejarahnya, Muhammadiyah juga memiliki banyak tokoh yang menunjukkan sikap toleransi dan keterbukaan terhadap keberagaman di Indonesia. Salah satu yang paling menonjol adalah Buya Syafii Maarif, seorang intelektual Muslim yang terus menyerukan pentingnya kebhinekaan dan dialog antariman (Maarif, 2017).
Buya Syafii sering kali mengkritik kelompok-kelompok yang mencoba menggerus nilai-nilai kebangsaan dengan ideologi eksklusif dan intoleran. Ia menegaskan bahwa Islam yang diajarkan oleh Muhammadiyah adalah Islam yang rahmatan lil alamin, yang membawa rahmat bagi seluruh alam semesta, bukan hanya untuk kelompok tertentu. Lebih dari sekadar wacana, sikap Buya Syafii tercermin dalam berbagai aktivitasnya, termasuk keterlibatannya dalam berbagai forum lintas agama yang bertujuan membangun pemahaman bersama antara umat Muslim dan non-Muslim.
Sikap inklusif dan toleran juga tercermin dalam sosok Haedar Nashir, Ketua Umum Muhammadiyah saat ini. Ia sering menyampaikan bahwa Indonesia adalah rumah bagi semua warganya, baik Muslim maupun non-Muslim, dan bahwa Muhammadiyah memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga harmoni dalam kehidupan berbangsa (Nashir, 2022).
Haedar Nashir juga aktif dalam berbagai dialog lintas agama, menunjukkan bahwa Islam dan Kristen, termasuk Katolik, bisa bekerja sama dalam membangun peradaban yang lebih baik. Dalam banyak kesempatan, ia menegaskan bahwa Islam yang dipahami oleh Muhammadiyah adalah Islam yang bersifat terbuka dan berorientasi pada kemajuan peradaban manusia, bukan Islam yang semata-mata berfokus pada identitas keagamaan sempit.
Saya teringat sebuah peristiwa yang cukup berkesan. Beberapa waktu lalu, ketika terjadi bencana alam di salah satu daerah di Indonesia, relawan Muhammadiyah bersama dengan berbagai organisasi lintas agama, termasuk dari Gereja Katolik, turun langsung untuk membantu para korban (Setiawan, 2023).
Mereka bahu-membahu tanpa melihat perbedaan agama, bekerja atas dasar kemanusiaan. Momen seperti ini menunjukkan bahwa di tengah berbagai perbedaan yang ada, kita tetap bisa bersatu dalam nilai-nilai universal seperti kepedulian, kasih sayang, dan tolong-menolong. Tentu saja, perjalanan menuju masyarakat yang benar-benar inklusif dan toleran masih panjang.
Masih ada tantangan yang harus dihadapi, termasuk munculnya kelompok-kelompok yang ingin memecah belah persatuan dengan membawa narasi intoleran. Namun, selama masih ada organisasi seperti Muhammadiyah yang terus menggaungkan pentingnya kebersamaan dan nilai-nilai kemanusiaan, saya yakin harapan akan Indonesia yang lebih harmonis tetap terjaga.
Sebagai seorang Katolik, saya melihat bahwa Islam yang diajarkan oleh Muhammadiyah adalah Islam yang menekankan nilai-nilai persaudaraan dan kasih sayang. Sikap inklusif ini bukan hanya menjadi pelajaran bagi umat Islam, tetapi juga bagi kita semua, terlepas dari agama yang kita anut. Mempelajari lebih dalam tentang Muhammadiyah membuka mata saya bahwa keberagaman bukanlah penghalang, melainkan kekayaan yang harus dirawat dan dijaga bersama.
Jejak toleransi yang telah ditorehkan oleh Muhammadiyah dan para tokohnya adalah warisan berharga bagi Indonesia. Kita semua, baik Muslim maupun non-Muslim, bisa belajar dari semangat inklusivitas ini. Jika setiap kelompok dalam masyarakat kita bisa meneladani sikap terbuka dan saling menghormati seperti yang diajarkan oleh Muhammadiyah, saya yakin Indonesia akan semakin kuat sebagai bangsa yang berlandaskan kebhinekaan dan persatuan.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha